Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 : Bersaing Denganku
Buku dan Tulisan dengan Tinta Merah
"Siapa juga yang mau menyaingi atau bahkan mendapatkan cowok paling terkenal di sini? Tidak ada!" seru Yeon dengan suara lantang di depan Anya. Dia membanting buku pelajaran yang tadi dia tulis di kelas.
"Lalu apa? Kamu mau menyaingi aku sebagai pacarnya Justin?" balas Anya dengan nada penuh tantangan.
Yeon menatap Anya dengan tatapan datar. Anya, dengan tinggi tubuh yang kurang dan polesan riasan berlebihan di wajahnya, hanya membuat Yeon menggeleng pelan. "Ulat bulu kalau jatuh cinta memang begini, ya? Lucu, tapi agak memprihatinkan."
"Kurang ajar kamu!" geram Anya, lalu ia mencoba menarik tangan Erika, berharap temannya itu mau membantunya mengejar Yeon.
"Aku masih harus menyikat toilet sekolah. Kamu saja yang kejar!" seru Erika sambil menggeleng menolak.
Anya menatap Erika dengan kesal, lalu berkata, "Tidak setia kawan kamu!"
Di tempat lain, Abigail sedang berkeringat dingin saat mengerjakan soal-soal olimpiade matematika. Pikirannya sedikit terganggu saat ia melihat postur tubuh Justin, yang mengingatkannya pada mantan kekasihnya yang telah tiada. Kenangan akan dua cinta yang telah pergi seolah kembali menghantuinya.
"Baik anak-anak, sisa waktu kalian tinggal sepuluh menit lagi," ujar pengawas olimpiade, memberi peringatan.
Abigail kembali memutar otak untuk menyelesaikan soal yang tersisa, mencoba mengisi jawaban dengan cepat. Sesekali dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ia melirik rekan di sebelahnya, seorang gadis cantik dengan wajah rupawan. Abigail tersenyum, dan dalam hatinya, ia sadar bahwa ia tidak sepenuhnya berharap untuk menang.
Menunggu beberapa jam dari depan gerbang hingga ke ruang olimpiade cukup melelahkan. Olimpiade ini sudah ditandatangani dan disetujui oleh Abigail saat ia baru masuk sekolah, bahkan dengan bonus sponsor utama untuk mendapatkan beasiswa.
"Selesai!" Abigail mengusap keringat di dahinya dan menghela napas pelan, lalu menunggu pengumuman hasil olimpiade yang akan keluar dalam beberapa hari ke depan.
O0O
"Bagaimana hari ini, capek tidak?" tanya Yeon sambil turun dari mobil dan tersenyum pada ibunya. Ia pun mencium tangan ibunya sebelum masuk ke rumah.
Rumah itu tampak klasik, dengan warna cokelat yang hangat dan suasana pedesaan yang tenang dan asri. Rumah dua lantai itu memiliki ruang tamu di depan, dan di belakangnya ada ruang khusus untuk Clara, kakak Abigail, yang digunakan untuk menjahit. Ruangan tersebut hanya dipisahkan oleh sebuah sekat lemari. Di halaman depan, bunga-bunga indah menghiasi dan menambah keindahan rumah itu.
Di lantai atas, ada kamar ibunya, kamar Clara, dan kamar Abigail.
"Capek, pasti ya? Tapi seru kan? Aku yakin kamu sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Kita tinggal menunggu piala dan medalinya datang saja. Untuk Abigail, siswi berprestasi sekolah ini!" seru Yeon penuh semangat.
"Aku tidak berharap menang, Yeon. Ada peserta yang lebih pintar dariku. Dia mengerjakan soalnya sangat cepat!" jawab Abigail.
Merasa haus, Abigail berjalan ke dispenser air dan mengambil segelas air. Setelah meminumnya, Yeon mendadak teringat sesuatu yang terjadi di sekolah hari itu.
"Abi, kamu tahu Anya, kan?"
"Kurang tahu. Memangnya siapa dia?" tanya Abigail, lalu kembali ke kursi di ruang tamu tempat Yeon duduk sambil menikmati makanan di depannya.
"Anya itu gadis yang suka sama Justin. Tapi sepertinya justru Justin yang tertarik sama kamu!" Abigail hampir tersedak saat mendengar ucapan Yeon.
"Justin suka sama aku? Tidak mungkin! Dia saingan sama gadis genit itu? Aku juga tidak tahu soal itu, tapi sejak awal masuk sekolah, aku memang sempat memperhatikannya, walau aku tidak tahu apa-apa tentangnya."
"Iya, benar. Justin suka sama kamu. Dia cowok populer, anak basket yang dielu-elukan, kalau menurut banyak orang. Aku sendiri tidak terlalu mengenalnya dengan baik!" Abigail hanya bisa menghela napas mendengar penjelasan Yeon. Di dalam benaknya, terselip pertanyaan yang membuatnya semakin bingung.
"Abigail," panggil Clara dari balik sekat. Dia tersenyum sambil membawa sebuah gaun rancangannya.
"Boleh minta tolong tidak? Nanti kamu bersama Yeon mengantarkan gaun ini. Namanya Bu Ren yang pesan. Gaunnya berlapis tiga," kata Clara sambil mempersiapkan gaun di patung manekin yang biasa ia gunakan.
"Siap, gampang itu!" sahut Abigail.
"Nanti kamu mandi dulu atau bersih-bersih. Pulangnya, Kakak kasih imbalan," kata Clara sambil tersenyum.
Yeon tersenyum lebar, "Kak Clara memang berbakat sekali desainernya. Pokoknya kalau aku menikah nanti, aku harus memakai gaun rancangan Kak Clara!"
"Yeon!" panggil Eliza, ibu Abigail. Meski sudah berusia kepala lima, Eliza masih tampak cantik dan awet muda.
"Mau minum dulu atau makan?" tanya Eliza.
Yeon menggeleng, "Tidak usah, Tante. Nanti saja. Setelah mengantarkan gaun Bu Ren, aku langsung pulang. Dengan catatan, gaun rancangan Kak Clara memang luar biasa!"
Clara tersenyum tipis, "Bisa saja kamu, Yeon."
"Lho, Clara, kenapa tidak mengantarkan lewat butik saja?" tanya Eliza sambil melihat putrinya yang tampak bergegas.
"Bu Ren mintanya buru-buru, jadi aku mau ke butik untuk mengecek pesanan lain. Makanya untuk gaun yang ini, aku minta Abigail dan Yeon yang mengantarkan."
"Begitu ya." Eliza mengangguk mengerti.
"Bentar, aku ganti baju dulu. Mandi sore saja, biar lebih enak," ujar Abigail, lalu segera mengganti baju untuk mengantar pesanan gaun itu.
Setelah memuat gaun ke dalam mobil Yeon, Clara pun bersiap pergi ke butik.
Di kejauhan, ada beberapa orang yang memperhatikan Abigail, salah satunya seorang laki-laki dengan secarik kertas di tangannya. Dia tersenyum lebar sambil memandangi foto Abigail.
"Ini Abigail," katanya sambil menatap fotonya. "Dia pintar, cantik, dan jenius. Kalau bos bisa membuatnya jatuh cinta, bos benar-benar keren!"
"Itu pasti," balasnya lagi. "Abigail harus jatuh cinta padaku."
O0O
"Bu Ren, permisi!" panggil Yeon dan Abigail di depan rumah Bu Ren. Begitu mereka sampai, Yeon menatap gaun rancangan Clara yang tampak begitu indah.
"Kalau aku menikah, aku ingin memakai gaun seperti ini," ujar Yeon kepada Abigail.
"Aku aminkan," sahut Abigail sambil tersenyum.
Bu Ren keluar dari rumahnya dan menyambut mereka. "Gaun anak saya sudah selesai, ya? Uang DP dan pelunasan sudah diserahkan ke Clara kemarin, kan?"
"Sudah, Bu," jawab Abigail sambil mengangguk.
"Baik, terima kasih, Abigail dan Yeon. Salam untuk Clara ya!"
Abigail mengangguk lagi, "Siap, Bu."
Setelah kembali ke mobil, Yeon menatap Abigail dan bertanya, "Mau langsung pulang, Bi?"
"Iya, sudah sore, nanti bisa kemalaman," jawab Abigail.
Yeon melajukan mobilnya. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di depan rumah Abigail. Yeon tersenyum sebelum Abigail turun dari mobil.
"Besok kita ketemu di sekolah, ya. Aku yakin hasilnya tidak akan mengecewakan. Aku percaya usahamu akan membuahkan hasil."
"Terima kasih, Yeon. Sampai besok!"
Setelah mobil Yeon berlalu, Abigail membuka ponselnya yang menunjukkan pesan baru. Dia terkejut melihat sebuah foto dirinya yang diambil dari kejauhan.
"Hah? Siapa yang mengirim ini?"
Abigail terdiam, terpaku di tempat, dan hatinya diliputi rasa penasaran. "Siapa ini?"