Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Arya
Sasha keluar diam-diam dari rumah, jendela menjadi jalan keluarnya saat dia tidak berani pergi melewati pintu.
Pak Faisal menghukumnya dengan tidak boleh keluar selangkah pun dari rumah. Dia harus tetap berada di rumah sampai ayahnya itu mengetahui di mana keberadaan Arya.
Sudah hampir tiap menit Sasha mencoba menghubungi Arya, tapi cowok itu seolah sengaja menghindarinya. Apalagi Sasha sudah mengatakan kepada Arya kalau dirinya itu sedang hamil, dan dia minta Arya untuk bertanggung jawab.
Mendapatkan kabar tidak mengenakkan dari kekasihnya, lantas membuat Arya menghilang tanpa kabar.
Sasha tahu di mana keberadaan sang kekasih, makanya malam ini dia pergi sendiri untuk bertemu langsung.
Ia berdiri cukup lama di depan tempat gym yang dikelola oleh kekasihnya. Sasha masih ragu, ada rasa takut di hatinya.
"Gimana kalau nanti dia enggak mau tanggung jawab sama anak yang aku kandung ini? Apa jadinya nasib aku?"
Bayangan buruk tidak pernah pergi jauh-jauh dari pikirannya.
"Tidak! Arya tidak mungkin melakukan hal itu, kalau memang dia enggak mau bertanggung jawab, maka aku akan melaporkannya ke pihak berwajib," monolog Sasha, dia masih bergelut dengan pikirannya.
Masuk atau tidak, dia tetap saja bimbang. Saat hendak masuk, Arya malah keluar, tampaknya Arya tidak tahu kalau Sasha sedang berada di luar menunggunya.
Gadis itu berlari menghampiri Arya, sontak membuat Arya kaget dan hendak berbalik arah untuk pergi menghindar. Namun, dia menahan lengan cowok itu.
"Jangan pergi! Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu, Ar." Sasha begitu memelas, ia menggenggam erat tangan Arya.
"Soal itu lagi?" tanya Arya santai, seolah itu hal biasa dan tidak perlu dipermasalahkan.
"Aku hamil, Ar. Ak-aku ingin kamu segera nikahin aku," ucapnya terbata.
"Nikahin? Kamu udah gila apa? Aku enggak mau!" ucapnya tegas.
"Enggak mau gimana? Kamu udah janji sama aku, kamu enggak bisa lepas tangan gitu aja dong."
"Eh, denger ya! Itu juga belum tentu anak aku, mana tahu benih laki-laki mana yang ada di rahim kamu, mungkin kamu udah tidur sama laki-laki lain, terus kamu ngaku kalau itu anak aku?" Arya tetap tidak mau bertanggung jawab.
Dia meremas kuat pergelangan tangan Sasha hingga nyaris terpelintir.
Sasha meringis minta dilepaskan, namun Arya tidak melepaskannya begitu saja sebelum Sasha berjanji tidak akan mengganggunya lagi.
"Lepasin, Ar!"
"Enggak! Aku enggak bakalan lepasin kamu sebelum kamu janji untuk tidak akan mengganggu hidup aku lagi," ucap Arya.
Sasha tidak mau melakukan itu, apa pun alasannya, Arya tetap harus bertanggung jawab.
Anya yang diam-diam mengikuti adiknya, langsung mengambil tindakan begitu melihat Arya memperlakukan Sasha dengan kasar.
Dengan cepat dan tak terduga, satu tendangan Anya tepat mengenai dada cowok itu, Arya terhuyung beberapa langkah ke belakang.
Dia kaget menyadari kedatangan Anya, karena tidak terima akan apa yang dilakukan Anya, cowok itu pun bersiap membalas.
"Kurang ajar! Jangan salahkan aku kalau bermain kasar!" Arya siap-siap untuk membalas tendangan Anya.
Sayangnya, nasib Arya tidak berakhir baik malam ini, Anya yang sudah dibalut emosi pun menghajarnya tanpa rasa ampun. Cowok itu tidak kenal siapa Anya.
Dia pikir Anya adalah wanita lemah yang mudah ditindas, melihat dari penampilan anggun Anya tentu saja semua orang akan berpikir demikian.
Tidak ada yang tahu bahwa dalam balutan busana muslimah itu, bersemayam sosok yang begitu kuat, Arya tidak akan bisa dengan mudah mengalahkan Anya.
"Katakan ini sama keluarga kamu, Arya! Secepatnya lamar Sasha dan nikahin dia!" tegas Anya.
"Oh ya." Arya menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. "Kamu pikir karena ilmu bela diri kamu lebih hebat dari aku, kamu bisa dengan begitu mudah menyuruh-nyuruh aku, hah?"
Arya tertawa sinis, dia memandang Anya dan Sasha dengan tajam dari atas sampai bawah.
"Sepertinya kalian berdua sama, sama-sama perempuan murahan."
Anya diam mendengarkan omongan Arya sampai selesai, sedangkan Sasha sudah tidak tahan, dia ingin membungkam mulut cowok itu dengan menampar wajahnya.
Tangan Sasha dicekal Anya. "Biarkan dia bicara sampai selesai, mungkin dia belum puas."
"Ya, memang belum puas! Tapi sekarang aku sudah puas, aku sudah puas dengan apa yang terjadi, dan kamu juga perlu ingat satu hal, berhenti nyari aku untuk menyuruh aku bertanggung jawab atas kehamilannya Sasha!" Arya bangun, menyeret langkahnya hendak pergi dari sana.
Perjuangan cowok itu sia-sia, tanpa dia sadar dua pria berbaju hitam telah berdiri di depannya.
Tubuh mereka besar dan tangannya kekar berotot, tidak mungkin bisa mengalahkan dua raksasa itu dengan mudah.
"S-siapa ka-kalian?" tanya Arya tergagap.
"Pengecut itu selalu lari dari masalah, dan pengecut seperti lo itu pantasnya di tong sampah, bikin gue alergi aja!" seorang perempuan cantik muncul di balik badan dua lelaki itu.
Ternyata itu adalah sahabat Anya, yang selalu ada di saat dia butuh. Dia adalah Windi, senyum hangatnya mampu membawa ketenangan di hati Anya.
"Windi?"
"Kalian berdua tenang aja, urusan cowok resek ini biar jadi urusan gue," ujar Windi.
"Stop! Kalian mau ngapain!" Arya bertanya keheranan saat dua pria asing itu mendekatinya.
Dia tidak tahu mau minta tolong sama siapa, di sana sudah sepi. Andai tahu kalau malam ini dia bakal sial seperti ini, tentu saja dia akan pulang lebih awal tadi.
"Bawa dia!" suruh Windi pada anak buahnya.
Salah satu dari mereka mengangkat tubuh Arya dengan mudah, bagai membawa karung saja, tidak terlihat berat sama sekali.
Pintu mobil dibuka, dan Arya langsung dicampakkan begitu saja dalam mobil van itu.
"Bawa dia ke markas kalian, ikat dia, dan jangan dilepaskan sampai gue datang ke sana!" perintah Windi.
Jepret!
Jepret!
Beberapa gambar telah diambil, dari awal Sasha menemui Arya, sampai Windi menyuruh dua anak buahnya membawa Arya pergi. Semua momen itu telah diabadikan dalam lembaran-lembaran foto oleh orang tak dikenal.
Sasha terus diam dari tadi, sejak Anya membelanya di depan Arya, memukul cowok itu hingga Windi juga datang ke sana. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Dia masih tidak bisa percaya akan apa yang dilihatnya tadi, kakaknya bisa berantem juga. Sejak kapan kakaknya berlatih ilmu bela diri? Sebenarnya dia mulai kagum dengan kakaknya, tapi rasanya terlalu gengsi untuk memperlihatkan rasa kagum itu.
Perlahan ada juga rasa bersalah yang menghantuinya, dia menyadari sekarang kalau Anya sangat peduli akan masa depannya.
"Kalian kenapa bengong? Ayo kita pergi sebelum ada yang ngelihat kita di sini!" ajak Windi.
"Ah, iya! Ayo, Sha!"
"Aku bisa pulang sendiri!" Sasha langsung menepis tangan Anya dengan kuat. Egonya terlalu tinggi untuk mengakui akan kebaikan Anya yang begitu tulus.
"Sha, kamu ikut bareng kita aja," timpal Windi.
"Iya, nanti kalau terjadi apa-apa di jalan gimana?"
"Udah deh, Kak. Kamu itu enggak usah sok peduli sama aku, kamu senang kan ngeliat aku menderita begini? Kamu pastinya puas, puas karena rasa sakit kamu udah terbalaskan!" tuding Sasha.
Anya tidak seperti itu, dia tulus sama adiknya. Sasha selalu menganggap Anya tidak pernah tulus, ia menganggap Anya cuma ingin terlihat lebih baik daripada dirinya di depan orang lain.
"Kamu ini ngomong apa sih? Aku ini kakak kamu, salah ya jika aku peduli sama adik aku sendiri? Sha, kamu itu anak kesayangan ibu sama ayah, seharusnya kamu bersyukur, apa-apa selalu kamu yang dilebihkan sama mereka. Kamu masih enggak puas dengan itu semua? Kadang aku bingung kenapa kamu benci banget sama aku, kamu enggak pernah mau dengerin nasihat aku, padahal itu juga untuk kebaikan kamu sendiri." Anya sudah tidak tahan dengan kelakuan adiknya.
"Anya, sudahlah! Jangan bertengkar di sini, sebaiknya kita pulang! Sha, ayo pulang! Kamu ikut kita aja!" ucap Windi, dia berusaha melerai perdebatan antara kakak beradik itu.
Masih dengan egonya yang tinggi, Sasha tetap tidak mau ikut bersama mereka. "Enggak usah! Aku enggak butuh perhatian kamu, Mbak. Aku bisa pulang sendiri!" ketusnya berlalu pergi.
"Sasha!" panggil Anya.
"Anya, biarin aja dia pulang sendiri. Kadang ada baiknya kamu jangan ikut campur lagi urusan dia, biarin dia ngurus semuanya sendiri, lihat setelah kamu lepas tangan, apa ada yang bisa membantu dia," saran Windi.
Adakalanya kita juga harus bersikap abai, tapi Anya tidak seperti itu. Dia tidak bisa mengabaikan adiknya, dia terlalu sayang, meski kadang tak jarang harus merasakan sakit yang amat sangat ketika apa yang dilakukannya mendapat reaksi tak pantas, respon negatif dari sang adik.
"Dia adik aku, Win. Adik aku satu-satunya, aku sudah terbiasa menyayangi dia dari kecil, aku bahkan ingin dia kembali ke masa kecilnya dulu. Saat dia tidak pernah menolak setiap apa yang aku berikan, terlebih lagi jika itu untuk kebaikannya sendiri." Anya hanya bisa menatap punggung adiknya yang perlahan menghilang dari pandangannya.
***