The Line Of Destiny
Hari masih begitu pagi, rembulan juga belum sepenuhnya menghilang. Anya menuju dapur untuk melakukan kegiatan paginya seperti biasa, ia sibuk bergelut di dapur membantu sang ibu menyiapkan sarapan pagi.
Sedangkan ayahnya, lelaki itu sudah sejak tadi subuh pergi ke kebun. Anya meletakkan lemon ke atas meja seraya bersenandung kecil.
Sore hari ini, dia akan bertemu dengan Rizki, sang pujaannya. Menurut kabar yang didengarnya dari Windi, lelaki itu sedang menghabiskan waktu liburannya di rumah.
"Kesempatan bagus, hari ini aku harus bisa bertemu sama Rizki," gumam Anya.
Ibunya sempat mendengar ucapannya itu, meskipun suaranya kecil. "Kamu jangan terlalu berharap banyak sama dia," kata ibu berujar.
"Apa Sasha belum bangun jam segini, Bu?" tanya gadis itu seraya meletakkan tahu ke dalam piring, ia sengaja mengalihkan topik obrolan.
"Adik kamu itu emangnya kapan pernah bangun cepat, Nya?"
"Seharusnya Ibu ngasih nasihat buat Sasha, dia bukan anak kecil lagi, Bu. Sasha udah bisa bantu-bantu pekerjaan rumah," ucap Anya berkomentar.
"Udah ah, kamu kan ada. Kamu bisa bantu ibu, jadi untuk apa Sasha, adikmu itu masih kecil, biarin aja dia menikmati hidupnya. Nanti kalau udah waktunya nikah, baru ibu ajarin dia jadi wanita mandiri, ngajarin dia masak, beres rumah, dan hal lainnya. Sekarang masih ada kamu, ngapain repot-repot manggil dia," cicit bu Aila. Wanita itu terus bicara hingga membuat Anya menarik napas panjang dengan hati kesal.
"Kecil?" ulang Anya dengan alis bertaut. "Bu, Sasha udah 18 tahun lebih, umur segitu bukan lagi umur anak kecil, emang dia balita?" bantah Anya.
"Udah berapa kali kamu nyinggung soal Sasha? Kamu ini sebenarnya kenapa? Kamu iri sama dia?"
Bu Aila mematikan kompor dan menatap sengit ke arah Anya.
"Iri? Hah, untuk apa aku iri sama Sasha, Bu? Emang apa yang bisa dibanggakan dari anak itu? Aku cuma enggak suka ngelihat sikap Ibu yang terus ngemanjain dia. Lama-lama dia akan berlaku seenaknya," pungkas Anya, ia segera mengambil kunci motornya yang tergantung di dinding dekat pintu dapur, dan kemudian pergi dari sana.
"Anya, mau ke mana kamu? Ini belum selesai, Nya! Anya, kembali ke sini!" seru ibunya.
"Males! Aku mau langsung berangkat kerja, Bu." Anya terus berjalan tanpa mengindahkan seruan ibunya.
Ia sadar sikapnya tadi terlalu berlebihan, tapi semua itu dilakukan karena ibunya juga.
Anya tidak setuju dan tidak akan pernah mendukung cara kedua orangtuanya mendidik Sasha.
Sasha dibiarkan tidak kuliah dan menghabiskan masa mudanya dengan asyik berpacaran.
Ayahnya masih sanggup membiayai sekolah Sasha sekalipun ke perguruan tinggi, tapi Sasha memilih diam di rumah dan menikmati waktu luangnya itu. Sedangkan dia harus keluar dari pesantren dan tidak bisa lanjut belajar lagi, karena waktu itu perekonomian keluarganya memburuk.
"Aku cuma tamatan SMA doang, beruntung banget Sasha bisa kuliah, tapi dia malah enggak mau," geram Anya sambil menghidupkan mesin motornya meninggalkan halaman rumah.
Anya mengendarai sepeda motornya dalam kecepatan sedang. Ia bisa berkendara dengan nyaman tanpa khawatir akan kemacetan, karena saat itu jalanan masih sepi.
Udara terasa begitu sejuk, setelah keluar dari rumah pikirannya jadi lebih tenang sekarang.
"Entah sampai kapan ibu akan memanjakan Sasha seperti itu?" batin Anya.
***
"Wow! Tuan puteri datang kepagian hari ini," ucap Windi begitu Anya tiba di parkiran.
Sambil melepaskan helmnya, Anya mendelik tajam ke arah Windi. "Lagi bad mood aku, Win."
"Eleh, bad mood terus." Windi sedikit tersenyum.
"Kenapa? Kamu pasti enggak nyangka kan kalau aku bakal datang sepagi ini?" Anya turun dari motornya dan mulai kembali ke topik utama. Dia tidak mau Windi menanyakan apa yang terjadi pada dirinya pagi ini.
"Yach, enggak biasanya kan kamu datang awal kek gini. Biasanya juga telat, dan pasti udah nyiapin seribu satu alesan supaya aku enggak marah," celetuk Windi sembari memonyongkan bibirnya.
"Kita kan sahabat, Win," balas Anya dengan wajah dibuat seimut mungkin.
"Iya, iya! Enggak usah bikin ekspresi begituan. Geli gue liatnya tau! Nih, ambil! Oh ya, satu lagi. Gue nitip kafe ya, hari ini ada acara keluarga. Sekalian tolong awasin pekerjaan anak-anak ya, dan pastikan pendapatan kita bulan ini bertambah." Windi memberikan sebuah nasi kotak kepada Anya. Anya terdiam membisu melihat sahabatnya itu, bagai terhipnotis hanya dengan sogokan nasi kotak.
Windi buru-buru pergi sebelum Anya menolak kemauannya itu.
"Eh, berhenti, Win!" panggil Anya.
"Sehari doang kok," sahut Windi.
"Kamu nyogok aku?"
Windi kembali membalikkan badan dan berjalan menuju Anya.
"Ini cuma nasi kotak biasa, Anya. Enggak ada berlian di dalamnya, masa iya gue mau nyogok lo," ujar Windi.
"Please deh, Win. Jangan berlagak sok bodoh gitu, kamu pasti enggak mau ketemu sama Adnan kan? Jangan bohong!"
"Sok tau lo!" bantah Windi, "gue beneran ada urusan, kali ini aja ya, please!"
Pada akhirnya Anya cuma bisa menuruti perintah Windi, cuma sehari doang enggak apa-apa sepertinya. Ya, dia sendiri juga malas sebenarnya berhadapan dengan Adnan, lelaki mata keranjang mantannya si Windi.
"Oh ya, gue hampir lupa! Nih kuncinya, tangkap!" Windi melempar kunci itu, dan berhasil ditangkap oleh Anya.
"Mau menghindar ngomong aja, Win. Enggak usah banyak alesan!" seru Anya, dan Windi hanya membalas dengan senyumannya sambil membuka pintu mobil.
"Good luck, Anya sayang! Semoga harimu menyenangkan," ucapnya untuk yang terakhir kali.
Usai kepergian Windi, gadis itu langsung masuk ke dalam kafe dan menyapu lantai sampai bersih, sambil menunggu yang lain datang.
****
Siang harinya kafe dipenuhi oleh banyak pelanggan, sebagian besar adalah para karyawan kantor, dan selebihnya para remaja yang makan dengan pasangannya.
"Mbak, ini pesanan pelanggan yang di meja no 13 ya," ucap Revi seraya memberikan uang kepada Anya.
Anya mendongakkan kepalanya sedikit, entah kenapa dia jadi penasaran dengan pelanggan itu.
Anya mencoba melihat lebih jelas siapa lelaki yang bersama perempuan tersebut, sepertinya tidak asing.
"Arya?" desisnya kaget.
"Mbak kenal?"
"Dia pacarnya Sasha, adik aku," jawab Anya terus terang.
"Adik Mbak pacarnya kok pelit banget, gaya aja kelihatan elite gitu, padahal mah enggak punya duit," sinis Revi. Dia melihat ke belakang, ke arah Arya yang sudah berjalan meninggalkan kafe bersama Sasha.
"Maksud kamu, Vi?"
"Itu loh, Mbak. Masa bayar makanannya pakek uang adiknya Mbak, dia ngasih alesan gini, katanya dompetnya ketinggalan di rumah. Aneh enggak?"
"Jadi ini uangnya Sasha?"
"Ho oh, Mbak." Revi manggut-manggut. Terlalu jujur hingga membuat Anya seketika naik pitam, ia meremas dengan kesal uang itu hingga kusut dalam genggamannya.
"Benar-benar si Arya, tuh anak nyari mati apa? Udah berapa kali aku kasih peringatan buat jauhin Sasha," gumam Anya.
Anya kembali menatap tajam ke arah Revi, membuat Revi bergidik ngeri melihat perubahan wajah ramah Anya.
"Duh, bisa gawat kalau mbak Anya marah. Semoga mereka udah pergi dari sini," batin Revi.
"Vi, kamu jaga di sini sebentar ya! Aku enggak bakal lama kok, aku mau nyusul mereka dulu." Revi hanya bisa mengangguk dan tidak berani membantah.
*****
Anya berlari mengejar Sasha, begitu tiba di depan adiknya...
PLAK!
Sasha melotot marah ke arah Anya yang datang tiba-tiba dan langsung menamparnya.
"Apa-apaan kamu, Kak?" pekik Sasha.
"Apa-apaan kamu nanya? Kamu masih berani nanya dan berpura-pura bodoh, kamu pikir aku enggak tahu apa? Seharusnya kamu itu ke toko, bantuin ibu. Kalau enggak ya ke kebun, bantuin ayah. Ini malah keluyuran sambil pacaran sama Arya, cowok enggak jelas itu."
"Lihat aja ya, aku bakal aduin perbuatan kamu sama ayah dan ibu," ancam Sasha. Pipinya masih terasa begitu sakit, dia ingin membalas tamparan tadi, tapi hatinya takut, dan dia tidak punya nyali untuk membalasnya.
Memandang wajah Anya saat marah membuat nyalinya menciut, dia jadi berani bertindak seenaknya karena selalu mendapat pembelaan dari ibu dan ayahnya.
"Oh ya! Silakan pulang dan aduin semuanya sama ibu dan ayah! Kamu pikir setelah aku ngasih bukti ke ayah sama ibu kalau kamu ngebayarin Arya tiap makan berdua, mereka masih setuju kamu dekat dengan cowok modelan dia, hah?" Anya balik mengancam.
Ini cuma gertakan saja, Sasha berusaha menenangkan pikirannya.
"Kak Anya tidak mungkin ngelakuin hal ini, dia tidak akan ngadu sama ayah," batin Sasha semakin cemas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
TrixJeki
wehh keren Anya gadis tegas dan berani, aye suka aye suka. semangat Author Rican💪💐
2025-01-14
1