Wanita kuat dengan segala deritanya tapi dibalik itu semua ada pria yang selalu menemani dan mendukung di balik nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syizha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ancaman
Hari-hari di pusat komunitas terus berjalan, dengan dinamika yang mulai menunjukkan kerumitan baru. Meskipun suasana sebagian besar damai, perlahan muncul konflik kecil. Beberapa penduduk merasa ada yang mulai mendominasi perdagangan, sementara yang lain mengeluh tentang pembagian sumber daya yang dianggap tidak adil.
Akselia dan Mikael sering menghabiskan waktu mendengarkan keluhan mereka. Tapi suatu pagi, konflik itu akhirnya meledak.
Seorang petani bernama Ikar dan seorang pedagang bernama Doran beradu mulut di tengah pasar. Ikar menuduh Doran menaikkan harga barang dagangannya dengan sengaja, sementara Doran mengklaim bahwa usaha kerasnya harus dihargai lebih. Kerumunan mulai berkumpul, dan suasana menjadi panas.
“Berhenti!” Akselia melangkah di tengah kerumunan, suaranya tegas tetapi tidak berteriak.
Kerumunan itu terdiam, tetapi ketegangan masih terasa.
“Ini bukan alasan kita berkumpul di sini,” lanjut Akselia. “Kita membangun tempat ini karena kita percaya pada kerja sama, bukan saling menjatuhkan. Jika ada masalah, kita selesaikan dengan cara yang adil. Dan untuk itu, kita butuh sistem yang lebih baik.”
Mikael maju mendukungnya. “Kami bisa membentuk dewan kecil dari perwakilan setiap desa. Setiap keputusan atau konflik seperti ini akan diselesaikan bersama, bukan oleh satu atau dua orang saja.”
Kerumunan mulai berdengung. Beberapa orang mengangguk, sementara yang lain terlihat ragu.
“Kalian tidak perlu setuju sekarang,” lanjut Akselia. “Tapi pikirkan ini: jika kita tidak menemukan cara untuk bekerja sama, tempat ini tidak akan bertahan lama.”
---
Setelah perdebatan itu, Akselia merasa perlu waktu untuk merenung. Dia berjalan ke tepi sungai yang membatasi desa. Airnya jernih, mengalir tenang, membawa kesejukan yang sedikit meredakan beban di pikirannya.
Saat itulah suara langkah kaki mendekat. Mikael muncul dengan senyumnya yang biasa.
“Selalu lari ke sungai saat stres, ya?” tanyanya sambil duduk di batu besar di sampingnya.
Akselia mendesah. “Aku tidak lari. Aku hanya... berpikir.”
“Dan apa yang kau pikirkan?”
“Aku takut, Mikael,” jawabnya jujur. “Tempat ini adalah harapan banyak orang, tapi satu kesalahan bisa menghancurkan semuanya.”
Mikael menatapnya dengan penuh perhatian. “Akselia, setiap perubahan besar selalu datang dengan risiko. Kau tidak bisa menghindari itu. Tapi yang membedakanmu adalah keberanianmu untuk tetap melangkah meski kau tahu ada risiko di depan.”
Akselia menoleh padanya. “Kau selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa lebih baik.”
“Itu karena aku percaya padamu,” jawab Mikael sambil tersenyum.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Akselia merasa ada sedikit ketenangan.
---
Beberapa hari kemudian, mereka mulai membentuk dewan seperti yang diusulkan. Perwakilan dari setiap desa berkumpul di ruang rapat sederhana di pusat komunitas. Ikar dan Doran, yang sebelumnya berselisih, juga hadir, meskipun mereka masih terlihat canggung satu sama lain.
Proses itu tidak mudah. Banyak suara yang berbenturan, ide-ide yang berbeda, dan ego yang harus diatur. Tapi Akselia memimpin dengan ketegasan dan kesabaran yang luar biasa, sementara Mikael mendukungnya dengan caranya sendiri, menjadi penengah ketika ketegangan meningkat.
Pada akhirnya, mereka berhasil membuat kesepakatan awal: setiap desa memiliki hak suara, dan setiap keputusan besar harus disepakati bersama.
“Aku tidak percaya ini bisa terjadi,” kata Mikael saat mereka berjalan keluar dari ruang rapat malam itu.
“Aku juga,” kata Akselia, sambil tersenyum kecil. “Tapi ini baru langkah pertama.”
Mikael menatapnya dengan bangga. “Langkah yang luar biasa, Sel. Kau berhasil membuat mereka percaya pada sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.”
Akselia merasa senang mendengar itu, tetapi dia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang.
---
Di tengah dinamika ini, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Suatu malam, ketika Akselia sedang memeriksa area pasar yang sudah sepi, dia menemukan sebuah surat terselip di antara tumpukan kayu. Surat itu ditulis dengan tinta hitam, tanpa nama pengirim.
“Kami memperhatikan kalian. Jangan terlalu percaya diri. Tempat ini tidak akan bertahan lama.”
Akselia merasakan dingin di tengkuknya. Dia segera membawa surat itu kepada Mikael.
“Ini peringatan,” kata Mikael sambil membaca surat itu berulang kali. “Mungkin dari kelompok pendukung Elysium, atau seseorang yang tidak senang dengan apa yang kita lakukan di sini.”
“Tapi kenapa sekarang?” tanya Akselia. “Tempat ini baru saja mulai berjalan.”
“Justru itu,” jawab Mikael. “Mereka tahu tempat ini bisa menjadi ancaman bagi kekuasaan mereka. Dan mereka ingin menghentikan kita sebelum kita menjadi terlalu kuat.”
Mikael menatap Akselia dengan serius. “Kita harus bersiap. Tempat ini mungkin damai sekarang, tapi itu tidak akan bertahan selamanya.”
Akselia mengangguk. Di balik keberhasilan mereka, dia tahu bahwa ancaman selalu mengintai. Tapi dia juga tahu satu hal: dia tidak akan menyerah. Tempat ini adalah simbol harapan bagi banyak orang, dan dia akan melakukan apa pun untuk melindunginya.
Malam itu, Akselia duduk sendirian di bawah langit berbintang, memegang surat itu di tangannya. Perasaannya campur aduk—antara ketakutan, kekhawatiran, dan tekad.
“Jika mereka ingin menghancurkan kita,” bisiknya pada dirinya sendiri, “maka aku akan memastikan mereka tidak berhasil.”
Dan untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa dia bukan hanya melawan masa lalunya, tetapi juga menghadapi masa depan dengan keberanian yang tidak pernah dia tahu dia miliki.