Aku sangka setelah kepulanganku dari tugas mengajar di Turki yang hampir 3 tahun lamanya akan berbuah manis, berhayal mendapat sambutan dari putraku yang kini sudah berusia 5 tahun. Namanya, Narendra Khalid Basalamah.
Namun apa yang terjadi, suamiku dengan teganya menciptakan surga kedua untuk wanita lain. Ya, Bagas Pangarep Basalamah orangnya. Dia pria yang sudah menikahiku 8 tahun lalu, mengucapkan janji sakral dihadapan ayahku, dan juga para saksi.
Masih seperti mimpi, yang kurasakan saat ini. Orang-orang disekitarku begitu tega menutupi semuanya dariku, disaat aku dengan bodohnya masih menganggap hubunganku baik-baik saja.
Bahkan, aku selalu meluangkan waktu sesibuk mungkin untuk bercengkrama dengan putraku. Aku tidak pernah melupakan tanggung jawabku sebagai sosok ibu ataupun istri untuk mereka. Namun yang kudapat hanyalah penghianatan.
Entah kuat atau tidak jika satu atap terbagi dua surga.
Perkenalkan namaku Aisyah Kartika, dan inilah kisahku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
Bagas sontak menoleh dengan tatapan tidak terima. Kening pria tampan itu mengernyit, "Andai dulu ibu tidak memintaku menikahi Melati, pasti tidak akan seperti ini masalahnya!"
Bu Dewi menghela nafas dalam, sembari bersedekap dada, "Kamu menyalahkan ibu, Bagas?? Tapi sekarang, kamu sudah mencintai Melati kan? Lantas, dimana salah ibu??" jawabnya.
Mendengar itu membuat Bagas semakin pusing. Dia menyunggar kasar kepalanya, dan langsung ingin beranjak pergi.
Seketika langkahnya terhenti saat mendengar suara Melati dari dalam melangkah mendekat kearahnya.
"Apa kamu akan membuangku setelah istri pertamamu pulang mas Bagas?"
Bu Dewi menoleh, begitupun Bagas yang hanya memejamkan matanya sekejab. Suasa rumah mewah itu benar-benar suram setelah beberapa menit yang lalu.
"Cintaku padamu itu salah Melati. Aku harap, kamu tidak menanamnya terlalu dalam!" suara Bagas sangat nyaring digendang telinga istrinya. Hati pria itu benar-benar bimbang setelah kepulangan istri pertamanya. Perasaan bersalah menyeruat direlung batinnya yang terdalam.
Setelah mengatakan itu, Bagas bergegas pergi dari ruang tengah tersebut. Tujuanya saat ini menemui Aisyah untuk menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.
"Aku tidak terima kamu buat begini mas. Mas Bagas...kamu mau kemana? Mas..aku belum selesai berbicara!" teriak Melati yang sudah merasa frustasi.
Bu Dewi mendekat sembari mengusap lengan menantunya. "Sudah. Beri waktu untuk Bagas memikirkan semuanya. Tenangkan hatimu dulu!" dituntunnya sang menantu untuk duduk, agar perasaanya lebih tenang.
Melati mendesah kasar. Tdak habis pikir, rumah tangga yang semula bahagia mendadak hancur dalam sekejab. Dua tahun mendapat cinta dan perlakuan manis dari sang suami, rupanya hanya bayangan yang sulit untuk dia genggam.
** **
Aisyah hanya terdiam dengan tatapan kosong, seakan dunianya runtuh dalam beberapa detik. Impiannya yang sudah dia rakit waktu demi waktu, kini hancur lebur diterpa badai pekat yang merenggut rumah tangganya.
Bu Sinta dan juga tuan Abdullah, tampak shock saat melihat putri angkatnya pucat bagai tak berdarah sedikitpun. Hati kedua parubaya itu benar-benar sakit, melihat putri yang telah dia besarkan dari kecil, begitu rapuh seperti saat ini. Keduanya saling melempar tatap, karena baru kali ini mereka melihat sosok yang biasanya murah senyum mendadak kosong seperti tak berjiwa.
"Ya allah sayang..ada apa denganmu?" Bu Sinta mendekat sembari memegang kedua bahu putrinya. Kedua netranya sudah berembun, dengan sekali kedipan saja air matanya akan terjatuh.
Tuan Abdullah memberi isyarat bagi Fatma untuk membawanya masuk kedalam. Fatma hanya mengangguk, lalu menuntun sang sahabat masuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
"Istirahat sayang..ibu kebawah dulu!" lirih bu Sinta dengan mencium kening sang putri sekilas. Yang hanya mendapat anggukan saja dari Aisyah.
Dadanya mencoles, saat wanita tua itu menutup pintu kamar putrinya secara perlahan, lalu ikut turun bersama dengan Fatma.
"Duduklah nak, ceritakan pada abah apa yang terjadi pada Aisyah??" ujar tuan Abdullah saat Fatma baru saja tiba di ruang tamu.
Fatma menoleh sekilas pada bu Sinta, dan mendapat angukan dari ibu sahabatnya itu. Bu Sinta mengusap bahu Fatma, seakan melalui usapan itu tersirat beberapa pertanyaan yang belum dia ketahui.
Fatma duduk dengan tenang, menarik dalam, lalu menatap secara bergantian dua parubaya dihadapanya.
"Begini tante, abah......" Fatma mulai menceritakan kenyataan yang baru saja dia ketahui setelah menjemput sahabatnya dari bandara.
Air mata bu Sinta seketika berjatuhan satu persatu, tidak menyangka sang menantu tega membohongi keluarganya begitu lamanya.
Tuan Abdullah meraup nafas dalam, seakan oksigen yang berada dirumahnya mendadak hilang. Dibalik ketegarannya sebagai seorang ayah, tidak dapat dia pungkiri ada perasaan tidak terima melihat putrinya mendapat perlakuan tidak adil.
"Sudah, istiqfar bu..! Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Kita tunggu itikad baik dari Bagas datang kerumah. Jika memang tidak ada datang, maka abah yang akan kesana untuk meluruskan masalah ini!" ujarnya sembari mengusap bahu istrinya sang sedang bergetar.
Fatma ikut menitikan air mata, namun buru-buru dia usap. Hatinya ikut terasa sakit mengingat kenyataan yang sahabatnya dapat barusan. Mereka tumbuh bersama dalam satu panti asuhan. Jadi tidak dapat dia pungkiri, apa yang Aisyah rasakan pasti amat terasa direlungnya.
"Asstaqfirullahaladzim Ya Allah...kenapa tega sekali menantuku berbuat seperti ini pada putriku!" lirih bu Sinta disela isakan tangisnya, yang terdengar begitu pilu.
Fatma mengambil beberapa helai tisu diatas meja, lalu mendekat untuk menyeka air mata bu Sinta.
"Terimakasih nak.." balasnya.
"Tante, abah..Fatma pamit pulang dulu! Kabari Fatma jika terjadi sesuatu pada Ara. Semoga saja Ara segera bangkit dari rasa sakitnya." ujarnya sembari bersalaman pada kedua orang tua Aisyah.
"Terimakasih nak Fatma. Salam pada orang tuamu!" jawab tuan Abdullah.
"Hati-hati nak..!" ujar bu Sinta, dan hanya mendapat anggukan desainer tersebut.
Selepas kepergian Fatma. Tuan Abdullah dan juga bu Sinta segera bangkit untuk menuju kamar putrinya.
"Assalamualaikum..." salam seseorang dari luar pintu.
Tuan Abdullah sontak menoleh, dan menghentikan langkahnya.
"Walaikumsalam.. Masuklah nak!"
Pria tampan bertubuh tegap dengan wajah tenang sembari menggandeng bocah kecil berusia 4 tahun tampak memasuki rumah sang ayah dengan senyum mengembang.
Dia adalah Mahardika Abdullah. Putra pertama tuan Abdullah dengan bu Sinta. Mahar sangat menyayangi sang adik, walaupun dia tahu Aisyah bukan adik kandungnya. Mahar tidak pernah membedakan kasih sayangnya sedikitpun.
Meisya istri Mahar tampak mengernyit, saat melihat kedua mertuanya menunduk lesu begitu dia dan suaminya mendekat.
"Hallo sayangnya oma..Bima sehat kan sayang?"
"Cehat oma, opa!" balas Bima dengan cirikhas cadelnya.
Meisya melempar tatap pada suaminya, seakan berkata ada apa yang terjadi melalui tatapan itu.
"Ibu, abah...apa ada sesuatu yang terjadi?" ujar Meisya begitu lembut sembari mengusap lengan bu Sinta.
"Duduklah nak..biar abah jelaskan." bu Sinta mengajak anak serta menantunya untuk duduk kembali, dan membiarkan tuan Abdullah menjelaskan semuanya.
"Apa..?!" suara Maha begitu menggema, setelah orangtuanya menceritakan masalah sang adik kepadanya.
Meisya yang mendengar itu sontak membekap mulutnya, dengan airmata yang sudah berembun. Ada perasaan sakit dan juga tidak terima, karena dia juga sesama wanita. Apalagi Aisyah sudah dianggapnya seperti adik kandungnya sendiri.
Mahar spontan mengepalkan kedua tangan dengan rahang yang sudah mengretak keras, pertanda emosinya benar-benar sudah diujung ubun-ubun.
'Kurang ajar kau Bagas! Adiku adalah separuh nyawaku, namun dengan entengnya kau membuat dia hancur!' jerit batin Mahar dengan tatapan lurus kedepan.
"Aisyah sudah mengabariku 2 hari sebelum dia pulang bu. Di berencana memberi kejutan pada keluarganya, namun apa yang terjadi..." Meisya tidak mampu meneruskan ucapanya karena teramat sesak yang dia rasa.
Meisya bangkit dari duduknya, "Biar aku yang keatas..mungkin dengan adanya Bima, mampu mengurangi rasa rindu Ara terhadap putranya," lanjutnya.
Bu Sinta hanya mengangguk sembari mengusap kepala cucunya, yang berjalan masuk kedalam.
"Apa bibi sudah pulang, bunda?" ujar Bima mendongak.
Meisya mengusap sisa airmatanya, "Benar sayang. Bibi sedang tidak enak badan. Bima nanti peluk bibi ya sayang."
"Baik bunda. Aku juga sudah lindu sama bibi," balasnya.
Sementara didalam, Aisyah tengah bersandar di dipan ranjangnya dengan tatapan kosong lurus kedepan.
'Mamah...'
'Sayang, siapa yang datang?'
'Akulah yang merawat putramu sejak kecil mbak. Aku yang menemani hari-harinya, disaat dia sendirian!'
Beberapa ucapan mereka seakan berputar dikepalanya yang entah sampai kapan akan berakhir. Air matanya kembali luruh diwajah pucatnya. Terkejut, sakit, sesak, bahkan frustasi yang saat ini Aisyah rasakan.
'Sayang, bunda berangkat dulu ya. Rendra baik-baik dirumah sama ayah dan oma'
Bocah 2 tahun itu hanya mengangguk, tidak tahu apa maksud yang diucapkan ibunya barusan.
Aisyah beralih menatap suaminya lalu mencium khidmat tangan Bagas setelah mendapat halauan, karena sebentar lagi pesawat yang ia tumpangi akan segera terbang.
"Aku pamit dulu mas..baik-baik.menjaga putra kita!"
Bagas memeluk tubuh istrinya, sembari mencium kening Aisyah begitu lama, "Kami juga Ara..cepat segera pulang. Jagalah kesetianmu untuku!" ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Mengingat ucapan suaminya 3 tahun yang lalu, sontak dia tersenyum kecut. Aisyah merasa menjadi orang paling bodoh sedunia, karena terlalu percaya ucapan kosong suaminya.
Hingga lamunanya tersadar, saat pintu kamarnya terbuka dari luar.
"Mbak Meisya, Bima sayang..." sapa Aisyah sembari mengusap air matanya.
Meisya tersenyum hangat, dadanya terasa sesak kembali saat melihat wanita cantik yang duduk diatas ranjang tampak tersenyum saat putranya Bima, kini tengah berlari menghampiri bibinya.
"Bibi..Bima sangat kangen sama bibi," bocah 4 tahun itu langsung menghambur kedalam pelukan Aisyah.
Aisyah mengelus surai sang keponakan sembari tersenyum, 'Ya Allah apa seperti ini rasanya dipeluk putraku sendiri. Aku sangat merindukan putraku Ya Allah..' batinnya yang terus mengusap surai pekat sang keponakan.
Meisya yang melihat pemandangan didepanya sontak menghangat. Dia tersenyum lega, walaupun dadanya mencoles.
"Bima sayang..itu ada mbak Nana. Bima main dulu sama mbak ya. Bunda sama bibi mau berbicara urusan orang dewasa." tegur Meisya sembari menunjuk kearah pintu, saat art muda itu sudah berdiri diambang pintu.
Bima melerai pelukanya, "Bibi..nanti kita main lagi ya. Bima mau minum susu dulu."
Aisyah hanya mengangguk dengan tersenyum.
Setelah pintu tertutup kembali, Meisya mengambil tangan adik iparnya dengan mengusapnya lembut.
"Mbak tidak tahu sedalam apa sakit yang kamu rasakan. Jika kamu ingin menangis, maka menangislah." lirih Meisya.
Aisyah hanya tersenyum nanar, sedikit mendongak menatap wanita cantik yang berbalut jilbab lebar dihadapanya.
"Rumah tanggaku sudah hancur mbak. mas Bagas tega memaduku secara diam-diam!" balasnya diiringi airmata yang ikut berjatuhan.