Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Suara gemuruh keras menggema di sekitar Apartemen Hunter, menarik perhatian para penghuni. Ketika mereka keluar untuk memeriksa apa yang terjadi, pemandangan yang mengejutkan menyambut mereka—separuh apartemen itu telah roboh.
Untungnya, tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Namun, situasi menjadi semakin kacau ketika pemilik lama apartemen memanfaatkan momen itu untuk kabur tanpa tanggung jawab. Ia meninggalkan para penghuni yang panik dan marah, dengan hanya memberikan pernyataan lewat pengeras suara.
"Saverio Archandra! Dia adalah pemilik baru apartemen ini! Kalian bisa menghubunginya kalau ada masalah!" seru pemilik lama itu, sebelum menghilang begitu saja dari lokasi.
Saverio, yang berdiri di antara para penghuni dengan wajah penuh kebingungan, hanya bisa menghela napas panjang. Rahangnya mengetat menahan rasa kesal. Situasi semakin rumit ketika beberapa penghuni mulai mendekatinya dengan berbagai ekspresi—ada yang marah, ada pula yang prihatin.
"Jadi, dia menyerahkan semua tanggung jawab padamu, Nak?" ucap seorang pria paruh baya dengan nada datar, namun matanya mengamati Saverio penuh penilaian. "Semoga kau bisa lebih bertanggung jawab daripada orang sebelumnya."
Saverio tidak tahu harus berkata apa. Ia baru tinggal di apartemen ini selama dua minggu, dan sekarang, tanggung jawab besar tiba-tiba dilemparkan padanya.
Sementara itu, Reixa yang berada di pelukan Saverio memandangi bangunan tua itu dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. "Ayah, sekarang bangunan ini milik kita, kan?" tanyanya polos.
Saverio melirik gadis kecil itu, lalu kembali menatap apartemen yang tampak memprihatinkan. Ia menggeleng pelan. "Renovasi akan membutuhkan biaya besar, Reixa. Kita bahkan tidak tahu seluk beluk kota ini dengan baik. Dan untuk sekarang, uang kita terbatas."
Reixa tersenyum kecil dan berbisik pelan di telinga Saverio, "Ayah, uangku masih banyak. Seratus triliun yang kumenangkan waktu itu belum terpakai, ingat?" bisiknya dengan nada seperti rahasia besar.
Saverio menatapnya dengan mata melebar, terkejut oleh pengingat itu. Gadis kecil ini benar-benar tidak biasa—dalam banyak hal. Namun, ia juga menyadari bahwa memiliki apartemen ini berarti menerima tanggung jawab yang besar.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita mulai dari setengah bagian apartemen dulu, Ayah?" lanjut Reixa dengan nada ceria. "Yang bagian utuh bisa kita jadikan tempat tinggal sementara untuk penghuni lain. Mereka pasti akan membantu kita nanti."
Saverio diam sesaat, menimbang-nimbang ucapan Reixa. Gadis itu memang cerdas dan penuh ide. Akhirnya, ia tersenyum tipis dan mengangguk. "Baiklah, tapi ini akan membutuhkan kerja sama dari semua pihak."
Reixa berbalik ke arah para penghuni yang masih berkumpul, tersenyum manis seraya berkata, "Kami baru saja pindah ke sini. Jadi, kalau tidak keberatan, kami akan butuh banyak bantuan dari kalian semua untuk memperbaiki tempat ini!"
Para penghuni menatap anak kecil itu dengan ekspresi terkejut dan penuh rasa kagum. Semangat Reixa yang ceria berhasil sedikit mencairkan suasana tegang. Saverio hanya bisa menghela napas panjang, menyadari bahwa petualangan baru mereka di apartemen tua ini baru saja dimulai.
Malam itu, suasana apartemen Hunter terasa lebih hening dari biasanya. Para penghuni yang selamat dari insiden tadi siang kembali ke unit-unit mereka yang masih aman, sementara sebagian lainnya berkumpul di area terbuka untuk mencari solusi bersama. Saverio duduk di ruang tamu unitnya yang kini terasa sempit dengan tumpukan barang-barang yang ia dan Reixa bawa. Ia memutar pikirannya, mencoba mencari cara untuk menangani situasi apartemen ini.
Reixa, di sisi lain, justru tampak santai. Ia duduk di sofa usang sambil memutar-mutar pensil, menatap rencana renovasi yang ia gambar di sebuah kertas lusuh. “Ayah, bagaimana kalau kita mulai dengan merenovasi lantai pertama dulu? Kita bisa menjadikannya ruang serbaguna untuk semua penghuni. Jadi mereka tidak perlu merasa terusir.”
Saverio mendengarkan sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapan matanya tampak lelah namun penuh perhatian. "Itu ide yang bagus, tapi biaya renovasinya? Dan kita masih harus mencari kontraktor yang bisa dipercaya di kota ini."
Reixa mengangkat bahu dengan santai. "Itu urusan kecil. Ayah lupa, aku ini punya pengalaman dalam segala hal, termasuk soal renovasi. Biar aku yang cari kontraktornya. Lagipula, uang bukan masalah besar, kan?" ucapnya dengan senyum jahil.
Saverio mendesah, namun ia tidak bisa menahan senyum kecil di wajahnya. Gadis ini benar-benar tidak kenal lelah, pikirnya. Ia kemudian beranjak berdiri dan mengacak rambut Reixa dengan lembut. "Baiklah, aku akan percaya padamu kali ini. Tapi ingat, kita harus hati-hati. Jangan sampai uang itu dihabiskan untuk sesuatu yang tidak penting."
Reixa mengangguk dengan semangat. "Tenang saja, Ayah. Aku tahu cara berhemat. Lagipula, aku sudah punya rencana besar untuk apartemen ini. Kita jadikan tempat ini bukan hanya tempat tinggal, tapi juga pusat kegiatan warga."
Ucapan Reixa membuat Saverio tertegun. Ia tahu gadis itu sering memiliki ide-ide brilian, tapi kali ini, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik rencana Reixa. "Apa maksudmu dengan pusat kegiatan warga?" tanyanya.
Reixa tersenyum penuh rahasia. "Tunggu saja, Ayah. Aku akan tunjukkan padamu nanti."
Keesokan harinya, Reixa mulai bergerak. Dengan bantuan beberapa penghuni apartemen yang bersedia, ia membersihkan area lantai pertama yang masih bisa digunakan. Reixa juga meminta Saverio untuk menghubungi beberapa kontraktor lokal untuk mendapatkan estimasi biaya renovasi.
Saverio mengawasi semua aktivitas itu dari kejauhan, merasa takjub dengan semangat dan kegigihan Reixa. Di usianya yang masih muda, ia sudah memiliki visi yang jelas dan kemampuan untuk memimpin. Meski demikian, ia tidak bisa mengabaikan rasa cemas yang perlahan merayapi pikirannya.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya," gumam Saverio pelan, menatap apartemen tua itu dengan tatapan penuh pertimbangan. "Tapi aku harus memastikan Reixa tetap aman dan bahagia, apa pun yang terjadi."
Malamnya, setelah seharian bekerja, Reixa dan Saverio duduk di balkon kecil unit mereka, memandangi langit malam yang penuh bintang.
"Ayah," panggil Reixa, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Saverio menoleh. "Ya, Rei?"
"Menurutmu, apakah kita bisa benar-benar membuat tempat ini menjadi rumah untuk semua orang?" tanyanya sambil memeluk lututnya.
Saverio tersenyum dan mengusap kepala Reixa dengan lembut. "Kalau kita bekerja sama, aku yakin kita bisa. Kau sudah memulai langkah pertama, Rei. Itu yang terpenting."
Reixa menatap Saverio dengan mata berbinar, senyum kecil muncul di wajahnya. "Kalau begitu, ayo kita lakukan ini bersama, Ayah."
"Ya, bersama," jawab Saverio, dan untuk pertama kalinya sejak insiden itu, ia merasa optimis tentang masa depan mereka di apartemen Hunter.
✨
"Kalau tidak salah, dia adalah calon kontraktor sukses beberapa tahun ke depan dan memiliki banyak saingan," pikir Reixa sambil memperhatikan seorang pria muda yang sibuk memberi instruksi pada beberapa pekerja. Namun, matanya menyipit saat memperhatikan detail pekerjaan mereka. "Tapi, kok...," gumamnya pelan, menatap besi-besi kecil dan bahan bangunan yang tampak tidak sesuai dengan standar.
Gadis itu segera mendekati Saverio yang tengah sibuk membereskan puing-puing bersama beberapa penduduk apartemen lainnya. Dengan nada protes, Reixa berseru, "Ayah! Apakah besi itu benar-benar kuat? Kenapa kecil sekali? Aku ingin membuat apartemen tinggi, kokoh, tahan gempa, dan tidak gampang roboh! Tapi kenapa alat dan bahan yang datang seperti ini?!"
Saverio menghentikan pekerjaannya sejenak, menatap besi yang ditunjuk Reixa, lalu kembali melihat pekerja konstruksi yang sedang sibuk. Raut wajahnya berubah menjadi penuh keraguan.
Di kehidupan sebelumnya, Reixa pernah menjadi pemilik perusahaan konstruksi yang sukses, sehingga ia tahu mana bahan bangunan yang berkualitas dan mana yang tidak. Pengalamannya ini membuatnya langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Dengan nada tegas, ia menunjuk tumpukan bahan bangunan itu. "Ini semua barang murahan! Aku tahu karena dulu aku pernah ikut mendiang ayahku memimpin proyek konstruksi besar. Kalau ini dipakai, bangunan tidak akan bertahan lama!"
Pernyataannya itu membuat salah satu pekerja kontraktor merasa tersinggung. Pria muda itu mendekati Reixa dengan ekspresi tidak senang. "Hei, anak kecil! Kau tidak usah ikut campur! Ini urusan orang dewasa. Sana menyingkir dan biarkan kami bekerja!"
Reixa tidak terintimidasi sama sekali. Dengan ekspresi serius dan nada lantang, ia berteriak, "Ayah! Uang kita dicuri! Bahan bangunan yang kita pesan jelek semua!!"
Saverio langsung berdiri tegak, matanya menatap pekerja konstruksi itu dengan tajam. "Apa maksud anakku?" tanyanya dengan nada dingin, langkahnya mendekat ke arah pria muda tersebut.
Pria itu terlihat gugup, tetapi mencoba mempertahankan sikapnya. "Ini hanya kesalahpahaman. Bahan bangunan ini sudah sesuai standar—"
"Jangan bohong!" potong Reixa dengan nada keras. Ia menunjuk salah satu batang besi. "Ini adalah besi kelas rendah yang mudah patah. Kau pikir aku tidak tahu? Kau mencoba menipu kami dengan mengganti bahan yang seharusnya kami pesan!"
Saverio menyipitkan matanya, rahangnya mengeras. Ia lalu meraih salah satu batang besi dan membengkokkannya dengan sedikit usaha. Para penghuni yang melihat itu terkejut, sementara si kontraktor mulai gelisah.
"Reixa benar," kata Saverio dingin. "Aku tidak akan membiarkan orang seperti kalian mempermainkan kami. Ambil barang-barang kalian dan pergi sebelum aku melaporkan kalian."
Kontraktor itu tampak panik, tetapi sebelum ia bisa menjawab, Reixa menambahkan dengan penuh percaya diri, "Kalau aku mau, aku bisa menghancurkan karirmu di masa depan. Jadi, jangan coba-coba main-main denganku."
Pria muda itu hanya bisa menelan ludah, lalu memberi isyarat pada para pekerjanya untuk segera mengemasi barang-barang mereka. Setelah mereka pergi, Saverio berbalik ke arah Reixa, menatapnya dengan alis terangkat.
"Kau benar-benar seperti seorang bos, ya," komentarnya dengan nada kagum, meskipun sedikit geli.
Reixa menyeringai. "Ayah, ini semua demi masa depan apartemen kita. Jangan biarkan orang-orang licik seperti mereka merusak rencana besar kita."
Saverio tersenyum kecil, merasa semakin yakin bahwa gadis kecil ini benar-benar istimewa. Meski begitu, ia juga merasa bahwa masa depan mereka tidak akan pernah sepi dari tantangan, terutama dengan Reixa yang penuh ide dan tekad besar.
Setelah para pekerja kontraktor meninggalkan lokasi dengan wajah kesal, Saverio menghela napas panjang, lalu kembali memandang bangunan apartemen yang sudah rusak parah.
"Kalau begini, kita harus cari kontraktor baru yang benar-benar bisa dipercaya," ujar Saverio sambil melipat lengan.
Reixa mengangguk semangat. "Aku tahu beberapa nama yang mungkin bisa membantu. Tapi, untuk sementara, aku punya ide lain. Bagaimana kalau kita mulai renovasi dengan tenaga sukarela dari penghuni? Mereka bisa membantu membersihkan, sementara kita cari kontraktor terpercaya untuk bagian yang lebih teknis!"
Saverio menatap Reixa dengan ragu. "Tenaga sukarela? Kau yakin mereka mau membantu? Banyak dari mereka sudah lelah dengan kondisi ini."
Reixa tersenyum penuh percaya diri. "Tenang saja, Ayah. Aku bisa meyakinkan mereka! Lagi pula, ini demi kenyamanan mereka juga."
Dengan langkah cepat, Reixa menuju kerumunan penghuni apartemen yang masih berkumpul. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara dengan nada lantang, "Semua! Aku tahu kalian sudah lelah dengan semua ini, tapi kita tidak bisa hanya mengandalkan orang lain untuk memperbaiki tempat tinggal kita. Kalau kita mau tempat ini lebih baik, kita harus mulai dari diri kita sendiri!"
Beberapa penghuni menatapnya dengan bingung, tetapi ada yang mulai memperhatikan dengan penuh minat. Reixa melanjutkan, "Aku dan Ayah akan mengurus kontraktor baru yang jujur. Tapi sementara itu, kita bisa mulai membersihkan puing-puing, memperbaiki apa yang bisa diperbaiki, dan memastikan tempat ini aman untuk ditinggali. Aku yakin, kalau kita bekerja sama, apartemen ini bisa kembali berdiri dengan kokoh!"
Seorang ibu-ibu yang tadinya tampak skeptis akhirnya mengangguk pelan. "Yah, mungkin kita memang harus membantu. Toh, kita juga yang tinggal di sini."
Pria paruh baya yang tadi berbicara dengan Saverio juga angkat bicara. "Anak kecil ini ada benarnya. Kalau kita diam saja, bangunan ini tidak akan membaik dengan sendirinya."
Reixa tersenyum lebar melihat dukungan mulai berdatangan. Ia kemudian memandang Saverio dengan penuh kemenangan. "Bagaimana, Ayah? Mudah, kan?"
Saverio menggelengkan kepala, tetapi tidak bisa menahan senyumnya. "Kau ini benar-benar luar biasa, Rei. Baiklah, kita mulai bekerja sama dengan mereka. Tapi jangan lupa, ini hanya sementara. Kita tetap butuh kontraktor yang profesional."
Hari itu, penghuni apartemen mulai bekerja bersama-sama. Mereka membersihkan puing-puing, memperbaiki bagian-bagian kecil yang masih bisa digunakan, dan mengatur ulang beberapa ruangan yang bisa dimanfaatkan.
Saat malam tiba, Saverio dan Reixa duduk di salah satu ruangan yang masih utuh, menikmati teh hangat sambil memandang hasil kerja mereka hari itu.
"Kau tahu, Rei," kata Saverio tiba-tiba, "kau bukan hanya anak yang cerdas, tapi juga punya jiwa kepemimpinan. Kalau kau terus seperti ini, aku yakin kau bisa mencapai hal-hal besar di masa depan."
Reixa tersenyum kecil, menatap cangkir tehnya. Dalam hati, ia tahu bahwa masa depan sudah ia lihat, dan ia harus memastikan Saverio tetap hidup untuk melihatnya juga. "Ayah, aku hanya ingin kita bisa hidup nyaman bersama. Itu saja sudah cukup."
Saverio tersenyum hangat, tetapi dalam hati ia merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik kata-kata sederhana gadis kecil itu. Ia hanya tidak tahu apa. Namun, ia yakin, selama mereka bersama, mereka bisa menghadapi apa pun yang datang.