Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Setelah kejadian tersebut, suasana kantor semakin tegang. Bisik-bisik di sekitar Rose semakin menjadi-jadi, terutama karena Dylan secara terang-terangan memujinya di depan tim. Namun, kali ini Rose memutuskan untuk tidak mempedulikan semua itu. Ia tahu bahwa tindakannya benar, dan hasil kerjanya sudah diakui oleh Dylan.
Sophie, di sisi lain, tampak gelisah sepanjang hari. Ia menyadari jebakannya gagal dan bahkan hampir mempermalukannya di depan Dylan. Namun, bukannya berhenti, ia justru merasa semakin terancam oleh keberadaan Rose.
Keesokan harinya, sebuah kejadian tak terduga kembali terjadi. Rose menemukan amplop kecil di mejanya saat tiba di kantor. Amplop itu tidak memiliki nama pengirim, hanya berisi sebuah catatan singkat:
"Berhati-hatilah. Tidak semua orang di sini adalah temanmu."
Rose membaca catatan itu berulang-ulang. Siapa yang mengirimkan ini? Apa maksudnya? Rose merasa waspada tetapi juga bingung. Amplop itu menambah kesan bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di kantor ini, sesuatu yang mungkin ia belum sepenuhnya pahami.
Sementara itu, Dylan juga menyadari perubahan atmosfer di timnya. Ia memutuskan untuk mengadakan pertemuan internal dengan para manajer untuk membahas dinamika kerja di kantor.
“Saya tidak peduli siapa yang suka atau tidak suka dengan siapa. Yang saya inginkan adalah hasil,” ujar Dylan dengan nada tegas. “Dan jika saya menemukan ada yang sengaja menjatuhkan orang lain, itu tidak akan ditoleransi.”
Pernyataannya menyiratkan peringatan keras, terutama kepada mereka yang diam-diam terlibat dalam drama kantor.
Rose, yang berusaha tetap fokus pada pekerjaannya, mulai mempelajari pola-pola kecil di tempat kerja. Ia menyadari bahwa beberapa rekan kerja, seperti Sophie, mencoba mengintimidasi atau meremehkannya secara halus, tetapi ada juga segelintir yang tampaknya bersikap netral atau bahkan mendukungnya secara diam-diam.
Salah satunya adalah seorang staf junior bernama Mia, yang suatu hari menghampiri Rose saat istirahat makan siang.
“Rose, aku hanya ingin bilang kalau aku salut dengan kerja kerasmu. Jangan terlalu memikirkan omongan orang lain, ya,” ucap Mia dengan senyum ramah.
Perkataan itu, meski singkat, memberi Rose dorongan semangat. Ia mulai menyadari bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian dalam menghadapi situasi ini.
Namun, drama di kantor tampaknya belum selesai. Sophie, yang merasa posisinya semakin terancam, mulai merancang rencana baru. Ia berencana menggunakan aksesnya sebagai staf senior untuk mendapatkan dukungan dari pihak manajemen yang lebih tinggi. Bagi Sophie, ini bukan hanya soal kecemburuan, tetapi juga perjuangan untuk mempertahankan pengaruhnya di kantor.
Rose, tanpa disadari, telah menjadi pusat dari intrik ini. Bagaimana ia akan menghadapi situasi yang semakin rumit? Dan apakah Dylan akan terus mendukungnya di tengah ketegangan ini? Waktu yang akan menjawab.
******
Sepulang kantor, suasana sudah sepi, dan sebagian besar lampu di lantai kantor telah dimatikan. Rose, yang biasanya pulang tepat waktu, hari itu sedikit terlambat karena menyelesaikan tugas tambahan yang diberikan oleh Dylan. Saat ia bersiap untuk meninggalkan kantor, Sophie dan dua rekan lainnya, Lisa dan Martin, muncul di belakangnya.
“Rose, kamu nggak mau kami bantu, kan?” Sophie berkata dengan nada manis yang jelas palsu.
Rose mengernyitkan dahi, merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Tidak perlu, terima kasih. Aku bisa mengurus sendiri.”
Namun, sebelum Rose sempat melangkah keluar, Martin tiba-tiba menarik lengannya dengan kasar. Rose terkejut dan berusaha melawan, tapi Sophie dan Lisa segera membantunya menahan Rose.
“Dengar ya, Rose,” bisik Sophie di telinganya dengan nada penuh kebencian, “Kamu harus tahu tempatmu. Kamu pikir kamu bisa terus-terusan mencuri perhatian tuan Dylan dan mendapatkan semua pujian itu? Tidak semudah itu.”
Mereka menyeret Rose ke gudang basement, ruangan gelap dan berdebu yang jarang digunakan. Dengan paksa, mereka mengikat tangannya ke belakang menggunakan tali dan menyekapnya di sana. Rose mencoba berteriak, tetapi mulutnya dibekap dengan kain.
“Selamat malam, Rose,” ujar Sophie sinis sebelum mereka meninggalkan gudang, mengunci pintunya dari luar.
Sementara itu, Dylan, yang masih berada di kantornya untuk menyelesaikan pekerjaan terakhir, memperhatikan sesuatu yang aneh. Tas Rose masih ada di mejanya, tetapi Rose sendiri tidak terlihat di mana pun. Merasa khawatir, ia memutuskan untuk memeriksa area kantor.
Setelah beberapa menit mencari dan tidak menemukan Rose, Dylan kembali ke ruangannya dan membuka laptopnya. Ia langsung mengakses rekaman CCTV yang terhubung ke sistem keamanan. Dalam hitungan detik, ia menemukan sesuatu yang membuat rahangnya mengeras.
Di salah satu rekaman, terlihat Sophie, Martin, dan Lisa menyeret Rose ke arah lift menuju basement. Mata Dylan menyipit tajam. Ia tahu ini bukan lelucon biasa. Tanpa membuang waktu, ia mengambil kunci cadangan dari laci mejanya dan bergegas menuju basement.
Gudang basement terasa dingin dan sunyi. Rose, yang mencoba membebaskan dirinya dari ikatan, hanya bisa meronta dengan sia-sia. Hatinya mulai dipenuhi ketakutan. Namun, beberapa saat kemudian, ia mendengar langkah kaki mendekat. Suara kunci berderit terdengar dari pintu gudang.
Pintu terbuka, dan sosok Dylan muncul dengan wajah tegas, sorot matanya tajam memindai ruangan. Begitu ia melihat Rose, ia langsung berlari mendekat.
“Rose, kamu tidak apa-apa?” tanyanya sambil dengan cekatan melepaskan ikatan di tangan Rose.
Rose hanya mengangguk dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Pak… mereka mencoba menyakitiku… Aku tidak tahu kenapa…”
Dylan menghela napas panjang, nadanya lebih lembut. “Tenang, kamu aman sekarang. Kita urus ini nanti.”
Setelah memastikan Rose baik-baik saja, Dylan membawa Rose kembali ke kantor. Namun, kemarahannya belum reda. Ia langsung menghubungi pihak keamanan untuk menyelidiki lebih lanjut dan memanggil Sophie, Lisa, dan Martin ke ruangannya keesokan harinya.
Pagi harinya, suasana kantor menjadi mencekam. Dylan memanggil ketiga pelaku ke ruangannya satu per satu. Tanpa basa-basi, ia menunjukkan rekaman CCTV dan memberikan ultimatum.
“Kalian bertiga tidak hanya telah melanggar aturan perusahaan, tetapi juga hukum. Saya tidak akan mentoleransi perilaku seperti ini. Surat pemecatan kalian sedang disiapkan, dan jangan kaget jika polisi segera datang untuk berbicara dengan kalian,” ujar Dylan dengan nada dingin.
Sophie mencoba membela diri, tetapi Dylan tidak memberinya kesempatan. “Keluar dari ruangan ini sekarang. Kalian sudah selesai di sini.”
Ketegasan Dylan membuat mereka tidak punya pilihan selain menerima konsekuensi perbuatan mereka.
Setelah kejadian itu, Dylan memanggil Rose ke ruangannya lagi. Ia menatap Rose dengan serius, tetapi ada kelembutan dalam nadanya kali ini.
“Rose, aku minta maaf atas apa yang terjadi. Aku seharusnya bisa mencegah hal ini sebelumnya,” katanya.
Rose menggeleng pelan. “Ini bukan salah Anda, Pak. Tapi terima kasih sudah menyelamatkan saya.”
Dylan terdiam sejenak, lalu berkata, “Mulai sekarang, aku akan memastikan tidak ada yang berani menyakitimu lagi di sini. Dan jangan ragu untuk memberitahuku jika ada masalah.”
Rose hanya tersenyum kecil, merasa lega tetapi juga bingung dengan perhatian Dylan yang terasa lebih dari sekadar hubungan profesional. Di balik sikap dingin dan tegasnya, Dylan ternyata menyimpan kepedulian yang tak terduga.