I Adopted Paranormal Dad
Seorang gadis kecil hanya bisa menatap foto kedua orang tuanya dengan penuh kerinduan. Air matanya mengalir deras di pipi, menandakan kekosongan besar di dalam hatinya. Gadis berusia sepuluh tahun itu menangis sesegukan, berusaha menahan rasa sakit yang terus menghimpit dadanya.
"Mulai sekarang, kau tanggung jawabku."
Suara berat seorang pria memecah kesunyian. Wajahnya tampan, tapi sorot matanya dingin, nyaris tanpa emosi.
Reixa Rheantari mendongak, menatap pria itu dengan tatapan penuh kebencian.
"Kalau nggak berniat merawatku, nggak usah sok-sokan mau ngurus!" bentaknya sambil bangkit berdiri. Tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar kamar, meninggalkan pria itu dalam diam.
Pria itu menghela napas panjang, wajahnya tetap tanpa ekspresi meski ada kerutan tipis di dahinya.
"Reixa!" teriaknya sambil menyusul. "Jangan membuatku kerepotan dengan tingkah kekanak-kanakanmu itu!"
Reixa berlari menyusuri trotoar, napasnya terengah-engah. Kebenciannya kepada pria itu membakar semangatnya untuk menjauh sejauh mungkin. Dia membenci paman angkatnya, Alarick Mareha.
Bagaimana bisa ia menyerahkan hidupnya pada pria yang tidak pernah peduli? Ingatan masa lalunya membanjir: Alarick yang selalu abai, terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan tidak pernah hadir ketika ia sangat membutuhkan seseorang.
Reixa tahu betul bagaimana kisah ini akan berakhir. Ia pernah menjalani hidup bersama pria itu, hanya untuk mendapati dirinya meninggal seorang diri di rumah sakit pada usia sembilan belas tahun. Tidak ada yang peduli, bahkan Alarick sekalipun.
Namun kini, ia kembali hidup. Dan kali ini, ia bersumpah tidak akan membiarkan dirinya terluka lagi oleh pria yang sama.
"Alarick bangsat! Alarick janchuk! Babi! Anjing! Kali ini gue nggak bakal biarin lo ngancurin hidup gue lagi, asu!!!" Teriak Reixa sambil berlari kencang, menghilang diantara kerumunan pejalan kaki.
✨
Reixa berdiri di pinggir jembatan, tubuh kecilnya tampak kaku, seolah menahan beban yang tidak terlihat. Senja yang seharusnya menenangkan malah membuatnya semakin tertekan, sementara pikirannya penuh dengan kenangan pahit yang terus menghantuinya.
Dia mengingat betapa Alarick, paman angkatnya, hanya memanfaatkannya demi keuntungan bisnis. Pria itu memaksanya menjalani perjodohan yang tidak diinginkannya, hingga akhirnya menemui ajal dengan cara yang mengenaskan di tangan orang-orang berkuasa.
"Ini kehidupanku yang ke dua puluh," bisiknya lirih, suaranya hampir tidak terdengar di tengah deru angin. "Aku harap kali ini aku bisa mati dengan tenang."
Dengan langkah kecil, Reixa mulai mengambil ancang-ancang untuk melompat. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, sebuah tangan kekar mencengkram lengannya dengan erat. Dia terkejut dan menoleh, menemukan seorang pria berdiri di dekatnya. Tatapan pria itu dingin, penuh ketegasan, namun wajahnya yang tampan memancarkan aura yang tidak biasa.
Reixa mengerutkan kening, mencoba mengenali sosok ini. Mata ungunya yang tajam, rambut hitam yang sedikit berantakan, dan caranya menatap seolah membawa ingatan masa lalu yang samar-samar kembali ke permukaan.
"Nak, seberat apa pun masalahmu, jangan pernah berpikir untuk bunuh diri!" tegur pria itu dengan nada tegas.
Reixa terdiam sejenak, suara itu terdengar familiar. "Dia... Suaranya mirip dengan seseorang di masa lalu," pikirnya.
"Jangan ikut campur, Om! Kalau cuma mau nasehatin, mending pergi aja sana!" balasnya ketus, berusaha menutupi getaran dalam hatinya.
Pria itu menghela napas panjang, lalu jongkok sehingga matanya sejajar dengan Reixa. "Nak, dengarkan aku. Hidup itu penuh pilihan. Ada banyak cara untuk bahagia, meski sekarang kau belum melihatnya," ucapnya, suaranya menjadi lebih lembut dan menenangkan.
Mata Reixa mulai berbinar, seolah menemukan harta karun yang sudah lama hilang. "Ah, dia! Dia pria itu!" batinnya berseru.
Dia teringat, pria ini pernah hadir dalam kehidupannya sebelumnya—dua kali, untuk lebih tepatnya. Di salah satu kehidupan, pria ini merawatnya dengan penuh kasih sayang, namun sayangnya dia ditemukan tewas dengan luka tusuk di tubuhnya. Sementara di kehidupan lainnya, pria ini meninggal kelaparan setelah kehilangan pekerjaannya akibat fitnah yang keji. Dan akhir hidupnya selalu tragis.
Air mata Reixa mulai menggenang. Tapi sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata, suara lantang memotong pikirannya.
"Reixa!" panggil Alarick, suaranya penuh otoritas.
Reixa berbalik dan melihat pria itu mendekat. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk pria asing di hadapannya, tangisnya pecah. "Om, hiks... hiks... Aku nggak punya ayah dan ibu... Aku sendirian... hiks... Om mau jadi ayahku, ya? Mau, ya? Ya, Om? Om ganteng, deh, pliss~ Aku nggak mau tinggal sama Paman yang wajahnya mirip babi hutan itu!"
"Reixa! Apa yang kau lakukan?! Pulang sekarang!" bentak Alarick, suaranya cukup keras hingga menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Bisik-bisik mulai terdengar, beberapa orang berhenti untuk menyaksikan keributan itu.
"Nggak mau!!" teriak Reixa sambil menangis. "Paman jahat! Aku benci Paman! Kalau Paman nggak ngijinin aku sama Om ganteng ini, aku akan lompat ke sungai sekarang juga!"
Pria asing itu, yang sampai sekarang hanya menjadi penonton, akhirnya buka suara. "Nak, sudah, ya. Jangan bertindak seperti ini. Aku yakin pamanmu menyayangimu," bujuknya dengan nada lembut, mencoba meredakan situasi.
Namun, Reixa menggeleng keras. "Nggak mau! Aku nggak mau pulang kalau bukan sama Om ganteng ini! Paman cuma tahu marah-marah! Aku baru kehilangan ayah dan ibu! Aku kesepian, hiks... hwaaa!!!"
Tangisannya semakin menjadi-jadi, membuat suasana semakin canggung di antara mereka bertiga. Saverio, pria asing itu, merasa terjebak dalam drama keluarga yang tiba-tiba melibatkan dirinya. "Apa salahku sampai harus terjebak dalam situasi seperti ini?" pikirnya sambil menatap ke arah senja, berharap ada jawaban.
🐾
"Aku Saverio Archandra," pria itu memperkenalkan dirinya dengan canggung, wajahnya jelas menunjukkan ketidaknyamanan. Bagaimana tidak, kini ia berdiri di dalam mansion mewah dengan dua orang yang memperhatikannya dari dua sudut pandang berbeda: seorang pria dewasa menatapnya tajam seolah menghakimi, sementara seorang gadis kecil dengan rambut ash green menatapnya penuh binar kekaguman yang nyaris berlebihan.
"Sudah kuduga! Dia pria itu dalam versi muda! Om Saverio~ Kau benar-benar tampan! Sangat berbeda dengan di beberapa kehidupanku yang dulu! Aku akan menjadi anakmu dan memastikan kau hidup layak kali ini!" Dalam hati, Reixa memekik kegirangan, meskipun wajahnya berusaha tetap tenang.
Saverio menghela napas berat, mencoba memahami kekacauan yang menimpanya. "Oh, Tuhan. Apalagi ini?" pikirnya dengan pasrah. Gara-gara gadis kecil ini—yang baru saja dicegahnya bunuh diri di jembatan—ia malah terjebak dalam drama keluarga yang terasa seperti skenario picisan.
Bocah itu dengan mata berbinar penuh tekad, mengancam akan melompat ke sungai jika ia tidak mengikutinya pulang. Dan sekarang, ia harus berurusan dengan pria dewasa yang terlihat seperti singa penjaga, seolah-olah siap menerkam jika ada salah gerak.
"Tidak ada yang masuk akal," gumam Saverio dalam hati. Ia tidak bisa melihat masa depan yang pasti dari anak kecil ini—sesuatu yang jarang terjadi dalam hidupnya. Biasanya, ia selalu memiliki firasat tentang setiap orang yang ia temui. Namun, gadis ini seperti anomali.
"Jadi, kenapa kau bisa bertemu dengan Reixa?" Alarick membuka percakapan dengan nada dingin, sorot matanya menusuk.
Saverio tidak gentar. Ia melipat kedua tangannya dan menjawab dengan nada tegas, "Itu pertanyaan yang harusnya aku ajukan padamu. Kenapa anak sekecil ini berpikir untuk bunuh diri? Kau pamannya, bukan? Harusnya kau tahu apa yang dia butuhkan."
Kalimat itu membuat Alarick terdiam sejenak, rahangnya mengeras.
"Karena dia suka memarahi aku, Om," Reixa tiba-tiba angkat bicara, nada suaranya terdengar polos, tapi juga penuh sindiran. "Dia bilang tangisanku ini berisik."
Saverio melirik gadis kecil itu, sementara Alarick tampak kehilangan kata-kata.
Reixa melanjutkan, suaranya terdengar lebih tajam, "Memangnya kalau melihat orang tua mati, aku harus tertawa dan bahagia, ya, Om?"
Kata-kata itu menusuk seperti belati. Saverio bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti ruangan, membuat suasana semakin tegang. Ia mengalihkan pandangannya pada Alarick, yang kini terlihat terpojok oleh kejujuran kejam dari seorang anak kecil.
Saverio menghela napas lagi. "Ini akan menjadi perjalanan yang panjang," pikirnya, setengah menyesal karena menyerah pada ancaman bocah kecil itu di jembatan tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Astuty Nuraeni
Reixa masih 10 tahun pak, tentu saja masih kanak kanak hehe
2024-12-17
0
Ucy (ig. ucynovel)
reinkarnasi ya
2024-12-17
1
Buke Chika
next,lanjut
2024-12-10
0