"Hanya satu tahun?" tanya Sean.
"Ya. Kurasa itu sudah cukup," jawab Nadia tersenyum tipis.
"Tapi, walaupun ini cuma pernikahan kontrak aku pengen kamu bersikap selayaknya istri buat aku dan aku akan bersikap selayaknya suami buat kamu," kata Sean memberikan kesepakatan membuat Nadia mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud kamu?"
"Maksud aku, sebelum kontrak pernikahan ini berakhir kita harus menjalankan peran masing-masing dengan baik karena setidaknya setelah bercerai kita jadi tau gimana rasanya punya istri atau suami sesungguhnya. Mengerti, sayang!"
Loh, kok jadi kayak gini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kontrak Pernikahan
Nadia terbangun ketika pagi telah menjelang. Itupun karena dirinya terganggu oleh suara seseorang yang sedang menata piring. Perlahan Nadia membuka matanya sambil melenguh pelan. Lenguhan yang didengar jelas oleh sosok dihadapannya.
"Good morning!" Sapaan selamat pagi itu terdengar begitu manis masuk ke rungu Nadia. Siapa lagi jika bukan Sean yang terlihat begitu sibuk menata makanan di atas meja. "Cuci muka dulu gih! Setelah itu kita sarapan bareng," ujar Sean lagi.
Seketika itu Nadia tersadar sepenuhnya dan bayangan saat Sean membantunya semalam terlintas dalam pikiran. Ya ampun! Malu sekali rasanya. Dilihat Sean ketika dia kesakitan dan juga ketika dia baru saja bangun tidur. Double kill. Wajah Nadia pasti sangat jelek.
Tanpa pikir panjang Nadia berlari masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Sean yang menatapnya bingung.
"Udah bisa lari aja," gumam Sean menggeleng pelan melihat ke arah pintu kamar mandi yang sudah tertutup sempurna. "Syukurlah," lanjutnya tersenyum tipis.
Setelah menunggu hampir sepuluh menit akhirnya Nadia keluar dengan wajah yang sudah segar dan rambut yang dikuncir tinggi. Sean tersenyum simpul lalu memberikan isyarat agar Nadia duduk di depannya. Saat wanita itu duduk, dia baru sadar jika Sean menunggunya untuk sarapan bersama.
"Yuk sarapan dulu," kata Sean.
"Iya," jawab Nadia.
Keduanya pun memulai sarapan dalam keadaan yang begitu hening. Hanya ada suara sendok dan piring yang saling beradu mendominasi ruangan itu.
"Gimana keadaan kamu?" Hingga akhirnya Sean membuka suara memecah keheningan.
Nadia mengerti kemana arah pembicaraan Sean. Tentu saja itu mengarah pada kejadian semalam.
"Sudah lebih baik. Makasih udah nolongin aku semalam." Mungkin Nadia malu namun hal itu tak membuat dirinya lupa untuk berterimakasih.
"Emang sering sakit tiba-tiba kayak gitu ya?" tanya Sean penasaran bercampur khawatir juga. Bagaimana tidak, dia terbangun saat seseorang tiba-tiba merintih kesakitan dan itu Nadia.
"Beberapa kali sih. Apalagi kalo aku lupa minum obat," ujar Nadia dengan nada suara yang semakin kecil.
"Astaga, Nadia! Kok kamu bisa lupa sih?" kata Sean jengah. "Dan kenapa semalam pas kamu kesakitan kamu gak bangunin aku? Kamu itu udah bikin aku panik dan takut setengah mati tau gak."
Nadia yang tadinya menunduk, kini mendongak. Dia tidak salah dengarkan? Sean khawatir padanya? Tapi tunggu dulu, dia khawatir pasti bukan karena ada perasaan pada Nadia tapi karena takut jika formalitas yang dia inginkan hingga setuju menikah dengan Nadia tidak tercapai. Dengan kata lain, Sean beluk sempat memanfaatkan Nadia sesuai dengan perjanjian yang mereka setujui sebelum menikah.
"Maaf kalo aku udah bikin kamu panik," ujar Nadia menunjukkan rasa penyesalannya. "Aku janji akan selalu ingat buat minum obatku. Lagipula operasiku sudah dijadwalkan kok. Jadi kamu gak perlu khawatir lagi. Oke!" lanjutnya terlihat begitu tenang.
"Aku udah selesai," ujar Nadia berniat untuk beranjak dari tempatnya sebelum Sean kembali membuka suara.
"Kok kamu jadi dingin kayak gini sih?" tanya Sean membuat Nadia menatapnya dengan kening berkerut bingung. "Nadia yang dulu aku kenal gak sedingin ini justru kamu itu cewek paling ramah yang pernah aku kenal. Bahkan saat pertama kali kita ketemu lagi kamu bisa bicara santai padaku. Kok sekarang setelah kita nikah kamu jadi berubah?" Entah Sean benar-benar bertanya atau hanya sedang berusaha menuntut Nadia agar menjadi seperti yang dia inginkan.
Nadia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Semua orang bisa aja berubah, Sean," Nadia menghela napas pelan sebelum melanjutkan ucapannya. "Nadia yang dulu kamu kenal bukan lagi Nadia yang sekarang berdiri di hadapan kamu."
Sean tertawa kecil lalu bangkit dari tempat duduknya. Pria itu perlahan berjalan mendekat ke arah Nadia dan entah kenapa Nadia berjalan mundur hingga dia berdiri tepat di belakang meja lampu hotel tersebut. Nadia memegang pinggiran meja itu sambil menatap Sean waspada.
"Sebenarnya aku gak terlalu peduli akan hal itu sih," ujar Sean lalu menundukkan kepalanya, menyamakan tinggi dengan Nadia. "Aku cuma pengen kamu bersikap selayaknya istri buat aku dan aku akan bersikap selayaknya suami buat kamu," lanjutnya menaikkan satu alis sambil tersenyum tipis.
"Mungkin benar pernikahan ini kita lakukan demi kepentingan masing-masing tapi, hei! Kamu gak lagi hidup dalam sebuah novel dimana kita akan saling cuek atau berperilaku seperti orang asing. Aku gak bisa kayak gitu," kata Sean meluruskan tubuhnya lalu melipat tangan di dada.
"Sebelum kontrak pernikahan ini berakhir kita harus menjalankan peran masing-masing dengan baik karena setidaknya setelah bercerai kita jadi tau gimana rasanya punya istri atau suami sesungguhnya. Mengerti, sayang!" Sean tak butuh jawaban sebelum berlalu dari sana untuk membereskan bekas sarapan mereka.
Lagi dan lagi Nadia dibuat tercengang dengan sifat Sean. Yang berubah di sini bukan hanya dirinya namun Sean juga. Boleh Nadia jujur, sekujur tubuhnya merinding mendengar ucapan Sean. Apa katanya tadi? Mereka harus menjadi pasangan suami istri sesungguhnya? Kok rasanya semakin ke sini Sean jadi semakin banyak menuntut ya?
"Gimana menurut kamu kalau apa yang aku katakan tadi kita masukin ke kontrak nikah kita?" ujar Sean lagi membuat Nadia menatapnya tak percaya.
"Kayaknya itu ide yang bagus."
Ya Tuhan! Apakah Nadia akan sanggup menghadapi sikap Sean yang seperti ini?
***
"Besok kita akan pindah ke Eligra," ujar Sean sembari meletakkan dua tiket kereta api di depan Nadia yang sedang sibuk memeriksa file.
"Oke!" Ya. Memang sesingkat itu jawaban Nadia sebab dia sudah tahu cepat atau lambat dirinya harus ikut dengan sang suami ke Eligra. Kota yang sudah sempat masuk list kota yang tak ingin Nadia datangi lagi. Namun sepertinya takdir tidak ingin melepas Nadia. Pada akhirnya dia harus tetap kembali ke sana.
"Sesuai janjiku, aku sudah mengurus semuanya. Kamu tinggal terima beres aja." Tak hanya menyediakan tiket, Sean bahkan sudah mengatur ulang jadwal operasi Nadia yang nantinya akan dilakukan di Eligra. Tak hanya itu, saat sampai di sana Nadia akan menjadi dokter tetap di rumah sakit milik ayah mertuanya. Bukankah Nadia sangat beruntung? Entahlah.
"Terimakasih," ujar Nadia tersenyum simpul sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Terimakasih aja nih? Gak ada ciuman atau pelukan gitu?" tanya Sean sembari tersenyum nakal ke arah Nadia.
Apakah Nadia sudah mengatakan jika sikap Sean semakin hari semakin membuat Nadia kehabisan kata-kata? Ya, pria itu semakin berani padanya, tak peduli seberapa keras Nadia membangun dinding antara mereka. Sean selalu punya cara untuk merobohkannya.
Seperti sekarang, dimana Sean beralih berdiri ke belakang Nadia yang memang posisinya sedang berdiri juga. Hanya dalam hitungan detik, sepasang lengan Sean yang kekar telah melingkar dengan sempurna di pinggang ramping Nadia. Tak hanya sebatas ucapan semata, Sean benar-benar melakukan apa yang hari itu dia katakan. Bahkan dia sungguh memasukkannya dalam kontrak pernikahan mereka.
Meski Sean sudah sering melakukannya tetap saja Nadia akan merasa sangat gugup dan gelisah setiap kali pria itu melakukan skinship padanya. Menolak? Sudah pernah namun hal itu sama sekali tidak Berguna. Semakin Nadia menolak, Sean justru semakin gencar.
"Sean, aku lagi---"
"Aku lagi kangen sama kamu, Nadia." Lihat! Tidak ada cela untuk Nadia menolak. "Itu lebih mendesak dari pekerjaan kamu jadi biarin aja kita kayak gini dulu." Sean semakin mempernyaman posisinya dengan memeluk Nadia semakin erat. Menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang istri sembari menghirup aroma tubuh Nadia yang begitu harum.