Andhira baru saja kehilangan suami dan harus melahirkan bayinya yang masih prematur akibat kecelakaan lalulintas. Dia diminta untuk menikah dengan Argani, kakak iparnya yang sudah lama menduda.
Penolakan Andhira tidak digubris oleh keluarganya, Wiratama. Dia harus tetap menjadi bagian dari keluarga Atmadja.
Akankah dia menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya kali ini, sementara Argani merupakan seorang laki-laki dingin yang impoten?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Tanda Merah
Bab 12
Argani memfoto mobil sedan berwarna hitam tidak lupa ambil foto plat nomornya. Dia akan meminta bantuan kepada kenalannya yang seorang polisi untuk mencari tahu pemilik mobil itu. Setelah kejadian kecelakaan yang menewaskan Andhika, keluarga Atmadja jadi sering waspada. Mereka tidak ingin hal buruk kembali menimpa keluarganya.
Andhira menggendong Arya dengan erat sambil memerhatikan keadaan sekitar. Dia takut ada orang yang mengawasi mereka dan berniat berbuat jahat.
"Mama ...." Arya menyentuh pipi Andhira seakan ikut merasakan kecemasan ibunya.
"Kenapa, Sayang? Mau mimik?" tanya Andhira dan Arya menelusupkan mukanya ke dada sang ibu.
"Masuk saja dulu ke mobil," ucap Mama Aini.
Andhira membawa Arya masuk ke dalam mobil untuk menyusui. Bayi itu begitu lahap meminum ASI dari sumbernya langsung.
Argani masuk ke dalam mobil, duduk di kursi pengemudi. Dia tidak tahu kalau ada Andhira di kursi belakang.
"Papa!" Arya melepaskan pucuk sumber ASI dari mulutnya.
Andhira dan Argani beradu pandang bersamaan. Keduanya sama-sama merasa malu. Wanita itu dengan cepat menutup bagian dadanya, sedangkan sang pria memalingkan mukanya.
"Kamu lanjut saja. Aku akan keluar," ucap Argani yang kembali turun dari mobil.
"Pa-pa ...!" Arya menangis memanggil Argani karena mengira akan ditinggalkan.
"Lihat, itu papa! Papa sedang bicara sama Oma. Arya mimik lagi, ya!"
"Mau ... Papa ...." Arya masih menangis.
Terkadang Arya suka nempel kepada Argani dan sulit dibujuk. Andhira sampai harus merayu atau menenangkan dengan mengajak bermain atau jalan-jalan.
Mendengar Arya menangis sambil memanggil dirinya, Argani merasa kasihan. Namun, dia canggung kepada Andhira.
"Mas, Arya ingin sama kamu," kata Andhira setelah membuka kaca mobil.
"Sana kamu duduk di belakang! Biar Papa yang sopirin," ujar Papa Anwar.
Akhirnya Argani duduk di kursi belakang sedangkan Mama Aini duduk di kursi samping Pak Anwar. Arya duduk di pangkuan Argani.
Mereka lanjut pergi ke panti asuhan. Di sana kedatangan keluarga Atmadja disambut baik oleh para penghuni panti.
Katering juga sudah sampai dan sedang di tata di atas meja. Mama Aini dan Andhira sengaja memesan makanan untuk mengadakan syukuran satu tahun usia Arya. Selain menyediakan makanan, ada juga bingkisan untuk semua anak-anak di sana.
Setelah berdoa, mereka makan bersama. Arya sangat senang melihat banyak anak kecil. Dia ikut main bersama dengan anak-anak yang berusia 1-3 tahun. Bocah itu tertawa terkekeh ketika berhasil menendang bola dan berebut dengan anak-anak yang lain. Ketika jatuh pun segera berdiri, kembali ikut bermain.
Argani dan Papa Anwar memerhatikan Arya bermain. Mereka tidak buru-buru membangunkan bocah itu ketika jatuh. Arya masih belum bisa mengontrol gerakan kakinya kadang nabrak orang lain atau jatuh sendiri. Namun, tidak menangis.
"Arya begitu aktif seperti Dhika. Tidak suka diam dan selalu ingin tahu. Juga tidak takut ketika melakukan sesuatu yang baru," kata Papa Anwar.
Argani membenarkan ucapan ayahnya. Sifat Andhika itu terbawa sampai dewasa. Sejak dari zaman sekolah sampai kuliah, sang adik aktif di berbagai organisasi, sehingga banyak kenalannya.
Andhira ikut membantu membagikan bingkisan kepada anak-anak panti. Mereka tidak henti-henti mendoakan kebaikan untuk Arya dan keluarganya.
Sekitar jam sembilan, Andhira dan keluarga harus pulang. Dia harus pergi ke kampus.
"Biar Arya bersama kami. Kamu antarkan Dhira ke kampus. Buruan, nanti terlambat!" titah Mama Aini.
Mau tidak mau Argani menuruti keinginan sang ibu. Dia langsung pergi ke kampus setelah mengambil tas dan beberapa buku milik Andhira.
Argani membawa masuk mobilnya ke area parkir fakultas ekonomi. Sebenarnya Andhira tidak masalah diturunkan di pintu gerbang kampus. Nanti tinggal jalan sejauh satu kilo lebih ke kelasnya. Sementara jika masuk ke area parkiran jalan tinggal beberapa langkah sudah sampai.
"Terima kasih, Mas," ucap Andhira. Wanita itu mengulurkan tangan untuk mencium tangan suaminya.
Seakan paham maksud Andhira, Argani mengulurkan tangannya. Dia senang ketika bibir lembut wanita itu menyentuh kulit tangannya. Jantung selalu dia berdetak kencang.
Setelah Andhira turun dari mobil, Argani tidak lantas segera pergi. Dia memerhatikan istrinya yang didatangi oleh beberapa wanita muda seumuran dengannya.
Mata Argani memicing ketika melihat ada laki-laki muda memakai kemeja merah marun mengajak Andhira bicara dan tertawa bersama. Melihat itu ada perasaan tidak suka menyusup ke dalam dirinya.
"Awas saja kalau kamu sampai berani berselingkuh!" batin Argani menahan amarah. Dia lupa dengan ucapannya dahulu, kalau akan membebaskan Andhira jika ada laki-laki yang dicintai wanita itu. Lalu, Argani pun pergi meninggalkan kampus.
Lagi-lagi Andhira dimintai tolong oleh Dimas untuk mencari buku di perpustakaan. Malah Yura yang antusias ingin membantu. Beberapa mahasiswi menatap sinis ke arah mereka. Orang-orang mengira Andhira suka cari perhatian kepada Dimas dan mau melakukan apa pun asal bisa selalu dekat dengan sang dosen. Sebenarnya itu kebalikannya, Dimas lah yang ingin selalu dekat dengan Andhira.
"Kenapa selalu aku yang dimintai tolong? Apa wajah aku seperti babu?" ucap Andhira menggerutu pelan nyaris tidak terdengar.
Seharian lelah mencari ilmu, Andhira pulang naik ojek online. Dia pulang ke rumah, nanti baru ke rumah mertuanya untuk menjemput Arya.
"Ini apa, ya?" Andhira melihat tanda merah di perpotongan leher agak belakang.
"Apa digigit serangga?" Andhira masih bermonolog sambil memerhatikan lehernya pada cermin. Tadi pagi dia tidak begitu memperhatikan apakah tanda itu ada atau tidak.
"Mbok. Aku akan pergi ke rumah Mama dulu, mau jemput Arya. Nggak akan lama, mau langsung pulang," kata Andhira kepada Mbok Karti.
"Iya, Nyonya."
Andhira pergi ke rumah mertuanya seorang diri. Baru saja mengeluarkan motor, terlihat mobil Argani masuk pintu gerbang. Rupanya dia pulang sambil membawa Arya dan kedua orang tuanya.
"Papa dan Mama ikut juga," batin Andhira.
"Arya ngamuk ingin mimik susu ibunya, dua botol susu sudah habis sejak siang. Dikasih susu formula tidak mau," kata Mama Aini begitu turun.
Arya memanggil ibunya minta digendong. Dengan sigap Andhira mengambil alih putranya.
"Mas Gani sudah pulang?" tanya Andhira dan Gani menjawab singkat.
"Dia kerja sampai jam makan siang. Nggak balik lagi ke kantor, malah asyik bermain bersama Arya dan Papa," jelas Mama Aini.
"Mama, meyah!" Arya menekan leher Andhira yang berwarna merah.
Mata Argani terbelalak, lalu dia memalingkan muka. Berbeda dengan Mama Aini yang khawatir menantunya terkena alergi.
"Dhira, apa kamu punya alergi terhadap sesuatu?" tanya Mama Aini.
"Tidak, Ma. Ini mungkin digigit serangga. Tadi aku dan teman-teman di kampus duduk di bawah pohon," jawab Andhira.
"Kasih salep atau minum obat. Jangan dibiarkan, siapa tahu berbahaya," kata Papa Anwar.
"Kok, seperti bukan di gigit serangga, ya?" Mama Aini memerhatikan leher mulus sang menantu.
***