NovelToon NovelToon
PLAY ON

PLAY ON

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Enemy to Lovers
Popularitas:156.4k
Nilai: 5
Nama Author: Tris rahmawati

Riga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.

Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.

***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

35 Pelipur Lara

Sahara kembali ke Indonesia setelah Rainier, mantan suaminya, menikahi Sasa, wanita yang selama ini menjadi selingkuhannya. Perceraian yang awalnya dipersulit oleh Rainier akhirnya selesai setelah wanita itu hamil. Begitu kejam perlakuan Rainier, tidak hanya terhadap Sahara tetapi juga kepada Jevas, putra mereka.

Sahara sempat mencoba memulai hidup baru di Amerika, namun realitas tidak sesuai harapannya. Sepupunya, yang ia harapkan bisa membantunya, menolak memberikan tempat tinggal dengan alasan akan menikah belum lagi mencari kerja terasa sulit saat dia juga harus menemani Jevas yang kala itu sulit di tinggal-tinggal terpaksa, Sahara kembali ke Indonesia dengan perasaan penuh kekalahan. Dalam keadaan terjepit, ia kembali meminta bantuan Auriga, mantannya, untuk pekerjaan dan tempat bertumpu memulai semuanya kembali.

Setahun berlalu. Sahara kini tinggal di apartemen yang sama dengan Auriga dan bekerja di perusahaan tempat pria itu juga bekerja. Perlahan ia mulai membangun kembali kehidupannya di Jakarta, meski bayang-bayang masa lalu masih sering menghantuinya.

Pagi itu, sebuah mobil hitam berhenti di pintu utara apartemen. Di dalamnya, Auriga duduk dengan kepala bersandar, mencoba mencuri waktu untuk beristirahat. Pekerjaan sejak kemarin membuatnya kelelahan. Supir yang biasa mengantar Auriga menunggu dengan sabar hingga penumpang yang ditunggu datang.

Jevas muncul dengan langkah cepat, diikuti Sahara yang membawa tas kecilnya. "Uncle!" panggil Jevas sambil melambaikan tangan dengan penuh semangat.

Auriga membuka mata perlahan dan menoleh. "Hey, boy," jawabnya dengan senyum tipis, meski matanya terlihat masih setengah mengantuk.

Jevas mendekat ke mobil dan membuka pintu. "Uncle, mobil Mami rusak. Boleh nggak Mami ikut kita hari ini?" tanyanya polos.

Auriga menaikkan satu alisnya, pandangannya bergeser ke arah Sahara yang berdiri beberapa langkah di belakang Jevas. Sahara tampak canggung, jelas terlihat dari cara dia menggenggam tali tasnya erat-erat.

"Kenapa tidak? Ayo," jawab Auriga dengan nada santai sambil melirik Sahara sekilas.

"Thanks, Ga, Baby sitternya juga lagi sakit aku repot hari ini." Sahara berkata pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. Ia mencoba tersenyum, meski raut wajahnya menunjukkan rasa sungkan yang mendalam. "Maaf jadi merepotkan kamu."

Auriga hanya mengangguk sambil mempersilakan Sahara masuk ke dalam mobil. Dia tidak berkata banyak, hanya melirik supirnya untuk memberi kode agar segera bersiap berangkat.

Di dalam mobil, Jevas duduk di antara Sahara dan Auriga. Anak itu tampak sangat bersemangat, bercerita panjang lebar tentang rencana sekolahnya hari ini, membuat suasana menjadi sedikit lebih ringan.

Sementara Sahara diam, mengamati pemandangan dari jendela, merasa sedikit lega Auriga selalu sabar mengabulkan permintaan anaknya meski tetap dihantui rasa bersalah karena terus menyusahkan orang yang seharusnya tidak berkewajiban atas dia dan Jevas.

Di dalam mobil yang melaju perlahan di jalanan pagi, Auriga bersandar dengan kepala sedikit miring ke sisi jendela, matanya setengah terpejam. Tubuhnya terasa lelah setelah pulang dari rumah sakit dia langsung bersiap-siap tanpa istirahat, dan ia mencoba menikmati sedikit ketenangan sebelum sampai di kantor saat ini.

Tiba-tiba, suara Sahara memecah keheningan. "Pak Mahen kecelakaan, ya, Ga? Kata Bu Rieke kemarin ketemu, gimana keadaannya?"

Auriga membuka matanya perlahan, lalu berdeham sebelum menjawab. "Lumayan serius. Ada pendarahan di otak. Sudah dioperasi."

Sahara terkejut mendengar jawabannya. "Ya Tuhan... Kasihan sekali. Apakah anaknya, yang katanya di Aussie, sudah pulang? Aku dengar ingat dia punya anak semata wayang, kan?"

"Arabella, ya. Dia sudah pulang," jawab Auriga singkat, suaranya tenang namun lelah.

Sahara mengangguk pelan dan tidak melanjutkan pertanyaan. Dia kebetulan mengenal Rieke, pernah bekerja bersama dalam proyek sebelumnya. Rieke adalah seorang lawyer yang cukup dikenal, sering dipercaya menangani berbagai kasus besar, termasuk yang melibatkan perusahaan Mahendra dan Auriga dan Sahara mereka bekerja.

Setelah beberapa saat hening, Sahara bersuara lagi. "Kalau nanti sudah bisa dijenguk, aku ikut lihat Pak Mahen, ya. Dia baik banget, dari dulu..." ucapnya, suaranya lembut, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ada jejak kenangan lama yang terselip di balik kata-katanya.

Auriga, yang memahami arah pembicaraan itu, berdeham lagi, mencoba menetralkan suasana. "Ya, pergilah. Berikan dukungan. Dia pasti senang kalau tahu ada orang yang peduli," katanya datar, tanpa menoleh.

Ucapan Sahara membawanya kembali ke masa lalu. Sahara ingat betul bagaimana Mahendra dulu menjadi sosok yang dihormati, dia ingat ketika dia dan Auriga masih bersama sebagai pasangan kekasih sebelum akhirnya dia memutuskan menikah dengan Rainer. Namun, Sahara tidak melanjutkan ceritanya, hanya menatap keluar jendela, membiarkan ingatan itu mengalir tanpa gangguan.

Di sisi lain, Auriga tetap diam. Ia tidak ingin membahas lebih jauh, memilih fokus pada jalan di depannya meski pikirannya masih sibuk memutar banyak hal yang tak ada di kepalanya.

Di rumah sakit, suasana mulai memanas.

Rieke marah besar saat perawat di depan pintu kamar perawatan Mahendra melarangnya masuk. Perawat itu dengan tegas mengatakan bahwa hanya keluarga inti yang diizinkan, sesuai permintaan Arabella.

"Tapi saya calon istri Pak Mahendra!" sergah Rieke dengan nada tinggi, matanya berkilat penuh amarah.

"Maaf, Bu. Arahan dari keluarga adalah tidak ada yang boleh masuk kecuali putrinya sendiri," jawab perawat sambil tetap menjaga ketenangan.

Rieke berusaha menerobos, namun perawat memperingatkan, "Kalau Ibu tetap memaksa, saya harus memanggil satpam."

Rieke terdiam sejenak, wajahnya merah padam. Dia tahu ini pasti ulah Arabella. Perasaan terhina membakar dadanya. Setelah sekian lama menunggu Mahendra sadar, kini dia malah diperlakukan seperti orang asing.

Sementara itu, Arabella sedang duduk di sebuah minimarket area rumah sakit.

Dengan lesu, dia menggigit roti yang baru saja dibelinya. Lapar yang semula mendera kini berganti menjadi rasa mual yang aneh. Tatapannya kosong, pikirannya melayang ke berbagai pertanyaan yang belum terjawab.

Bagaimana bisa Papa menjalin hubungan dengan wanita itu tanpa memberitahunya? Dan kini, wanita itu bahkan mengklaim dirinya sebagai calon istri Papa.

Arabella menghela napas panjang, merasa kenyang sebelum sempat menghabiskan rotinya. Dia bangkit dari kursinya dan berjalan keluar, rasa sesak di dada tak kunjung reda.

Saat itu tiba-tiba, telepon dari Daniel kembali masuk, setelah beberapa kali diabaikan.

Arabella akhirnya mengangkatnya.

"Hey, Arabella. Everything alright?"

("Hei, Arabella. Apakah semuanya baik-baik saja?")

suara Daniel terdengar hangat dan penuh perhatian di ujung sana.

"Yeah, Daniel. Papa just finished surgery around three in the morning,"

("Ya, Daniel. Papa baru selesai operasi sekitar pukul tiga dini hari,")

"Oh, I hope he recovers soon. How are you holding up? I miss you,"

("Oh, aku harap dia segera pulih. Bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu,")

katanya, suaranya lembut namun terasa penuh kekhawatiran.

"I miss you too,"

("Aku juga merindukanmu,")

balas Arabella, tapi ada nada kosong di suaranya.

Daniel kemudian meminta izin untuk mengunjungi Jakarta selama liburannya. Namun, Arabella menolaknya dengan halus.

"I don’t think it’s a good time right now, Daniel. Papa’s condition is still unstable, and I might not have time to take you around."

("Aku rasa ini bukan waktu yang tepat sekarang, Daniel. Kondisi Papa masih belum stabil, dan aku mungkin tidak punya waktu untuk mengajakmu jalan-jalan.")

"Arabella, you know I understand. I just want to be there for you,"

("Arabella, kamu tahu aku mengerti. Aku hanya ingin ada di sana untukmu,")

katanya, mencoba meyakinkan.

Arabella terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab pelan,

"Thanks, Daniel. But maybe later, okay?"

("Terima kasih, Daniel. Tapi mungkin lain kali, ya?")

Setelah panggilan berakhir, Arabella kembali berjalan menuju ruangan perawatan Papa dengan perasaan yang campur aduk. Di mana dia harus menghadapi kondisi papanya yang sakit, tapi juga Rieke yang kini jelas-jelas menjadi masalah baru dalam hidupnya.

Sampai akhirnya Rieke memutuskan untuk pergi dari rumah sakit dalam keadaan marah dia menjadi sangat kesal dengan bocah kesayangan Mahendra yang selalu di banggakan ayahnya itu.

Arabella kembali ke ruangan papanya, dan dia menyadari bahwa wanita itu sudah tidak ada lagi. Rasa lega menyelimuti dirinya. Setidaknya, untuk saat ini, dia tak perlu menghadapi masalah tambahan.

Dua hari berlalu.

Hari ini Mahendra sudah dipindahkan dari ruang ICU ke ruang perawatan biasa. Kondisinya mulai menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Dokter bahkan telah mencoba memberinya makanan lunak untuk menguji kemampuan mengunyahnya setelah operasi pendarahan otak. Perlahan, Mahendra mulai bisa berbicara lebih jelas, meskipun belum sepenuhnya normal.

Arabella setia menemani papanya setiap saat. Dia mengurus semuanya sendiri—dari jadwal makan, perawatan, hingga keperluan kecil lainnya. Mahendra sering kali menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca, merasa bersyukur karena memiliki anak seperti Abel, yang tak pernah meninggalkannya meski keadaan begitu sulit.

Sementara itu, saudara-saudara Mahendra bergantian datang setiap hari untuk menjenguk. Mereka tidak tinggal lama, hanya sekadar memastikan Mahendra baik-baik saja dan memberi dukungan pada Abel.

Namun, ada dua sosok yang cukup sering terlihat sebelumnya kini menghilang dari pandangan Rieke dan Auriga.

Rieke, yang sejak awal dilarang Arabella untuk datang, kini benar-benar tidak pernah muncul lagi. Abel bahkan telah meminta perawat untuk merahasiakan lokasi ruangan papanya agar wanita itu tidak bisa mengganggu lagi.

Auriga, di sisi lain, dikabarkan oleh Om Hendra sudah kembali ke Singapura. Sebelumnya, Auriga sempat menghubungi Mahendra untuk menawarkan diri menemani Arabella selama masa perawatan ini.

Namun, Arabella dengan tegas menolak. "Aku bisa menjaga Papa sendiri, Om Hendra. Om sebaiknya pulang saja. Om sudah tua, aku tidak ingin merepotkan," ucapnya lembut namun pasti.

Om Hendra hanya bisa mengangguk memahami, meski ia tetap merasa khawatir meninggalkan Arabella sendirian di tengah situasi seperti ini. Namun, melihat keteguhan dan kedewasaan gadis itu, ia akhirnya memutuskan untuk percaya bahwa Arabella mampu menghadapi semuanya namun tetap dia selalu melaporkan apapun itu pada Auriga.

Di kamar perawatan, suasana selalu hangat. Abel selalu berusaha membuat sang papa semangat dan ceria.

Mahendra mulai mencoba untuk bercanda meski suaranya masih lemah. Arabella tertawa kecil, menutupi kekhawatirannya dengan senyuman yang selalu ia pasang di hadapan papanya. Namun di dalam hatinya, dia tahu perjalanan ini masih panjang, dan beban di dalam hatinya tentang Rieke masih menjadi tanda tanya besar yang belum bisa dia pecahkan.

Di tengah suasana nyaman yang coba diciptakan Arabella, tiba-tiba suara Mahendra memecah keheningan.

“A-rabella, Rieke… Papa lihat dia kemarin ada di sini,” ujar Mahendra dengan suara terbata-bata.

Bruak!

Seperti ada pukulan keras yang menghantam dada Abel. Nama itu, nama wanita yang dia coba singkirkan dari pikiran papanya, kini keluar dari mulut Mahendra.

Abel mencoba menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. Tapi nada bicaranya mulai berubah, wajahnya tampak masam. "Kenapa, Pa? Papa mau ketemu dia?"

Mahendra menundukkan kepala, suaranya penuh penyesalan. "A-Abel, maafkan Papa…”

“Papa mau bilang maaf karena nggak cerita tentang dia selama ini? Ya sudah, Pa. Itu hak Papa,” jawab Abel cepat. Matanya mulai memerah, tapi dia menahan agar suaranya tetap terdengar tegar. "Aku cuma bisa lakukan yang terbaik buat Papa, aku ada di sini untuk Papa. Atau… Papa nggak nyaman sama aku? Kalau begitu, biar aku minta Om Hendra cari orang itu."

Abel berusaha tersenyum, meski hatinya terasa hancur berkeping-keping. Dia merapikan tasnya, mencoba mengalihkan perhatian.

“Abel…” panggil Mahendra lagi, suaranya lirih dan terbata.

Abel mendekat, menatap papanya dengan mata berkaca-kaca. "Santai saja, Pa. Aku nggak apa-apa." Dia menunduk dan mencium pipi Mahendra singkat. Lalu, tanpa menunggu jawaban, dia bergegas keluar dari kamar.

“Arabella, tu-tunggu!” Mahendra mencoba memanggil, tapi suaranya terlalu lemah untuk menghentikan langkah putrinya.

Sesampainya di luar kamar, Abel menekan dadanya, mencoba meredam rasa sakit yang membuncah. Tapi air matanya akhirnya tumpah tanpa bisa ia kendalikan.

Saat papanya menyebut nama wanita itu, semua perasaan yang selama ini ia tahan seolah meledak.

Dengan tangan gemetar, dia mengeluarkan ponsel dan menelepon Om Hendra.

"Hallo, Bel?"

"Om… Om tahu tentang Rieke? Temannya Papa? Om Hendra? Halo?" Tapi suara di ujung sana terputus-putus, membuat frustrasinya semakin memuncak.

Abel terus berjalan dengan langkah cepat, hingga tiba di parkiran terluar rumah sakit. Dia berhenti di sana, berjongkok di samping sebuah mobil, mencoba menghubungi kembali Om Hendra. Namun, panggilan itu tetap tidak tersambung.

Di saat itu, Auriga muncul dari kejauhan. Baru saja kembali dari Singapura dia janjian dengan Sahara akan langsung ke rumah sakit, di sama dia melihat Abel yang tampak menyedihkan dengan mata sembab dan wajah penuh kesedihan.

Sahara, yang berjalan bersama Auriga, bertanya, “Kenapa berhenti?”

Auriga menjawab singkat, "Tidak ada. Kamu duluan saja. Aku mau ke mobil, ambil sesuatu.”

Abel berjalan melewati mereka tanpa menyadari keberadaan Sahara maupun Auriga. Air matanya terus ia seka, tapi rasa sakit di dadanya seolah enggan mereda.

Auriga tak bisa mengabaikan pemandangan itu. Setelah memastikan Sahara pergi lebih dulu, dia memutuskan untuk mengikuti Abel. Langkahnya pelan namun pasti, dia mengikuti Abel yang berjalan begitu jauh sekali hingga akhirnya ia menemukan gadis itu berjongkok di sudut parkiran.

Dengan tangan yang dingin, Auriga merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan dua buah lolipop, permen favorit Abel yang entah bagaimana masih ia ingat. Dia mendekat dan mengulurkan permen itu.

Abel mendongak, matanya langsung tertuju pada permen tersebut. Sejenak, ada cahaya kecil di matanya, namun dengan cepat ia membuang wajah.

“Om mau apa?” tanyanya dingin, suaranya penuh penolakan.

“Ambil ini,” ucap Auriga singkat.

“Pergi. Aku nggak butuh itu,” jawab Abel ketus, meski dalam hati kecilnya ia ingin sekali menerima permen itu.

Auriga tetap diam, lalu perlahan merendahkan tubuhnya hingga sejajar dengan Abel. Ia mengambil tangan gadis itu, meletakkan permen di telapak tangannya, lalu berkata, “Kamu mungkin tidak butuh orang, tapi mungkin sekarang kamu butuh ini.”

Itu ucapan seperti sindiran di mana dia sering mengatakan bisa menjaga papanya sendiri, Om Hendra yang selalu mengatakan untuk tidak memikul semuanya sendirian.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Auriga beranjak pergi, meninggalkan Abel yang masih terpaku dengan permen di tangannya. Abel memandang permen itu sejenak, lalu tanpa sadar menggenggamnya erat.

Benda manis kecil itu, entah mengapa, terasa seperti minta dia buka seakan bisa jadi obat dan pelipur lara di tengah kepedihan hatinya.

Abel lalu berdiri dia melihat ke arah Auriga yang sudah pergi, "Om!" Panggilnya kemudian.

1
Rozzy Haris
kenapa suka baper sama semua karya ka Tris yg di noveltoon ya /Kiss/
Latifah Seneng
yg boleh bobok dipangkuan om
Vafajia
ayolah kak... up donk...
udah gk sabar iniehhh...🥺🥺🥺🥺
Rina
abel abel aku rindu
Dewi Wijayanti
🥰🥰🥰🥰🥰
Dewi Wijayanti
haduh jevas padahal kamu anak kecil gak tau apa² tp karena emakmu yang nyetir aku kok jadi gimana gitu sama kamu 😔
Her@ Soelistya
gemesiiiinnn
Her@ Soelistya
romantisnya merekaaa..bikin greget
Her@ Soelistya
😂😂
Ray Aza
welcome back mba tris... lama menghilang ini. kmrn br dpt notif tahu2 udah berpuluh2 bab aja. sehat2 selalu ya mba... 🤗
Dewi Wijayanti
terus aja manfaatin anakmu sah
Ibu Gaul
up lg kak Tris
Ana💞
cuma aku yg boleh di manja 😍😍😍
Una_awa
lanjut lagi kak Tris
Estriana Pranadya
jadi ada ide om riga buat jadiin omongan abel
Una_awa
lanjut kak
Una_awa
masih nyimak,, lanjut kak
Una_awa
apa kabar kak Tris?,,aku mampir nih 🤗
Laili Untari
hahaha kapok gagal maning😆
Sunny Sunshine
auriga Baik sama Jevas karena dia kan punya keponakan. anak kecil kan ga salah.. dia paham apalgi cuma mo peluk sambil tidur...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!