Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
“Dia siapa?”
Pesan itu muncul di layar handphone Arka, disertai bunyi notifikasi yang memecah kesunyian.
“Siapa yang lo maksud?” balas Arka cepat, meskipun hatinya sudah bisa menebak siapa yang dimaksud Jevian.
“Siapa lagi, kalau bukan wanita cantik yang berdiri di balik meja kasir itu,” tulis Jevian. Tak lupa, dia menyertakan sebuah foto.
Arka membuka foto itu. Siera, dengan senyuman khasnya, tampak berdiri di balik meja kasir. Wajahnya ceria, matanya memancarkan kehangatan.
“Bukan urusan lo,” balas Arka singkat, mencoba menyembunyikan gelisahnya.
Namun, notifikasi kembali muncul sebelum Arka sempat meletakkan ponselnya.
“Serius, Pak? Gue nggak buta. Ada sesuatu, kan? Cewek kayak dia, nggak mungkin cuma kebetulan lo tahu.”
Arka mendesah panjang. Jevian memang selalu seperti ini, tak pernah tahu kapan harus berhenti bertanya.
“Dia cuma pemilik Studio Creatif dan Café itu,” tulis Arka lagi, berharap ini cukup menghentikan rasa ingin tahu Jevian.
Tapi Jevian tak menyerah.
“Cuma pemilik Studio Creatif dan Café? Masa? Kenapa lo sampai bela-belain pantau dia kayak gini? Ada sesuatu kan, Lo?”
Saat menunggu balasan dari Arka, nama Jevian dipanggil. Makanan yang ia pesan sudah siap. Namun, bukan Siera yang berdiri di balik meja kasir kali ini, melainkan Tiwi.
Jevian mengerutkan kening, matanya mencari-cari Siera di dalam kafe. Namun, ia tak menemukannya.
Saat Jevian berbalik dari meja kasir, Siera tiba-tiba lewat di hadapannya. Gadis itu tersenyum singkat sebelum berjalan cepat menuju pintu keluar. Jevian, yang merasa penasaran, segera mengikuti langkahnya.
Di depan kafe, seorang pria tampan berdiri di samping mobilnya, tampak sedang menunggu.
“Sorry kak, buat nunggu,” ucap Siera sambil mendekati seorang pria yang menunggunya.
“Gak papa kok, santai aja. Mau berangkat sekarang?” tanya pria itu dengan nada lembut.
“Ayo, nanti aku masih harus balik ke sini lagi,” jawab Siera sambil tersenyum.
Pria itu membuka pintu mobilnya dengan sopan, mempersilakan Siera masuk, lalu bergegas menuju kursi kemudi.
Jevian, yang memperhatikan dari kejauhan, mengerutkan kening. Ada sesuatu yang terasa janggal. Rasa penasaran mulai menguasai pikirannya. Ia mengeluarkan handphone-nya, diam-diam memotret momen itu.
“Ka, dia siapa?” tulis Jevian di pesan yang dikirimkannya kepada Arka.
Tak butuh waktu lama, balasan Arka muncul.
“Dia siapa, dia siapa lagi kali ini?” Balasan itu terasa penuh nada kesal.
“Gue serius, Ka. Dia siapa?” Jevian menekankan lagi, kali ini disertai foto Siera bersama pria tampan yang baru saja ia lihat.
Deg!
Jari-jarinya terhenti di atas layar ponsel, mencoba meredam gejolak di dadanya. Belum sempat membalas pesan Jevian, ponselnya bergetar lagi.
“Lo diem aja? Jangan bilang lo nggak tahu siapa dia,” tulis Jevian lagi.
Arka menarik napas dalam, lalu mengetik balasan.
“Gue nggak tahu dia siapa.”
Jevi langsung membalas.
“Dia pacar si Pemilik Café?”
Arka mendengus. Pertanyaan itu seperti menambahkan beban di kepalanya.
Jevian yang masih berdiri di depan kafe menunggu jawaban Arka. Pikirannya sibuk menebak-nebak hubungan antara Siera dan pria itu. Tanpa sadar, ia terus memperhatikan mobil yang mulai menjauh.
Di sisi lain, Arka duduk diam di kursinya, menatap layar ponselnya dengan alis yang berkerut. Rasa khawatir perlahan muncul, menguasai pikirannya. Siapa pria yang menjemput Siera?
Pikirannya terus berputar, mencoba mencari jawaban. Apakah itu pacar barunya? gumamnya dalam hati. Kemungkinan itu membuat dadanya terasa sesak.
Arka meletakkan ponsel di meja, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Setahu Arka, terakhir kali Siera memiliki pasangan adalah saat masih kuliah. Itupun Arka tahu dari beberapa postingan Siera di media sosialnya.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Siera tidak pernah memposting apapun yang berhubungan dengan seorang pria. Seluruh unggahannya hanya tentang bisnis yang ia jalankan dan hal-hal sederhana yang menunjukkan kehidupan sehari-harinya.
Arka menghela napas berat. Rasa penasaran bercampur frustrasi terus mengusik pikirannya. Tapi sebelum ia bisa merenung lebih jauh, suara langkah tergesa-gesa mendekat.
“Ka!” panggil Jevian, yang datang sedikit berlari sambil menahan napas.
Arka mendongak dengan tatapan kesal. “Ketuk pintu dulu, Jev,” balasnya dingin. Suasana hatinya jelas tidak baik-baik saja.
“Sorry, Ka. Gue buru-buru,” Jevian mengangkat kedua tangannya seolah meminta maaf. “Kenapa lo nggak jawab pesan gue?” tanyanya lagi, nada penasarannya tidak bisa ditutupi.
“Jawabannya, GUE NGGAK TAHU!” balas Arka dengan nada tinggi, membuat Jevian sedikit tersentak.
Namun, alih-alih merasa bersalah, Jevian justru tersenyum kecil sambil menyandarkan diri ke meja. “Yah, berarti fix itu pacar si Cantik,” ucapnya santai, tapi kata-katanya seperti menyiram bensin ke api.
Arka berdiri dari kursinya, menatap Jevian dengan tajam. “Lo bisa nggak diem aja, Jev?” suaranya rendah, tapi penuh amarah yang tertahan.
“Gue kan cuma tanya, berdasarkan apa yang gue lihat tadi. Lo kok jadi emosi gini. Makan dulu nih, lo galak kalau lagi lapar,” canda jevian yang berusaha mereda emosi sahabatnya.
Arka menghela napas panjang, berusaha meredam amarah yang tiba-tiba meluap. Dia mengikuti Jevian yang sudah duduk lebih dulu di sofa di tengah ruangan. Mereka mulai menyantap makan siang dalam keheningan, suasana terasa canggung.
Namun, Jevian tak pernah bisa diam terlalu lama.
“Ka, kali ini gue serius,” ucapnya, memecah keheningan. “Perempuan cantik itu siapa? Kok lo bisa emosional gini pas tahu dia jalan bareng pria lain?”
Arka meletakkan sendoknya, tatapannya menerawang. Ada jeda panjang sebelum ia menjawab, seolah mencoba merangkai kata-kata yang tepat.
“Lo inget teman gue dari kecil yang pernah gue ceritain dulu?” tanyanya akhirnya, suaranya rendah.
Jevian berpikir sejenak, mengerutkan kening sambil mencoba mengingat cerita Arka yang dulu pernah ia dengar. Saat jawabannya muncul di kepala, matanya membulat.
“Maksud lo… si Siera itu?” tanyanya tak percaya.
“Iya,” balas Arka pendek, nadanya penuh beban.
Jevian menyandarkan tubuhnya ke sofa, terkejut sekaligus bingung. “Wah, lo udah gila, Ka. Ninggalin perempuan secantik dan seramah dia? Apa yang lo pikirin?”
Arka menggeleng, wajahnya penuh penyesalan. “Gue nggak ninggalin dia, Jev.”
“Ya, tapi kan sama aja,” balas Jevian sambil menatap tajam sahabatnya. “Lo pergi tanpa bilang apa pun ke dia. Walaupun lo bilang itu demi masa depan lo, dia pasti ngerasa lo ninggalin dia.”
Arka terdiam. Kata-kata Jevian menusuk tepat di hatinya. Ia tahu, Jevian benar. Keputusannya dulu untuk meninggalkan semua tanpa penjelasan adalah kesalahan besar. Tapi saat itu, ia merasa tak punya pilihan.
“Lo tahu, Jev,” ujar Arka akhirnya, suaranya bergetar. “Gue nggak pernah berhenti mikirin dia. Nggak sekalipun.”
Jevian terdiam sejenak, mencoba mencerna pengakuan sahabatnya.
“Kalau gitu, apa lo bakal biarin dia lagi kali ini, Ka?” tanyanya, kali ini lebih lembut.
Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat Arka kembali terdiam. Ia tahu, inilah saatnya ia membuat keputusan.
Seketika Arka merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya dengan gerakan cepat. Jevian yang memperhatikan hanya mengerutkan dahi, bingung dengan perubahan mendadak pada sahabatnya.
"Ma, tawaran itu masih berlaku kan?” tulis Arka pada pesan yang dia kirim.
walah sipa yah...