NovelToon NovelToon
Mentari Di Balik Kabut

Mentari Di Balik Kabut

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Percintaan Konglomerat / Fantasi Wanita
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Fika Queen

Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.

Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.

Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.

Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 13

Malam itu, di sebuah ballroom megah, suasana sudah mulai ramai dengan para kolega bisnis dan wartawan yang berdatangan untuk menghadiri jumpa pers produk baru dari perusahaan Dylan. Lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit memancarkan cahaya yang anggun, sementara suasana ruangan dipenuhi suara obrolan santai dan tawa para undangan.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri di sudut ruangan, mengenakan setelan formal berwarna gelap yang mempertegas karismanya. Namun, senyumnya tampak sedikit tegang. Matanya terus melirik ke arah pintu masuk, dan tangannya beberapa kali menyentuh jam di pergelangan.

"Kenapa Rose belum datang?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar di tengah keramaian. Ia telah memastikan sebelumnya bahwa Rose menerima undangan khusus darinya. Ia ingin Rose ada di sana, bukan hanya untuk melihat peluncuran produk perusahaannya, tetapi juga sebagai tamu yang istimewa di matanya.

Sementara itu, di luar gedung, Rose berdiri dengan ekspresi bingung. Ia mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna biru tua, rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit sentuhan gelombang. Namun, ia terlihat gelisah.

"Maaf, Nona, nama Anda tidak ada dalam daftar tamu," ujar salah seorang staf keamanan di depan pintu, nada suaranya datar dan tegas.

"Tapi... Saya yakin saya diundang. Dylan sendiri yang mengundang saya," kata Rose dengan suara sedikit memohon.

Staf itu menggelengkan kepala. "Kami hanya mengikuti prosedur. Jika nama Anda tidak terdaftar, saya tidak bisa membiarkan Anda masuk."

Rose menghela napas panjang, merasa bingung. Ia mencoba menghubungi Dylan melalui ponselnya, tetapi pria itu tidak menjawab. Mungkin terlalu sibuk dengan acara yang sedang berlangsung. Ia menggigit bibir, merasa kecewa sekaligus tidak tahu harus berbuat apa.

Di dalam, Dylan akhirnya tak tahan lagi. Ia meminta salah satu asistennya untuk memeriksa ulang daftar tamu dan memastikan Rose sudah masuk. "Cek ulang sekarang," katanya dengan nada yang lebih tajam dari biasanya.

"Asisten saya bilang dia sudah mengirim undangan. Apa mungkin ada kesalahan teknis?" pikir Dylan, sambil bergegas ke pintu masuk sendiri. Langkahnya cepat, dan kegelisahan tampak jelas di wajahnya.

Begitu tiba di pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya. Rose masih berdiri di sana, memeluk tas kecilnya erat-erat. Wajahnya tampak sedikit pucat, mungkin karena malu atau cemas karena dilarang masuk.

"Rose!" panggil Dylan dengan suara tegas. Staf yang berjaga langsung berdiri lebih tegak begitu melihat bos mereka.

Rose mengangkat wajahnya, sedikit terkejut melihat Dylan. "Pak Dylan... Saya—"

"Kenapa dia tidak diizinkan masuk?" Dylan memotong, menatap staf dengan pandangan tajam.

"Maaf, Pak, namanya tidak ada di daftar tamu."

"Itu kesalahan, dan saya tidak ingin alasan. Dia adalah tamu saya," kata Dylan dengan nada yang tak terbantahkan. "Pastikan mulai sekarang dia bisa masuk ke mana saja tanpa hambatan."

Staf itu mengangguk cepat dan membuka jalan. Dylan meraih tangan Rose dengan lembut. "Maafkan aku, Rose. Ini kesalahan yang tidak seharusnya terjadi."

Rose menunduk, suaranya lirih. "Aku pikir aku tidak diundang..."

Dylan menghentikan langkah mereka sejenak dan menatapnya dengan serius. "Rose, aku ingin kau ada di sini. Kau penting bagiku. Aku tidak tahu apa yang terjadi tadi, tapi aku berjanji itu tidak akan terjadi lagi."

Wajah Rose sedikit memerah, dan ia hanya bisa mengangguk pelan. "Terima kasih..."

Dylan tersenyum, menggenggam tangannya lebih erat. "Ayo, aku ingin kau melihat apa yang aku kerjakan selama ini. Dan... aku ingin kau tahu betapa aku ingin kau jadi bagian dari semuanya."

Malam itu, meski awalnya terasa sulit, kehadiran Rose akhirnya membawa ketenangan pada Dylan. Mereka berjalan berdampingan ke dalam ruangan, menarik perhatian para tamu, tetapi bagi Dylan, hanya ada satu orang yang ia pedulikan di tengah keramaian itu—Rose.

***

Dylan berdiri tegap di podium, mikrofon di depannya memantulkan suaranya ke seluruh ruangan. Sorot lampu panggung menyinari wajahnya, menonjolkan ekspresi percaya diri seorang pemimpin yang telah melewati banyak badai. Semua mata tertuju padanya—para kolega, investor, wartawan, dan tentu saja Rose, yang kini duduk di salah satu barisan depan.

Dylan menghela napas pelan sebelum berbicara, memberi jeda yang seolah menandakan betapa pentingnya momen ini. “Malam ini,” katanya, suaranya tegas namun penuh kehangatan, “adalah malam yang sangat istimewa. Tidak hanya untuk saya, tetapi juga untuk seluruh tim yang telah bekerja keras membangun apa yang kita miliki hari ini.”

Para tamu mulai bertepuk tangan. Dylan mengangkat tangannya sedikit, meminta mereka berhenti sejenak. “Namun, izinkan saya untuk berbagi sesuatu—perjalanan ini tidak dimulai dengan kemewahan seperti yang Anda lihat di sini. Perusahaan ini lahir dari sebuah ruangan kecil yang bahkan tidak layak disebut kantor. Hanya ada satu meja, dua kursi, dan banyak mimpi besar yang tidak tahu ke mana arahnya.”

Ruangan itu hening, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Dylan. Ia melanjutkan, “Saya tidak akan berdiri di sini tanpa dedikasi, keberanian, dan, tentu saja, kegagalan. Ya, kegagalan. Saya telah jatuh berkali-kali. Ada saat-saat di mana saya merasa dunia tidak memberi saya kesempatan. Namun, dari setiap kegagalan itu, saya belajar. Saya bangkit lagi.”

Ia berhenti sejenak, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Matanya akhirnya bertemu dengan Rose. Senyuman kecil muncul di wajahnya, hampir tidak terlihat, namun cukup untuk membuat Rose merasa hangat.

“Hari ini, kita tidak hanya meluncurkan sebuah produk baru,” lanjutnya. “Kita meluncurkan sebuah bukti bahwa mimpi, jika diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, dapat menjadi kenyataan. Produk ini adalah simbol dari inovasi, kerja keras, dan semangat untuk terus maju, meskipun tantangan datang silih berganti.”

Dylan mengangkat tangannya, memberi isyarat pada layar besar di belakangnya. Sebuah presentasi visual muncul, menampilkan detail produk baru yang akan mereka luncurkan—teknologi yang revolusioner, sesuatu yang siap mengguncang industri. Para tamu mulai bertepuk tangan dengan antusias, beberapa bahkan berdiri sebagai bentuk apresiasi.

Namun, Dylan belum selesai. Ia menatap kembali audiensnya, kali ini dengan nada yang lebih personal. “Tapi malam ini bukan hanya tentang saya atau produk ini. Malam ini tentang kita semua. Tentang mereka yang percaya ketika tidak ada yang lain melakukannya. Tentang mereka yang tetap berjalan bersama saya, meskipun jalan itu berliku dan gelap.”

Suaranya terdengar penuh emosi sekarang. “Dan untuk seseorang di sini malam ini, yang baru saja saya kenal, tetapi entah bagaimana, kehadirannya memberi saya alasan untuk terus bermimpi lebih besar. Terima kasih, Rose.”

Nama itu membuat banyak kepala menoleh, mencari tahu siapa yang dimaksud Dylan. Rose terkejut, wajahnya memerah saat merasa begitu banyak mata kini tertuju padanya. Namun, Dylan melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, nyaris seperti berbicara hanya padanya.

“Kalian semua adalah bagian dari perjalanan ini. Dan untuk itu, saya ucapkan terima kasih dari lubuk hati saya yang paling dalam.”

Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan, panjang dan penuh semangat. Dylan menunduk singkat, memberi penghormatan kepada semua yang hadir, sebelum turun dari podium dengan senyuman lebar di wajahnya.

Rose, yang masih terpaku di tempat duduknya, merasa dadanya berdebar. Dylan bukan hanya seorang pemimpin yang karismatik, tetapi juga seseorang yang jujur, tulus, dan penuh semangat. Di tengah kegemerlapan malam itu, ia tahu, Dylan adalah seseorang yang berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui.

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!