Terlalu sering memecat sekretaris dengan alasan kinerjanya kurang dan tidak profesional dalam bekerja, Bryan sampai 4 kali mengganti sekretaris. Entah sekretaris seperti apa yang di inginkan oleh Bryan.
Melihat putranya bersikap seperti itu, Shaka berinisiatif mengirimkan karyawan terbaiknya di perusahaan untuk di jadikan sekretaris putranya.
Siapa sangka wanita yang dikirim oleh Daddynya adalah teman satu sekolahnya.
Sambungan dari novel "Kontrak 365 Hari"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Sudah beberapa hari berlalu sejak Bryan mengantarkan Annelise mengunjungi makam dan melontarkan ajakan menikah yang tidak masuk akal, hubungan keduanya masih seperti biasa, layaknya atasan dan bawahan. Perdebatan kecil tetap ada, mengingat Bryan memiliki sifat seenaknya, pemaksa dan ketus. Namun semua itu tidak menganggu kinerja Annelise yang berusaha profesional.
Di ruang kerjanya, Bryan tampak memijat pelipisnya sembari menatap undangan pernikahan dari teman kuliahnya yang ada di meja kerjanya sejak 4 hari lalu. Nanti malam adalah acara resepsi yang akan di hadiri oleh teman seangkatannya. Bryan sedang pusing memikirkan wanita mana yang akan dia gandeng untuk menghadiri acara pernikahan itu. Sebenarnya Bryan bisa saja datang sendiri tapi di grup alumni banyak yang mempertanyakan jati diri Bryan karna diketahui belum pernah memiliki kekasih sampai sekarang. Tentu saja Bryan gengsi kalau datang sendiri dan menjadi bahan gunjingan orang-orang.
Tokk,, tokk,, tok,,
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Bryan. Dia segera memasukkan kembali undangan itu di laci.
"Masuk.!!" Serunya.
Pintu ruangan terbuka dari luar dan memperlihatkan sosok Annelise yang perlahan masuk ke dalam ruangan sembari memegang dokumen di tangannya.
"Dokumennya sudah saya periksa, Pak Bryan bisa langsung menandatanganinya." Annelise menyodorkan dokumen itu di atas meja kerja Bryan.
Bukannya merespon, Bryan malah memandangi Annelise karna ingat undangan pernikahan tadi. Dia berpikir untuk mengajak Annelise dan memperkenalkan Annelise sebagai kekasihnya. Tentunya hanya untuk sandiwara. Lagipula Annelise sudah melakukan perjanjian dengannya, jadi Annelise harus selalu siap jika di butuhkan.
"Pak Bryan.?" Annelise menggerakkan tangannya di depan wajah Bryan.
"Hmm." Bryan menyahut singkat dan membuka dokumen itu untuk di bubuhi tanda tangannya. Sementara itu, Annelise duduk di depan Bryan sambil menunggu semua dokumen itu selesai di tanda tangani karna harus dia bawa lagi.
"Apa malam ini kamu sibuk.?" Tanya Bryan tanpa menatap Annelise. Dia fokus pada lembaran-lembaran kertas di depannya.
"Tidak."Jawabnya sedikit ragu. Annelise memperhatikan Bryan dengan perasaan tidak enak. Jangan-jangan Bryan akan memaksanya menginap di apartemen lagi.
"Bagus. Nanti malam saya jemput kamu jam 7. Gaun dan yang lainnya akan saya kirim ke rumah kamu." Ujar Bryan.
"Eh,, tunggu sebentar Pak." Seloroh Annelise reflek.
Dia melongo di buatnya. Tidak ada obrolan apapun sebelumnya, tiba-tiba saja Bryan ingin menjemputnya nanti malam. Lalu gaun apa yang dimaksud Bryan. Annelise menggaruk tengkuknya sendiri saking bingungnya. Berkomunikasi dengan Bryan benar-benar membingungkan dan menguras kesabaran.
"Memangnya ada acara apa.? Bukannya undangan dari Sanjaya Grup masih 3 hari lagi.?" Kata Annelise setelah mengingat-ingat ada undangan anniversary pernikahan dari pemilik Sanjaya Grup.
"Bukan, ini bukan undangan anniversary." Sahut Bryan cepat. "Sudah jangan banyak tanya. Ingat perjanjian kita, kamu harus patuh.!" Tegasnya dengan nada paksaan.
Annelise memutar malas bola matanya. Bryan memang semenyebalkan itu. Pemaksa.!
...*****...
Annelise sampai di rumah pukul 5 sore. Dia baru saja menutup pagar rumahnya, tiba-tiba seorang kurir datang membawa 3 paper bag dengan logo ternama.
"Permisi Mbak, saya mau mengantarkan kiriman untuk Annelise." Ujar pria paruh baya yang baru turun dari motornya sambil menenteng paper bag itu.
"Ya, saya Annelise." Jawabnya sambil menatap tak percaya pada batang kiriman dari Bryan.
Kurir itu sontak menyerahkan paper bag tersebut pada Annelise dan sempat meminta foto sebagai bukti jika barangnya sampai di tangan penerima.
Annelise lantas buru-buru masuk ke dalam rumahnya dan menyelinap ke kamar sebelum Bibi dan Pamannya melihat dia membawa barang-barang branded.
Sambil menatap heran, Annelise mengeluarkan satu persatu isi paper bag itu. Dia meletakkan ketiganya di atas ranjang.
Ada dress panjang warna hitam yang tampak elegan dengan belahan sampai di atas lutut. Dress itu juga memiliki lengan panjang dengan punggung yang sedikit terbuka. Tidak hanya dress, Bryan juga mengirim high heel yang senada dengan Dress, juga tas berwarna cream dan satu set perhiasan.
Melihat semua barang branded itu yang nilainya puluhan juta, Annelise hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Sebenarnya dia mau mengajakku kemana." Gumam Annelise curiga. Melihat barang-batang mahal itu, Annelise yakin kalau Bryan akan mengajaknya ke acara penting. Bosnya itu seolah ingin membuatnya terlihat setara.
Annelise mengambil ponselnya untuk menghubungi Bryan, daripada penasaran dan menerka-nerka sendiri, lebih baik minta penjelasan langsung dari Bryan.
Satu panggilan tidak terjawab, Annelise kembali menelfon Bryan dan tak lama panggilannya terhubung.
"Pak Bryan, sebenarnya kita mau kemana.? Kenapa menyuruhku pakai barang-barang branded ini.? Nggak mungkin kalau kita cuma pergi dinner kan.?" Ceroros Annelise tanpa jeda. Nada bicaranya sedikit tinggi karna merasa kesal, takut di manfaatkan oleh Bryan untuk hal-hal yang merugikan.
"Halo Anne, ini Ibu." Suara lembut wanita paruh baya terdengar dari seberang sana. Annelise langsung terduduk lemas di ranjang karna menahan kecemasan dan malu.
"Bu,,Bu Jihan.?" Ucap Annelise gagap. "Maaf saya tidak tau kalau Bu Jihan yang menerima telfon." Annelise meringis panik. Dia takut salah bicara dan membuat orang tua Bryan salah paham.
"Nggak masalah Anne, santai saja." Kata Jihan dengan gayanya yang lemah lembut. "Tadi kamu bilang apa.? Bryan mengajak kamu pergi dan menyuruh kamu memakai barang branded ya.?" Ada nada penasaran di dalamnya. Annelise diam sesaat, dia kebingungan harus menjawab apa. Mengelak pun percuma saja karna sudah terlanjur bilang. Dia akhirnya mengiyakan pertanyaan Jihan.
"Bryan sedang bicara dengan Daddynya, sepertinya lupa meninggalkan ponselnya di ruang keluarga." Ujar Jihan. Wanita paruh baya itu lantas memberi tahu Annelise kalau malam ini Bryan ada undangan pernikahan dari teman kuliahnya.
"Ibu boleh tanya sesuatu.?" Lirih Jihan.
Jantung Annelise tiba-tiba berdetak kencang. Perasaannya sudah tidak enak. Dia merasa akan di interogasi oleh orang orang tua bosnya.
"I-iya,," Annelise tidak mungkin melarang, jadi terpaksa mengiyakan.
"Apa kamu nggak tertarik sama putra Ibu.?" Tanyanya tanpa basa-basi.
"Hah.? Bagaimana Bu.?" Annelise pura-pura tidak paham. Perasaannya jadi tidak karuan karna di todong langsung oleh orang tua Bryan. Sejak awal Annelise sudah merasa kalau Jihan memiliki maksud tertentu padanya. Sikapnya sangat baik sejak pertama kali bertemu sampai detik ini.
"Anne, kamu pasti tau sampai sekarang Bryan masih sendiri. Ibu sangat berharap Bryan segera menikah. Apa kamu mau jadi istri Bryan.?" Tanyanya to the point.
"Ibu bicara seperti ini bukan atas perintah Bryan. Kamu pasti tau Bryan seperti apa, gengsinya sangat tinggi. Sekalipun dia menyukai seseorang, pasti memilih diam, alih-alih mengajaknya menjalin hubungan." Tuturnya panjang lebar.
Annelise mengerutkan kening, dia jadi ingat kejadian beberapa hari lalu ketika Bryan mengajaknya menikah. Nyatanya Bryan bisa mengajak seseorang menikah, hanya saja salah dalam cara mengungkapkannya. Atau bisa jadi Bryan memang gengsi untuk memohon, jadi menggunakan cara yang terkesan memaksa seperti itu.
"Maaf Bu, saya,,," Annelise tidak meneruskan ucapannya karna mendengar suara Bryan.
"Mommy bicara dengan siapa.?"
"Oh, ini tadi Annelise menelfon. Mommy khawatir ada hal mendesak, jadi Mommy angkat telfonnya. Ini, Annelise katanya mau bicara langsung sama kamu." Ujar Jihan seraya menyodorkan ponsel pada Bryan.
"Anne, lain kalo kita bicara lagi" Kata Jihan kemudian meninggalkan Bryan di ruang keluarga.
"Apa yang kalian bicarakan.?!" Tanya Bryan setelah melihat durasi telfonnya sudah sekitar 10 menit yang lalu. Waktu selama itu sudah pasti bisa membicarakan banyak hal.
"Hanya menanyakan kabar. Aku tutup telfonnya." Annelise langsung memutuskan sambungan telfonnya. Bryan mendengus kesal, baru kali ini ada yang berani menutup telfonnya lebih dulu.
"Wanita ini benar-benar cari masalah." Gerutu Bryan sewot.
wajar klo sll salah paham...