Nayla, seorang gadis sederhana dengan mimpi besar, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menerima lamaran dari Arga, seorang pria tampan dan sukses namun dikelilingi rumor miring—katanya, ia impoten. Di tengah desakan keluarganya untuk menerima lamaran itu demi masa depan yang lebih baik, Nayla terjebak dalam pernikahan yang dipenuhi misteri dan tanda tanya.
Awalnya, Nayla merasa takut dan canggung. Bagaimana mungkin ia menjalani hidup dengan pria yang dikabarkan tak mampu menjadi suami seutuhnya? Namun, Arga ternyata berbeda dari bayangannya. Di balik sikap dinginnya, ia menyimpan luka masa lalu yang perlahan terbuka di hadapan Nayla.
Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Nayla menyadari bahwa rumor hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Tetapi, ketika masa lalu Arga kembali menghantui mereka dalam wujud seseorang yang membawa rahasia besar, Nayla dihadapkan pada pilihan sulit, bertahan di pernikahan ini atau meninggalkan sang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Ponsel di tangan Nayla nyaris terjatuh. Suara Arga terdengar begitu dekat, membuat jantungnya berpacu liar. Ia mengangkat kepala perlahan, mendapati pria itu berdiri di ambang pintu dengan tangan disilangkan di dada.
“Aku tanya, apa yang kau baca?” ulang Arga, suaranya datar, tetapi sorot matanya menelisik, tajam seperti pisau.
“Tidak... tidak ada apa-apa,” jawab Nayla tergagap, buru-buru mematikan layar ponselnya.
Arga melangkah mendekat, dan Nayla merasakan udara di ruangan itu semakin menekan. Ia tahu, kebohongan tidak akan pernah luput dari pria itu.
“Kalau tidak ada apa-apa, kenapa kau terlihat panik?”
“Aku tidak panik,” Nayla mencoba tersenyum, meski wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan. “Hanya pesan dari teman. Itu saja.”
Arga duduk di tepi ranjang, terlalu dekat untuk kenyamanan Nayla. Ia menatapnya tanpa berkedip, seolah membaca isi pikirannya. “Teman seperti apa yang mengirim pesan yang membuatmu gemetar seperti ini?”
“Arga, aku tidak mengerti kenapa kau selalu curiga padaku,” Nayla mencoba bertahan, meski perasaan terjepit membuatnya sulit bernapas.
“Karena aku tahu apa rasanya dikhianati,” ucap Arga dengan nada yang berat, tetapi penuh ketegasan. “Dan aku tidak ingin itu terjadi lagi.”
Kata-katanya menghantam Nayla seperti pukulan. “Maksudmu... kau pernah dikhianati?”
Ekspresi Arga berubah sekilas, seperti ada luka lama yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Ia berdiri, mengalihkan pandangannya, seolah berusaha menenangkan pikirannya.
“Tidak semua orang sebaik kelihatannya,” gumam Arga, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Nayla.
Nayla terdiam. Ia tahu ada sesuatu di balik kalimat itu, tetapi Arga tampaknya tidak ingin melanjutkan.
“Kalau begitu, kenapa kau menikah denganku?” Nayla memberanikan diri bertanya.
Arga memutar tubuhnya, menatap Nayla dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Karena aku ingin membuktikan bahwa tidak semua perempuan sama.”
Jawaban itu membuat Nayla terdiam. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, yang tidak diungkapkan Arga.
“Arga, aku bukan orang seperti itu,” ujar Nayla, suaranya pelan tetapi penuh keyakinan. “Aku tidak tahu apa yang kau alami sebelumnya, tapi aku tidak akan mengkhianatimu.”
Arga menatapnya lama, seolah menimbang-nimbang kejujuran di balik kata-katanya. “Aku ingin percaya padamu, Nayla,” katanya akhirnya. “Tapi kepercayaan itu harus dibuktikan, bukan hanya diucapkan.”
---
Nayla mencoba mengalihkan perasaannya yang bercampur aduk setelah percakapan itu. Namun, pesan di ponselnya terus menghantui pikirannya. Ia tahu ada sesuatu yang harus ia ketahui, sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan semua sikap misterius Arga selama ini.
Malam itu, Nayla berpura-pura tertidur lebih awal. Ia membiarkan lampu kamar redup, menunggu hingga suara langkah kaki Arga menjauh. Setelah yakin, ia perlahan meraih ponselnya. Pesan itu masih ada di sana, seolah menantang keberaniannya.
“Kau harus melakukannya, Nayla,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Ini mungkin satu-satunya kesempatan.”
Ia mengemas beberapa barang kecil ke dalam tas selempangnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan. Namun, sebelum sempat melangkah keluar kamar, pintu terbuka perlahan.
Arga berdiri di sana, mengenakan kemeja santai, tetapi sorot matanya penuh tanda tanya. “Kau mau ke mana?” tanyanya.
Nayla menelan ludah, mencari alasan yang bisa terdengar masuk akal. “Aku... hanya ingin ke dapur.”
“Dengan membawa tas?” Arga melirik benda yang tergantung di bahunya.
Nayla terdiam, merasa sudut-sudut jebakan mulai menutupinya. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara notifikasi ponselnya memecah keheningan.
Arga mengulurkan tangannya. “Berikan padaku.”
“Arga, ini—”
“Berikan,” ucapnya tegas, memotong alasan yang belum sempat keluar.
Nayla tidak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, ia menyerahkan ponselnya. Arga melihat layar yang menyala, membaca pesan yang baru saja masuk.
Sorot matanya berubah, dari kecurigaan menjadi sesuatu yang lebih gelap. “Siapa ini?” tanyanya, nadanya rendah tetapi tajam.
Nayla mencoba menjawab, tetapi tenggorokannya terasa kering. Ia tidak pernah melihat ekspresi seperti itu di wajah Arga sebelumnya.
“Jadi ini alasanmu gelisah belakangan ini?” lanjut Arga, tatapannya menusuk langsung ke dalam mata Nayla.
“Aku tidak tahu siapa pengirimnya,” ucap Nayla akhirnya, mencoba jujur. “Tapi aku merasa ini penting. Aku hanya ingin mencari tahu.”
Arga tertawa kecil, tetapi bukan tawa yang hangat. “Penting? Atau kau hanya penasaran dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya denganmu?”
“Aku hanya ingin mengerti, Arga!” Nayla akhirnya meledak. “Ada terlalu banyak rahasia di rumah ini, terlalu banyak hal yang tidak kau katakan padaku. Aku hanya ingin tahu kebenarannya.”
Keheningan menggantung di antara mereka. Arga menatap Nayla dengan ekspresi yang sulit dibaca, seolah menimbang-nimbang sesuatu.
“Kau ingin tahu kebenaran?” tanyanya pelan.
Nayla mengangguk, meski ada rasa takut yang merayap di dadanya.
Arga melemparkan ponsel itu ke atas tempat tidur, kemudian berbalik menuju pintu. “Ikut denganku.”
Tanpa menunggu jawaban, Arga melangkah keluar kamar. Nayla mematung sesaat sebelum mengikuti di belakangnya. Langkah mereka terhenti di depan pintu ruang kerja. Dengan satu gerakan cepat, Arga membuka pintu dan berkata dengan nada yang dingin, “Kalau kau ingin tahu kebenaran, kau akan menemukannya di sini.”
Nayla berdiri di ambang pintu, menatap isi ruang kerja Arga yang kini terbuka di hadapannya. Ruangan itu terlihat rapi, nyaris sempurna, dengan deretan rak buku yang terorganisasi dan sebuah meja besar yang didominasi oleh tumpukan map hitam. Lampu gantung di langit-langit memberikan pencahayaan lembut, tetapi atmosfer ruangan terasa dingin, seolah menyimpan rahasia yang berat.
"Masuk," kata Arga tanpa menoleh. Ia berjalan ke meja kerjanya dan membuka salah satu map. Gerakannya pelan, namun penuh determinasi.
Nayla melangkah ragu-ragu, rasa penasaran dan ketakutan bercampur menjadi satu. "Apa yang ingin kau tunjukkan?"
Arga mengangkat sebuah map tebal berwarna merah. "Ini adalah sebagian dari alasan kenapa aku tidak pernah membiarkan siapa pun, termasuk kau, masuk ke ruangan ini."
"Alasan apa? Apa ini?" Nayla mendekat, mencoba melihat lebih jelas, tetapi Arga dengan cepat menutup map itu.
"Semua yang kau lihat di sini adalah beban yang harus kutanggung sendirian," jawab Arga, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. "Dan aku tidak yakin kau siap mengetahuinya."
Nayla memelototi suaminya, marah sekaligus putus asa. "Kalau kau terus menutupiku, bagaimana aku bisa menjadi bagian dari hidupmu? Aku istrimu, Arga. Aku berhak tahu."
Arga menghela napas panjang. "Kau ingin tahu apa yang ada di sini?" Ia menunjuk tumpukan map di atas meja. "Ini adalah kehidupan masa laluku, semua keputusan buruk, semua kesalahan, semua orang yang ingin aku lupakan."
Nayla mencoba membaca wajah suaminya, tetapi ekspresinya begitu terkunci. Ia tidak tahu apakah harus marah, bersedih, atau justru lebih penasaran. "Lalu kenapa kau menikah denganku kalau kau punya begitu banyak hal yang kau sembunyikan?"
Arga terdiam, lalu menunduk sedikit, seperti menimbang sesuatu. "Karena aku ingin mencoba memulai hidup baru. Aku pikir, dengan menikah, aku bisa melupakan semuanya. Namun, ternyata tidak semudah itu."
Nayla merasa jantungnya mencelos. "Kau menikahiku hanya untuk itu? Untuk lari dari masa lalumu?"
"Awalnya iya," jawab Arga jujur, menatapnya dengan mata yang dalam. "Tapi sekarang... aku mulai melihat bahwa kau lebih dari sekadar pelarian."
Pernyataan itu mengejutkan Nayla. Di satu sisi, ada kehangatan dalam kata-kata Arga, tetapi di sisi lain, pengakuannya membuatnya merasa seperti alat, seperti seseorang yang hanya dijadikan alat pelampiasan.
"Arga, ini tidak adil," bisiknya. "Aku berhak tahu siapa sebenarnya suamiku."
Arga kembali membuka map merah itu, menyingkap beberapa halaman yang berisi catatan keuangan dan dokumen legal. Ia mengambil sebuah foto dari dalam map, lalu menyerahkannya pada Nayla.
Saat Nayla melihat foto itu, tubuhnya membeku. Foto seorang wanita muda dengan senyum yang familiar. Mata wanita itu penuh cinta, tetapi ada sesuatu yang tidak wajar dalam pandangannya.
"Siapa dia?" tanya Nayla dengan suara bergetar.
Arga menatapnya lama sebelum menjawab. "Dia adalah wanita yang mengajariku arti kehilangan."
Nayla menggenggam foto itu erat, pikirannya mulai dipenuhi dugaan-dugaan liar. "Kau masih mencintainya?"
Arga tersenyum kecil, tetapi bukan senyuman bahagia. "Cinta adalah kata yang rumit, Nayla. Tapi dia adalah bagian dari alasan kenapa aku menjadi seperti ini."
Nayla merasa tubuhnya lemas. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi dengannya?"
Arga mengalihkan pandangannya, seolah menghindari tatapan Nayla. "Dia... menghilang."
"Bagaimana bisa? Kau tidak mencarinya?"
"Sudah kubilang, Nayla. Semua yang ada di ruangan ini adalah masa lalu yang ingin kulupakan."
Nayla tidak percaya. Ia tahu ada sesuatu yang jauh lebih besar dari yang Arga katakan. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, ponsel Nayla kembali bergetar. Ia mengambilnya, melihat sebuah pesan baru dari nomor misterius.
"Dia membohongimu. Kau harus mendengar kebenarannya dariku, sekarang."
Jantung Nayla serasa berhenti. Ia mendongak, melihat Arga yang kembali menatapnya. Mata pria itu dingin, hampir seperti ia tahu pesan itu baru saja masuk.
"Aku tidak tahu siapa yang terus menghubungimu," kata Arga perlahan, suaranya terdengar seperti ancaman. "Tapi jika kau mencoba pergi tanpa izin dariku lagi... aku tidak akan membiarkanmu kembali."
Nayla memandang suaminya, terjebak antara ketakutan dan keinginan untuk tahu lebih banyak. Di tangan kirinya, foto wanita itu, sedangkan di tangan kanannya, ponsel dengan pesan yang terus memanggilnya. Pilihan apa yang harus diambilnya malam ini?