Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10. Alvaro kembali ke Istanbul
Ayzel dan Humey sampai diapartemen, mereka sudah sangat lelah terutama Ayzel. Energinya terkuras habis hari ini, ingin segera merebahkan tubuh diatas kasur. Tapi Ayzel tidak bisa langsung istirahat, karena besok dia sudah harus memulai praktik klinisnya untuk mendapat lisensi.
“Gak capek kak?” tanya Humey yang melihat Ayzel membuka macbook dengan berkas yang ada di tangannya.
“Capek, tapi mau gimana lagi. Aku harus membaca beberapa CV klienku, besok sudah mulai harus praktik klinis” ucap Ayzel sambil menghela napas.
Beruntungnya dia akan satu tempat praktik dengan Naira, mereka melakukan praktik klinis di sebuah klinik swasta dan pusat konseling karena mereka akan mengembangkan praktik mandiri nantinya.
Mulai besok baik Ayzel maupun Naira akan memulai praktiknya di Istanbul Counseling Center (Istanbul Danismanlik Merkezi).
“Aku mandi duluan kak,” Humey masuk ke kamar mandi, sedang Ayzel masih membaca berkas kliennya.
Humey sudah selesai mandi, dia sedang rebahan pada karpet yang terletak di lantai, dia melihat beberapa kali ponsel kakaknya berbunyi. Ayzel masih di kamar mandi dan Humey tidak berani mengangkatnya.
“Kak ponsel bunyi terus tuh?” ujar Humey saat melihat Ayzel keluar dari kamar mandi.
“Asisten pak Alvaro,” ucap Ayzel yang melihat notifikasi ponselnya.
“Udah kayak drama CEO ngejar anak magang hahaha,” Humey menggoda kakaknya.
“Humey,” Ayzel melirik malas.
“Aku angkat lho nanti,” goda Humey.
“Boleh sayang, angkat saja. Biar penasaranmu hilang,” Ayzel dan Humey terkekeh.
Ayzel kembali fokus dengan berkas-berkasnya, Humey tampak asik dengan ponselnya. Sudah tentu dia sedang berkirim pesan dengan Malvin, berkali-kali Ayzel mengingatkan agar tidak terlalu memakai hati. Mereka baru saja berkenalan, Humey juga sedang proses khitbah meskipun dia belum menyetujuinya.
"Jangan terlalu terbawa perasaan, ingat papa dan mama menunggu jawabanmu” ucap Ayzel mengingatkan Humey.
“Euung ... kak,” dengan mata berkaca-kaca dia meminta bantuan Ayzel.
“Huft ... aku akan mendukungmu selama itu terbaik menurut Allah Humey,” Ayzel kembali membaca berkasnya, sementara Humey kembali sibuk dengan ponselnya.
“Siapa sih? Udah tahu gak diangkat masih saja telepon,” Humey penasaran dan melihat siapa yang melakukan panggilan telepon.
Ayzel selalu membuat ponselnya mode getar akhir-akhir ini, bisa jadi karena ponselnya selalu berdering tak kenal waktu. Humey tahu kakaknya pasti sangat kelelahan dengan aktivitasnya yang sangat padat.
Seperti saat ini dia tertidur masih dengan hijab lengkap dengan tangan memegang berkas dan macbook yang masih menyala. Padahal beberapa menit lalu dia masih sibuk zoom meeting dengan Naira, Ayzel sudah tertidur padahal baru sebentar Humey tinggal mengambil minum untuk dia sendiri dan kakaknya.
“Drrrttt ... drrrttt,” Humey melihat lagi ponsel kakaknya bergetar. Kali ini adalah panggilan VC grup dari nomor yang sama. Karena kesal akhirnya dia mengangkat VC yang tertuliskan pak Kim dan Alvaro.
“Ze ... akhirnya,” belum sempat Alvaro melanjutkan ucapannya. Dia terkejut saat melihat wajah yang melakukan voice call dengannya bukan Ayzel, pak Kim tidak ikut VC dia hanya melakukan panggilan grup untuk Alvaro. Sementara dia menjauhkan diri dari ponselnya.
“Kamu siapa? Kenapa kamu yang mengangkat ponselnya Ze?”
“Justru anda yang siapa? Melakukan panggilan di jam-jam malam,” Humey belum pernah melihat wajah Alvaro sebelumnya. Meskipun kakaknya bercerita tentang dia, Humey tidak tahu jika dia Alvaro karena yang melakukan panggilan VC adalah pak Kim.
“Saya Alvaro atasan Ayzel. Ada hal yang mendesak harus saya bicarakan dengannya sekarang,” Alvaro berharap dengan dia berkata seperti itu akan membuat Humey menyerahkan ponsel pada Ayzel.
“Ooo ... pak Alvaro, saya Humey sepupu kak Ze. Tapi dia sedang tidak bisa menerima panggilan dari anda,” ucap Humey santai.
Sepertinya Ayzel benar-benar kelelahan, lihat saja dia bahkan tidak terusik dengan suara vidio call Humey dengan Alvaro.
“Saya minta tolong Humey,” Alvaro memintanya untuk memberikan ponselnya pada Ayzel.
“Ih ... dibilangin kakak gak bisa nerima panggilan vidio call bapak, ngeyel” kesal Humey yang akhirnya membuat mode kamera belakang dan menunjukkan Ayzel yang tertidur meringkuk sambil memegang berkas.
“Menggemaskan,” Humey langsung mematikan panggilan Alvaro setelah mendengar pria itu berkata sesuatu.
“Ya ampun sorry kak, untung kamu pake jilbab. Besok aku minta maaf deh,” kesal Humey pada dirinya sendiri. Dia akhirnya juga ikut tidur di sebelah kakaknya setelah lebih dulu menyelimuti Ayzel.
Sementara Alvaro merasa kesal juga karena tiba-tiba Humey mematikan panggilan voice callnya. Alvaro sempat mengambil screen shot Ayzel yang tertidur tanpa Humey tahu, Alvaro senyum-senyum melihat foto Ayzel yang meringkuk tertidur.
“Bagaimana?” tanya pak Kim pada Alvaro yang mendapati vidio callnya sudah berhenti.
“Sepupunya yang mengangkat. Ze sudah tidur,” kesal Alvaro menjawab pertanyaan asisten utamanya itu.
“Sudah kubilang cepat kembali ke sini. Tahu rasa nanti kalau dia sudah gak mau jadi asistenmu lagi,” goda pak Kim pada Alvaro.
“Sebentar. Masih ada yang harus aku selesaikan,” ucap Alvaro dan mereka mengakhir panggilan telepon.
Keesokan harinya Humey bilang pada Ayzel, semalam Alvaro melakukan panggilan grup menggunakan nomor pak Kim. Humey minta maaf karena mengangkatnya, dia juga minta maaf pada kakaknya karena menunjukkan dirinya yang sedang terlelap tidur pada Alvaro.
“Sorry kak,” Humey mengatakan pada Ayzel dengan pupy eyes.
“Sudah terlajur juga kan? Lain kali jangan diulangi,” Ayzel tidak mungkin marah kalau itu adalah Humey.
“Hari ini ke kantor?” tanya Humey.
“Aku ambil cuti dua hari. Aku dan Naira hari ini harus ke pusat konseling Istanbul,” hari ini dan besok memang rencananya mereka akan full di pusat konseling.
“Ok ... kita ketemu di restoran biasanya saja,” sudah hampir sebulan tapi Humey tidak bosan tiap hari datang ke restoran dukkan galata.
“Ingat jaga diri Humey,” kali ini Ayzel tidak ingin membahas lebih jauh soale Humey yang harus segera pulang. Dia tidak ingin merusak suasana pagi sepupunya.
...***
...
Dua minggu sudah Ayzel bolak balik dari Jaziero tech ke pusat konseling, jarak dari kantor Alvaro menuju pusat konseling 4-6 kilometer. Jika tidak mendesak dia akan naik bus dengan waktu tempuh 15-30 menit, jika mendesak dia biasanya akan naik taksi untuk mempersingkat waktu 10-15 menit. Dia akan mulai sesi konsultasi dari jam satu siang sampai jam 6 sore, setelahnya dia akan menyempatkan untuk berdiskusi dengan pengawasnya yang berlisensi mengenai kasus yang dia tangani.
“Humey aku berangkat dulu. Sarapan sudah ada di meja,” Ayzel pamit pada Humey yang masih terlelap. Cuaca pagi hari di musim gugur memang nyaman untuk bermalas-malasan, tapi tidak berlaku untuk Ayzel.
“Eumm ...,” seperti biasa Humey hanya akan meregangkan badannya dan kembali tidur. Ayzel hanya menggelengkan kepalanya.
Hari ini jadwal Ayzel sangat padat, divisi dua akan ada meeting siang nanti jam satu. Jadi dia berangkat lebih pagi dari biasanya agar dapat menyelesaikan tanggung jawabnya. Setidaknya sebelum jam dua belas dia sudah harus selesai, untuk langsung pergi ke pusat konseling.
“Ayzel tolong lihat ulang konsep yang ini,” pinta salah satu tim divisi dua.
“Baik. Kak,” berusaha dengan teliti membaca dan melihat ulang rancangan yang akan di presentasikan dalam meeting nanti.
“Ay, tolong ini bagaimana?” Shahnaz masih sedikit bingung dengan konsep care clinic.
“Tolong kasih ini dulu ke dia, setelah itu kamu duduk situ. Aku jelasin,” Ayzel meminta Shahnaz menyerahkan konsep yang sudah dia cek ulang pada Ray.
Shahnaz sudah duduk di tempat yang Ayzel maksud, Ayzel mulai menjelaskan secara singkat agar lebih mudah untuk di pahami Shahnaz.
“Sudah mengerti?” tanya Ayzel pada rekannya tersebut.
“Hemm ... penjelasanmu lebih mudah di pahami. Eh Ay, sepertinya hari ini pak Alvaro ikut meeting” Shahnaz memberitahu Ayzel, megingat selama beberapa waktu ini atasan mereka itu selalu mencari Ayzel.
“Bagus dong. Konsep kalian sudah jauh lebih matang dari meeting bulan lalu, pak Alvaro pasti setuju” ucapan Shahnaz tak membuat Ayzel goyah dan tetap fokus.
“Lah ... tanggapanmu biasa saja? Kamu kan asistennya Ay?” Shahnaz berusaha mengulik tentang gosip anatara Alvaro dan Ayzel satu bulan lalu, sebelum atasan mereka kembali ke korea.
“Itu satu bulan lalu kan? Kalau sekarang tidak tahu masih asisten atau bukan. Lagi pula aku di minta kembali ke divisi kalian,” Ayzel bangkit dari duduknya meninggalkan Shahnaz.
“Mau kemana?” Shahnaz yang bingung di tinggal Ayzel.
“Ketemu bu Athaya. Lagian kamu sudahlebih paham tentang konsepnya, kan?” ayzel terus berjalan ke luar ruangan sampai dia menghilang dari pandangan Shahnaz.
Ayzel tahu Shahnaz ingin mencari tahu tentang gosip dirinya yang satu bulan lalu berangkat selalu satu mobil dengan Alvaro. Juga tentang dia yang tiba-tiba mendapatkan fasilitas mobil, padahal Ayzel hanya karyawan magang. Untungnya dia sudah tidak menggunakan mobil tersebut, sampai saat ini mungkin mobil Alvaro masih di parkiran gedung perusahaan.
“Tok ... tok,” Ayzel mengetk pintu ruangan Athaya.
“Masuk,” Athaya mempersilahkan masuk.
“Pagi bu Athaya,” Ayzel disambut dengan senyum manis Athaya.
“Pagi-pagi sudah kemari? Bukan karena pak Alvaro yang akan datang hari ini, kan?” ujar Athaya, padahal Ayzel saja tidak tahu kalau hari ini Alvaro kembali ke Istanbul.
“Tentu saja bukan. Saya bahkan tidak tahu kalau pak Alvaro datang hari ini,” tentu saja Ayzel tidak tahu. Sampai sekarang dia masih meblokir nomor Alvaro, tak ada alasan juga kenapa dia harus tahu.
“Baiklah ada apa?”Athaya mulai serius saat melihat sebuah map yang di bawa Ayzel.
“Sebelumnya mohon maaf dan terimakasih bu Athaya. Sepertinya bulan ini adalah terakhir saya magang di sini,” Ayzel menyerahkan map pada Athaya yang berisi pengunduran diri sebagai karyawan magang.
“Hah. Kenapa Ay? Ada yang membuatmu tidak nyaman atau bagaimana?” Athaya tentu terkejut dengan keputusan Ayzel, terlebih dia sangat menyukai Ayzel.
“Semua yang saya dapat di sini lebih dari menyenangkan bu. Saya akan fokus pada praktik klinis untuk segera mendapat lisensi,” jelas Ayzel pada Athaya.
“Kapan kamu akan pergi Ay?”
“Paling lambat satu bulan dari sekarang. Paling cepat dua minggu lagi,” Ayzel juga sebenarnya berat. Tapi bisa jadi itu yang terbaik untuknya, atau mungkin juga untuk atasannya.
“Saya akan bicarakan dengan manajemen dulu. Terutama dengan pak Alvaro dan pak Kim," Athaya berat melepaskan salah satu karyawan ke sayangannya itu.
“Terimakasih bu Athaya cantik. Saya permisi kembali ke ruangan,” Ayzel merasa lebih lega setelah menyerahan map tersebut.
“Hari ini kamu ikut meeting?” tanya Athaya sebelum Ayzel keluar dari ruangannya.
“Sepertinya tidak. Saya harus ke pusat konseling, ada janji dengan klien” jawab Ayzel.
“Baiklah,” Athaya mempersilahkan Ayzel pergi.
Ayzel terlalu fokus pada pekerjaannya, dia bahkan lupa melihat jam. Sampai salah satu rekannya mengingatkan.
“Ayzel, sudah jam sebelas. Kamu bukannya harus pergi,” Ray mengingatkan Ayzel.
“Hah? Jam sebelas,” dia langsung melihat jam. Dengan buru-buru dia merapikan merapikan meja kerjanya.
Ayzel segera memasukkan barang-barangnya, dia langsung memesan taksi dari aplikasi ponselnya. Dia pergi meninggalkan ruang kerja setelah berpamitan dengan rekan-rekannya yang mulai sibuk menyiapkan bahan meeting nanti.
“Bisa-bisanya aku lupa waktu,” Ayzel menekan tombol lift turun sambil bergumam. Dia masuk lift dan turun menuju loby perusahaan.
Taksinya juga sudah menunggu, begitu pintu lift terbuka dia bergegas keluar dari lift sambil menelpon Naira.
“Hallo Nai. Bisa minta tolong temui klienku dulu? Aku masih dalam perjalanan,” Ayzel sedikit berlari. Bahkan karena tergesa-gesa dia tidak memperhatikan sekeliling.
“Bruukk ... prannkk,” Ayzel yang sibuk menelpon tiba-tiba menabrak seseorang sampai jatuh dan dia sendiri terhuyung sampai menabrak papan yang ada di loby.
“Sshhh ah ... maaf pak,” Ayzel minta maaf karena sudah membuat pria tersebut jatuh.
Ayzel tahu pria yang di tabraknya adalah Alvaro, dia benar-benar tidak sengaja karena terlalu fokus menelpon Naira. Alvaro kemudian berdiri menghampiri Ayzel yang terlihat mencari ipadnya.
“Ah sudahlah,” ucap Ayzel yang mendapati screen layar ipadnya sudah retak. Alvaro sudah berdiri tepat di hadapannya saat Ayzel berbalik dari tempat dia mengambil ipadnya.
“Bapak tidak apa-apa, kan? Sekali lagi saya mohon maaf pak,” Ayzel membungkukkan badannya pada Alvaro kemudian dia meuju taksi yang sudah menunggunya. Namun Alvaro mencekal tangannya.
“Ze ... bisa kita bicara?” Alvaro memegang tangan Ayzel dan melihat pergelangan tangannya mengeluarkan darah, mungkin terluka saat dia terhuyung menabra papan.
“Maaf pak, saya buru-buru.” Ayzel melepaskan tangan Alvaro yang mencekal tangannya, dia berlari menuju taksi tanpa memperdulikan Alvaro yang masih berdiri di sana.
Alvaro tertegun melihat sikap Ayzel padanya setelah kurang lebih satu bulan tidak bertemu, entah sikap apa yang Alvaro rasakan. Lebih jelasnya Ayzel tidak seramah dulu ketika berjumpa dengan Alvaro.
“Ternyata diabaikan secara langsung lebih sakit dari pada di blokir,” batin Alvaro.
“Ayzel urusan nanti. Sekarang kamu harus fokus dulu meeting,” pak Kim menepuk pundak Alvaro.
Ayzel tidak bermaksud mengabaikan Alvaro, tapi memang dia sangat buru-buru. Ada klien yang sangat butuh dia saat ini, Ayzel tidak berhak marah atas apapun terkait Alvaro. Dia hanya sedikit kecewa karena merasa di permainkan saja saat itu, tentang pekerjaanya. Maupun tentang permintaan Alvaro padanya untuk menikah, namun di tinggal pergi setelahnya.