para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Desa yang Terkutuk
_
Kabut yang menutupi desa menjadi semakin pekat, membuat pagi itu tak ubahnya malam kelam. Beberapa penduduk yang tersisa, yang bersembunyi di dalam rumah mereka, mulai mendengar suara ketukan di pintu. Awalnya perlahan, kemudian berubah menjadi hentakan keras yang mengguncang dinding. Ketika salah satu dari mereka, seorang pria tua bernama Pak Karno, memberanikan diri mengintip melalui celah jendela, ia membeku. Di depan pintu berdiri sosok seorang gadis kecil—Sari—dengan mata hitam pekat dan senyuman yang terlalu lebar untuk wajah mungilnya.
Sari mengangkat tangannya yang kurus, mengetuk pintu lagi dengan suara pelan namun menakutkan. “Buka, Pak Karno. Aku kedinginan…” Suaranya terdengar manis, tetapi menggema seperti berasal dari jurang yang dalam. Pak Karno memundurkan diri, tubuhnya gemetar, dan saat ia mengedipkan mata, gadis kecil itu sudah berada di dalam rumahnya. Akar-akar hitam muncul dari bawah kakinya, menjalar cepat dan melilit tubuhnya. Jeritan Pak Karno terdengar nyaring sebelum tiba-tiba berhenti, meninggalkan kesunyian yang mengerikan.
Sementara itu, di tepi desa, pohon raksasa itu terus tumbuh. Dari dahan-dahannya, wajah-wajah mulai terbentuk—wajah-wajah penduduk desa yang hilang. Mata mereka kosong, tetapi mulut mereka terus bergerak, mengeluarkan suara bisikan tanpa henti. Mereka memanggil siapa saja yang masih hidup untuk mendekat. Di antara mereka, sebuah wajah baru muncul: wajah Arga. Ia kini menjadi bagian dari pohon itu, matanya hitam, tetapi bibirnya bergetar seolah mencoba memperingatkan. Namun suaranya terseret oleh ribuan bisikan lain, menyatu dengan kegelapan yang terus menyebar tanpa ampun.
Jerat Kegelapan
Penduduk desa yang tersisa mulai kehilangan akal sehat mereka. Ketakutan yang mencekam perlahan berubah menjadi putus asa. Dalam keputusasaan itu, beberapa pria muda memberanikan diri untuk melawan. Dengan membawa kapak, parang, dan obor, mereka menyelinap menuju pusat hutan, ke arah pohon raksasa yang menjadi sumber kegelapan. Mereka berjalan perlahan melalui kabut yang pekat, berusaha mengatasi rasa takut yang mencekik dada.
Namun, saat mereka mendekat, langkah mereka terhenti. Akar-akar hitam di tanah mulai bergerak, melingkar seperti ular yang sedang mengintai mangsa. Bayu, salah satu dari mereka, mengangkat obornya dengan tangan gemetar dan mencoba membakar akar itu. Api menyala sebentar, tetapi bukannya menghancurkan, akar tersebut malah bergerak cepat, melilit tubuhnya dengan kekuatan mematikan. Jeritan Bayu menggema seiring tubuhnya diangkat ke udara. Dalam hitungan detik, tubuhnya mengering, menjadi seperti kulit kayu yang rapuh, sebelum jatuh ke tanah dan menyatu dengan akar yang menjalar.
Pria-pria lainnya berlari panik, namun mereka tidak pernah berhasil keluar dari hutan. Akar-akar itu menyeret mereka satu per satu, meninggalkan jeritan yang memudar dalam kegelapan. Ketika pagi tiba, wajah-wajah mereka muncul di batang pohon raksasa itu—matanya kosong, dan mulutnya terbuka seolah ingin memohon, tetapi tak ada suara yang keluar.
Malam Tanpa Akhir
Kabut yang melingkupi desa kini semakin tebal, seolah-olah hutan telah menelan semuanya. Orang-orang yang bertahan mendengar bisikan-bisikan di kepala mereka, suara lembut yang memanggil nama mereka satu per satu. Bisikan itu menjanjikan kedamaian, tetapi ada nada ancaman yang tidak bisa disangkal. Mereka yang tidak kuat melawan panggilan itu berjalan keluar dari rumah-rumah mereka, menuju kabut, wajah mereka kosong seperti sedang dalam mimpi. Namun, tak seorang pun dari mereka kembali.
Di tengah malam yang mencekam, suara tawa lirih terdengar. Awalnya lembut seperti angin, tetapi perlahan berubah menjadi tawa keras yang menggema ke seluruh penjuru desa. Tawa itu terdengar seperti milik banyak makhluk, bersatu dalam satu irama yang mengerikan. Pohon raksasa itu semakin menjulang tinggi, cabang-cabangnya memanjang ke arah desa, mencengkeram bangunan-bangunan yang tersisa. Dari kejauhan, desa tampak seperti bagian dari hutan yang telah menjadi satu dengan kegelapan.
***
Ketika fajar akhirnya tiba, desa itu sudah tidak lagi sama. Kabut mulai memudar, tetapi yang tersisa hanyalah kehampaan. Rumah-rumah kosong, jalanan sunyi, dan tak ada tanda kehidupan. Di tengah hutan, pohon raksasa itu berdiri angkuh, batangnya penuh dengan wajah-wajah yang dahulu adalah penduduk desa. Mata mereka kosong, bibir mereka bergerak, tetapi tidak ada suara yang terdengar.
Di salah satu cabangnya, wajah Arga terlihat samar. Matanya hitam pekat, tetapi ada ekspresi sedih yang tidak bisa disembunyikan. Bibirnya bergetar, seolah mencoba menyampaikan pesan terakhir, namun kegelapan telah menelannya sepenuhnya. Hutan Giripati kini menjadi tempat di mana tidak ada cahaya yang bisa bertahan, sebuah kerajaan bagi kegelapan yang abadi.
__