Halwa mencintai Cakar Buana, seorang duda sekaligus prajurit TNI_AD yang ditinggal mati oleh istrinya. Cakar sangat terpukul dan sedih saat kehilangan sang istri.
Halwa berusaha mengejar Cakar Buana, dengan menitip salam lewat ibu maupun adiknya. Cakar muak dengan sikap cari perhatian Halwa, yang dianggapnya mengejar-ngejar dirinya.
Cakar yang masih mencintai almarhumah sang istri yang sama-sama anggota TNI, tidak pernah menganggap Halwa, Halwa tetap dianggapnya perempuan caper dan terlalu percaya diri.
Dua tahun berlalu, rasanya Halwa menyerah. Dia lelah mengejar cinta dan hati sang suami yang dingin. Ketika Halwa tidak lagi memberi perhatian untuknya, Cakar merasa ada yang berbeda.
Apakah yang beda itu?
Yuk kepoin cerita ini hanya di Noveltoon/ Mangatoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Acara Persit
Acara pertemuan ibu-ibu Persit kali ini membahas pembentukan kepengurusan ketua Persit dan jajarannya yang baru, serta menjadwalkan kegiatan yang akan dilakukan ke depannya setelah kepengurusannya terbentuk.
Halwa, Rani, maupun Diva, tidak berniat untuk berkecimpung secara aktif di dalam organisasi kepengurusan Persit. Mereka lebih memilih jadi anggota saja tanpa embel-embel sebagai pengurus yang menjabat. Mereka tinggal mengikuti saja kegiatan yang ada jika Persit memang mengadakan acara suatu kali.
Setelah kepengurusan Persit ditunjuk dan terbentuk susunannya, Ibu ketua Persit untuk beberapa saat berbicara di hadapan hadirin, menyampaikan beberapa patah kata sebagai kata sambutan kepada seluruh anggota Persit.
Ibu ketua Persit juga menyampaikan beberapa poin kewajiban penting sebagai ibu Persit kepada seluruh anggotanya, termasuk menjaga marwah atau kehormatan suaminya sebagai seorang abdi negara di dalam maupun di luar lingkungan kesatuan.
Setelah Ibu Ketua Persit yang baru menyampaikan beberapa poin penting dalam kewajiban seorang istri Persit, beliau mengakhiri pidatonya.
Hanya menghadiri dan mengikuti jalannya acara pembentukan kepengurusan Persit yang hanya berlangsung kurang lebih dua jam saja, rasa haus sudah mendera kerongkongan. Untung saja Halwa sengaja membawa bekal minum dengan wadah minuman dari rumah.
Padahal setelah acara Persit selesai, para anggota Persit saling diestafetkan mendapatkan snek atau kotak makanan. Di dalamnya ada beberapa makanan ringan yang cukup mengganjal perut dikala lapar.
"Aduh, aku lapar banget nih. Apakah setelah ini ada acara lain atau langsung boleh pulang?" keluh Rani masih terlihat lapar, sembari melirik Halwa dan Diva.
"Kamu sih, kalau lagi hamil muda begini harusnya tadi sarapan dulu," omel Diva menyalahkan. Halwa tersentak mendengar ucapan Diva pada Rani barusan. Dia kaget sekaligus senang, sebab sohib satunya ini ternyata sudah isi, mendahului Halwa yang bahkan sebulan lebih dulu menikahnya dari Rani.
"Wah, kamu sudah isi, Ran? Selamat ya, aku ikut senang," seloroh Halwa sembari meraba perut Rani dengan senyum di wajahnya.
"Iya, Hal, Alhamdulillah. Dan sekarang baru mau jalan dua bulan." Rani menjawab sembari meringis lapar.
"Nah, bolu kukus aku belum aku makan dan pegang sama sekali. Kalau kamu masih lapar, bolunya buat kamu," ajar Halwa menawarkan bolu kukusnya yang belum sempat dia makan di dalam kotak makanan yang dibagikan tadi.
"Tidak. Aku mau hubungi suamiku saja untuk segera mengantar aku pulang. Aku kalau lapar begini, takutnya mual-mual," tolak Rani melambaikan tangan.
"Ya sudah nggak apa-apa, bolu ini tetap buat kamu. Aku masih kenyang, sebab tadi aku sarapan dulu di rumah," ujar Halwa seraya memberikan kotak makanan yang di dalamnya ada bolu kukus untuk Rani. Setelahnya, Halwa menyugar poninya yang sedikit berantakan, kemudian merapikannya kembali menutupi penuh permukaan jidatnya.
Saat bersamaan, Rani dan Diva melihat dengan jelas ke arah jidat Halwa yang lebam. Mereka sama-sama tersentak.
"Ih Halwa, jidat kamu kenapa, kok lebam? Kamu tidak habis di pelanting ...."
"Suttt, jangan keras-keras ngomongnya, kamu ini ember banget. Gimana kalau didengar orang lain selain kita, bisa berabe," potong Rani dengan ucapan Diva yang nyeplos begitu saja.
"Apaan kalian berdua ini, emangnya jidat aku kenapa? Lebam? Lebam ini disebabkan karena kemarin aku tersungkur saat bangun tidur, tepat di jidat ini. Malah kemarin sempat bulat sebesar telor puyuh," sergah Halwa menjelaskan.
"Oh ya, kok bisa? Kita pikir KDRT," ucap Diva akhirnya.
"Cerita, kenapa jidat kamu bisa tersungkur? Emangnya bangun tidur kamu ngapain dulu?" Rani kepo.
"Aku belum terkumpul nyawa sepenuhnya saat bangun. Ketika mau bangkit, kaki aku justru nyangkut di selimut, dan jatuh deh," jelas Halwa seadanya. Rani dan Diva manggut-manggut menahan tawa.
"Lalu kapan kamu nyusul aku, Halwa? Secara kamu duluan yang menikah dibanding aku, ini sudah usia ke tujuh pernikahan kamu, kan?" singgung Rani.
"Menyusul apaan?" Halwa tidak paham.
"Hamil."
"Aku se di kasihnya saja sama Allah. Doakan saja aku cepat nyusul kamu," sahut Halwa. Padahal selama ini dia minum pil KB sesuai permintaan Cakar.
Tepat setelah Halwa memberi jawaban seperti itu pada Rani dan Diva, tiba-tiba Cakar datang menyapa Rani dan Diva ramah, seraya memberikan kotak makanan yang sama di paha Halwa.
"Mas Cakar." Rani dan Diva membalas sapaan dan senyum Cakar. Mereka seperti biasanya bertegur sapa, karena pada dasarnya diantara mereka tidak pernah ada masalah. Namun tidak dengan Rani dan Diva, mereka terlihat canggung sejak Halwa menceritakan kemarahan Cakar saat tahu bahwa Halwa sering mengirim salam pada Cakar, padahal semua itu ulah Rani dan Diva.
"Halwa, tunggu aku di taman samping gedung Soemarmo. Acara Persitnya sudah kelar bukan?" suruh Cakar pada Halwa.
"Oh, ya, Mas," patuh Halwa mengangguk.
"Kalian berdua bagaimana, apakah suami kalian akan mengantar kalian pulang sekarang? Takut menunggunya lama, lebih baik menunggu saja bareng Halwa di taman samping gedung Soemarmo," anjur Cakar pada Rani dan Diva.
"Kalau aku sebentar lagi suamiku datang dan mau antar, kamu gimana Diva?" Rani melirik Diva.
"Ya sudah, sebaiknya kita pindah saja ke taman di samping gedung itu. Sambil jalan, Mas aku pasti keburu datang." Diva akhirnya setuju akan menunggu suaminya di taman yang disebutkan Cakar tadi, sebab gedung yang baru dipakai acara Persit tadi, akan langsung dipakai siswa Secata.
Cakar pun pergi setelah beberapa saat berbicara pada Rani dan Diva. Halwa, Rani, dan Diva bangkit juga dari gedung itu dan berjalan menuju lorong yang menghubungkan beberapa meter saja ke taman samping gedung Soemarmo. Mereka berjalan sambil ngobrol.
"Tahu tidak kalian, Mas Ardi hampir saja lupa membelikan aku seragam Persit kemarin. Kalau lupa sepertinya aku bakalan kalang kabut," cerita Diva.
"Sepertinya Masmu itu efek baru menikah, jadi dia kalang kabut dan lupa. Kalau aku, seminggu sebelum acara Persit, Mas Rian sudah sibuk bertanya, 'sayang, baju Persitnya ukuran apa?'" Rani ikut bercerita.
"Kalau kamu gimana Hal, pasti riweuh juga, kan?" tanya Rani, lupa kalau seragam Persit Halwa sejak di gedung pertama tadi, terpantau hanyalah seragam Persit bekas, terlihat dari jahitannya.
Diva menyenggol siku Rani pelan memberi kode, tapi Rani terlanjur bertanya, dan pura-pura tidak tahu kalau seragam Persit Halwa adalah bekas.
"Kalau aku, sehari sebelum acara Persit, Mas Cakar sibuk mencarikan seragam Persit. Untungnya Ibu mertuaku, masih menyimpan seragam bekas Persitnya, dan diberikannya untukku. Cuma sedikit longgar, lalu aku kecilkan saja bagian pinggangnya," jawab Halwa jujur tanpa rasa malu. Rani dan Diva saling tatap, jujur mereka iba sekaligus salut dengan sikap yang diperlihatkan Halwa.
"Sayang, ayo pulang. Kamu tidak mual-mual?" Tiba-tiba Rian suaminya Rani datang dan menjemput Rani untuk pulang. Sejenak Halwa tercenung, panggilan sayang yang diucapkan Rian untuk Rani, membuatnya sedikit iri.
"Halwa, aku duluan, ya. Diva, sepertinya kamu juga akan pulang sekarang, tuh Mas mu datang menyusul. Aku pulang duluan, ya, Hal," pamit Rani sembari mencium pipi kanan sohibnya dan melambai.
"Hati-hati Rani dan Mas Rian." Halwa melambaikan tangan saat Rani pergi. Tidak lama dari itu, Ardi datang dan menjemput Diva untuk pulang.
"Hal, aku dan Mas Ardi pulang duluan, ya. Kamu tunggu saja Masmu, sepertinya sebentar lagi pulang." Giliran Diva dan Ardi berpamitan. Halwa mengangguk dan melambai serta menatap kepergian Diva dan sahabatnya.
Kini tinggal Halwa yang menunggu di taman itu, berharap Cakar segera datang.
"Hai, boleh saya duduk di sini?" sapa seseorang cukup mengejutkan Halwa.