Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fisika atau Filsafat?
Keesokan harinya, Joko bangun dengan kepala yang sedikit pusing. Biasanya, dia akan langsung tenggelam dalam buku filsafatnya, mencari jawaban dari pertanyaan yang selalu mengganggunya. Namun, sejak pertemuan dengan Vina kemarin, pikirannya terasa lebih kacau daripada biasa. Pembicaraan mereka tentang entanglement—baik fisik maupun emosional—terus berputar-putar di pikirannya.
Di kelas filsafat pagi itu, Joko duduk di pojok belakang, berusaha untuk fokus. Profesor sedang membahas tentang eksistensialisme, tentang bagaimana setiap individu mencari makna dalam hidup mereka. Joko mencatat dengan hati-hati, tapi matanya sesekali melirik ke arah Vina yang duduk di depan, seperti biasa dia nyempil.
Ternyata, meskipun fisika dan filsafat tampak sangat berbeda, mereka memiliki satu kesamaan—keduanya membahas tentang dunia yang tidak selalu bisa dipahami dengan logika.
Vina tiba-tiba menoleh ke belakang, dan mata mereka bertemu. Ada senyuman kecil di wajah Vina yang membuat jantung Joko berdebar. Tanpa sadar, Vina melambaikan tangan seolah mengajak Joko berbicara setelah kelas selesai. Joko merasa gugup, meskipun sudah terbiasa dengan perdebatan dengannya. Kali ini, rasanya berbeda.
Setelah kelas berakhir, Joko berjalan menuju meja Vina dengan langkah yang sedikit ragu.
"Jadi, lo udah ngerti soal fisika sekarang?" tanya Vina dengan senyum nakal, seolah sudah tahu kalau Joko tak sepenuhnya memahami teori quantum entanglement yang dibahas sebelumnya.
"Ngerti sih, tapi... agak pusing juga, Vin. Gue nggak yakin bisa ngajarin lo soal fisika, malah kayaknya gue yang perlu lebih banyak belajar lagi," jawab Joko, sedikit gugup.
Vina tertawa. “Jangan khawatir, Jok. Kita kan saling melengkapi. Gue ngajarin lo fisika, lo ngajarin gue filsafat. Lagian, bukannya filsafat itu juga tentang 'melengkapi diri'?”
Joko menatapnya bingung. “Maksud lo gimana?”
Vina mengangkat bahu. “Ya, menurut gue sih, filsafat itu kan soal mencari makna dari kehidupan dan dunia ini. Dan di fisika juga begitu, kita mencari keteraturan di balik alam semesta. Jadi, bisa dibilang kita berdua sedang mencari jawaban dari hal yang sama, cuma lewat cara yang beda.”
Joko merasa tertegun. Kalimat Vina itu membuka perspektif baru dalam pikirannya. Terkadang, dia merasa terlalu terjebak dalam dunia filsafatnya, mencari arti dan makna yang mungkin tak akan pernah ia temukan. Namun, Vina baru saja memberi jawaban yang sederhana—bahwa pencarian itu sendiri adalah bagian dari perjalanan yang tidak bisa dihindari.
“Jadi, lo pikir... kita semua ini cuma partikel-partikel yang saling terhubung?” tanya Joko, mencoba menggali lebih dalam.
Vina tersenyum. “Mungkin nggak. Tapi mungkin juga iya. Seperti yang lo bilang, ada banyak hal yang nggak bisa dijelaskan dengan logika. Begitu juga dengan perasaan kita. Kadang kita bisa merasa terhubung dengan seseorang tanpa tahu kenapa. Entanglement juga berlaku di hubungan manusia, kan?”
Joko merasa tersentuh. Entah kenapa, kata-kata Vina kali ini terasa lebih dalam dari biasanya. Ia menatap Vina, yang tampaknya begitu yakin dengan pemikirannya sendiri. “Lo bener, Vin. Kayaknya... kita semua memang terhubung lebih dari yang kita kira.”
Vina mengangguk pelan. “Iya, dan terkadang, kita cuma butuh waktu untuk menyadari itu.”
Joko terdiam sejenak, merasa bahwa percakapan kali ini lebih dari sekadar debat tentang fisika dan filsafat. Ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Sesuatu yang lebih sulit dijelaskan dengan kata-kata atau teori. Sesuatu yang menghubungkan mereka berdua.
Vina menatap Joko, lalu dengan ringan berkata, “Jadi, Jok, lo siap belajar lebih banyak soal fisika atau lo malah takut kalau itu bikin lo jadi lebih bingung?”
Joko tersenyum, meskipun dalam hatinya masih ada rasa ragu. “Gue sih siap, Vin. Tapi gue harap lo siap juga buat ngerti filsafat yang kadang absurd ini.”
Vina tertawa. “Asal jangan kebanyakan teori-teori yang bikin pusing, ya!”
Joko mengangguk sambil tertawa kecil. “Oke, deal. Tapi lo harus mulai mikir kalau di dunia ini, nggak ada jawaban pasti, cuma ada proses untuk mencari jawaban itu.”
Vina mengangkat alis. “Jadi, lo udah mulai mikir filosofis juga sekarang, Jok?”
Joko hanya mengangkat bahu, tapi di dalam hatinya, dia merasa bahwa pertemuan mereka kali ini lebih dari sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, dan mungkin, itu yang membuat perasaan ini semakin sulit untuk dihindari.