Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: "Hadiah yang Tak Diinginkan"
Hari itu, Leonel duduk di kamarnya yang sempit dengan dinding penuh poster musisi klasik yang telah lama menjadi pelarian emosinya. Bunyi langkah kaki yang berat terdengar dari ruang tamu, diiringi suara tawa Gento dan Julian. Mama baru saja pulang dari tour dunianya—sesuatu yang selalu ia lakukan tanpa menghiraukan apa yang terjadi di rumah. Leonel tahu apa yang akan terjadi selanjutnya; ada hadiah untuk Julian dan Gento, dan mungkin, sedikit yang tersisa untuknya. Tapi, ia tak peduli. Kado, tak lagi berarti apa-apa bagi Leonel.
"Leonel, turunlah! Mama bawa oleh-oleh!" teriak Gento dari bawah, suaranya terdengar penuh ejekan.
Leonel menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan rasa sesak yang tiba-tiba muncul di dadanya. Ia melangkah keluar kamar dan menuruni tangga dengan enggan, menyaksikan Julian dan Gento yang sudah memegang hadiah besar di tangan mereka. Julian tampak menerima jam tangan mahal, dan Gento dengan bangga memamerkan sepatu olahraga bermerek yang baru. Senyum di wajah mereka tak bisa disembunyikan, seolah memamerkan kelebihan mereka di depan Leonel.
"Lihat ini, Leon," kata Gento sambil melambai-lambaikan sepatu barunya di depan wajah Leonel. "Sepatu ini keren banget, kan? Mama tahu aja selera aku!"
Leonel hanya tersenyum kecil, berusaha terlihat senormal mungkin. Ia menunggu, tak berharap banyak.
"Dan ini untukmu, Leonel," kata Mama sambil menyerahkan sebuah kotak kecil. Wajahnya terlihat lelah, tapi senyumnya seolah berharap hadiah ini bisa menghibur putra bungsunya.
Leonel menerima kotak itu. Isinya sebuah gantungan kunci biasa, dengan hiasan kecil berbentuk biola. Harganya jelas tidak seberapa dibandingkan hadiah Julian dan Gento. Tapi Leonel tahu, tak ada gunanya memperlihatkan rasa kecewa. "Terima kasih, Ma," ucapnya dengan suara datar, sebelum berbalik untuk pergi ke kamarnya.
Namun langkahnya terhenti saat Mama tiba-tiba teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong, Leonel, bagaimana dengan biolamu? Kamu masih latihan, kan?"
Leonel merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Sebelum ia sempat menjawab, Gento sudah memotong dengan nada mengejek. "Ah, Mama, dia udah berhenti main biola. Nggak ada gunanya juga, kan? Lagipula, dia nggak pernah jago."
Kalimat itu membuat suasana berubah drastis. Mama menatap Leonel dengan tatapan marah yang tajam. "Apa? Kau berhenti? Kau benar-benar tak bisa diandalkan!" Tiba-tiba, ia berdiri dan menghampiri Leonel. Wajahnya memerah, dan dalam sekejap, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Leonel.
Leonel tersentak, tubuhnya bergetar. Ia tak pernah menyangka ibunya akan bereaksi seperti ini. Mama terus berteriak, kata-katanya tajam dan menyakitkan. "Apa gunanya aku menyekolahkanmu kalau kau bahkan tak bisa melakukan satu hal dengan benar? Dasar anak tak berguna! Kau hanya menyusahkan, Leonel!"
Di sudut ruangan, Kakek yang menyaksikan kejadian itu hanya tersenyum kecil, seolah puas melihat penderitaan Leonel. Gento menatap Leonel dengan seringai licik, menikmati setiap detik penghinaan ini. Hanya Julian yang tampak sedikit terganggu, tapi ia tetap diam, memilih tidak ikut campur.
Leonel menunduk, air matanya hampir tumpah, namun ia menahannya sekuat tenaga. Ia sudah terbiasa merasa hancur, tetapi kali ini terasa lebih sakit, karena datang dari ibunya—satu-satunya orang yang selama ini ia harap masih peduli padanya. Dengan suara lemah, Leonel hanya bisa berkata, "Maafkan aku, Ma..." sebelum berlari ke kamarnya, menutup pintu di belakangnya.
Di kamarnya, Leonel terduduk di lantai, memegang gantungan kunci kecil yang baru saja diberikan ibunya. Mata Leonel berair, tapi tak ada isak tangis yang keluar. Ia merasa kosong, seolah seluruh dunia telah memutuskan bahwa ia tidak berharga. Seluruh hidupnya, Leonel selalu berusaha untuk membuat orang di sekitarnya bahagia—baik itu Kakek, Gento, atau bahkan Mama. Tapi semua usahanya tampak sia-sia.
Kebencian yang dirasakannya terhadap dirinya sendiri semakin dalam. Pikirannya dipenuhi oleh kata-kata kasar yang dilemparkan padanya setiap hari. Dan sekarang, satu-satunya hal yang pernah memberinya kebahagiaan—biola—telah hilang darinya. Ia telah berhenti memainkannya karena setiap kali ia mencoba, suara Kakek dan ejekan Gento selalu terngiang di telinganya, membuatnya merasa tak mampu.
Saat malam tiba, Leonel terbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit yang gelap. Tak ada keinginan lagi untuk bertahan di rumah ini. Setiap sudutnya terasa seperti penjara, tempat di mana ia selalu dipandang rendah, diabaikan, dan direndahkan. Ia merasa dirinya seperti bayangan yang selalu dilupakan.
Sejak saat itu, Leonel sering keluar rumah setiap kali ia bisa. Ia berjalan menyusuri jalan-jalan sepi di kota, menjauh dari rumah yang membuatnya sesak. Langkah-langkahnya perlahan, tanpa tujuan yang jelas. Ia hanya ingin pergi jauh—jauh dari orang-orang yang selalu membuatnya merasa tak berharga. Di taman kecil di pinggiran kota, Leonel duduk di bangku favoritnya. Ia menatap langit yang mulai gelap, merasakan angin dingin yang berhembus pelan di wajahnya.
Setiap kali ia duduk di sana, ia berharap Morgan ada di sampingnya, seperti dulu. Morgan selalu tahu cara membuat Leonel merasa dihargai. Tapi sekarang, ia sendirian, dan rasa kesepian itu semakin menusuk. Di taman itu, Leonel sering memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Apa gunanya hidup jika setiap hari hanya dipenuhi dengan rasa sakit dan penolakan?
Namun di balik semua rasa sakit itu, Leonel masih menyimpan satu hal yang tak pernah hilang: kecintaan pada musik. Meskipun ia tak lagi memegang biolanya, ia masih merasakan setiap nada dan melodi di dalam dirinya. Setiap malam, sebelum tidur, ia memikirkan lagu-lagu yang dulu ia mainkan, membayangkan suara biola yang mengalun lembut.
Suatu hari, Leonel tahu, ia harus menemukan caranya sendiri untuk bertahan—dengan atau tanpa mereka yang terus menjatuhkannya.