Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arman Dan Sonya Menghabiskan Waktu Berdua
Arman dan Sonya Menghabiskan Waktu Berdua
Setelah pertemuan singkat mereka di kafe beberapa hari sebelumnya, Arman dan Sonya tetap berhubungan. Meskipun Arman berusaha untuk tidak terlalu sering menghubungi Sonya, percakapan-percakapan ringan melalui pesan atau telepon tak terhindarkan. Sonya terlihat seperti sosok yang menyenangkan dan bisa membuat Arman merasa lebih ringan, jauh dari tekanan pekerjaannya yang penuh tanggung jawab.
Suatu hari, saat Arman merasa sangat lelah setelah seharian bekerja, ia mendapat pesan dari Sonya. Ia menawarkan untuk mengajak Arman makan malam bersama di sebuah restoran yang terkenal di kota itu. Sonya menyebut bahwa ia tahu tempat yang sempurna untuk menikmati makanan enak dan suasana yang tenang. Setelah berpikir sejenak, Arman akhirnya setuju.
Pada malam itu, mereka bertemu di restoran yang dimaksud. Arman sudah tiba lebih dulu, dan ketika Sonya datang, ia langsung memancarkan aura yang santai dan ceria. Sonya mengenakan gaun hitam sederhana yang menonjolkan kecantikannya dengan cara yang elegan. Mata Arman sempat tertuju pada wajahnya yang tersenyum, seolah dunia di sekitarnya sejenak menghilang.
Mereka duduk di meja yang sudah disiapkan, dan segera disuguhi menu makanan yang menggugah selera. Arman merasa sedikit canggung pada awalnya, namun Sonya membuat suasana menjadi lebih santai. Mereka berbicara banyak tentang kehidupan, pekerjaan, dan mimpi-mimpi mereka masing-masing. Sonya bercerita tentang perjalanan kariernya yang penuh lika-liku, sementara Arman berbagi cerita tentang tantangan yang ia hadapi di proyek besar yang sedang ia kerjakan.
"Wah, sepertinya pekerjaanmu sangat menantang," kata Sonya sambil menyantap hidangan utama. "Tapi aku yakin kamu bisa menghadapinya. Dari apa yang kamu ceritakan, kamu sangat kompeten."
Arman tersenyum tipis. "Terima kasih, Sonya. Tapi kadang, rasanya seperti aku terlalu banyak memberi waktu untuk pekerjaan, dan sedikit kehilangan keseimbangan dengan kehidupan pribadi."
Sonya mengangguk, seolah bisa memahami apa yang Arman rasakan. "Itu memang sulit. Aku juga merasa begitu. Kadang kita terlalu tenggelam dalam pekerjaan sampai lupa bahwa kita juga butuh waktu untuk diri sendiri dan orang lain."
Mereka berbicara lebih lanjut tentang bagaimana keduanya berusaha mencari keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Arman mulai merasa bahwa Sonya benar-benar memahami dirinya, dan obrolan ringan itu membuatnya lebih nyaman. Waktu terasa berlalu begitu cepat, hingga tanpa terasa, mereka sudah selesai makan malam.
Sonya menawarkan untuk mengantar Arman kembali ke hotelnya, dan Arman, yang merasa sedikit lelah, setuju. Sepanjang perjalanan, mereka berbicara tentang hal-hal kecil dan berbagi tawa. Namun, ada ketegangan yang tak bisa diabaikan. Arman merasa sedikit terjebak antara kerinduannya kepada Maya dan kenyamanan yang ia rasakan bersama Sonya. Sesekali, ia menyadari bahwa ia terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Sonya, sesuatu yang tak seharusnya ia lakukan mengingat ia sudah memiliki keluarga.
Sesampainya di hotel, Sonya mengucapkan selamat malam dengan senyum yang ramah. "Terima kasih sudah menghabiskan waktu bersama aku, Arman. Aku senang bisa berbicara denganmu lebih banyak."
Arman tersenyum, meskipun hatinya terasa sedikit terbebani. "Terima kasih juga, Sonya. Aku senang bisa berkenalan lebih jauh denganmu."
Mereka berpisah dengan saling melambaikan tangan, namun Arman merasa sedikit bingung. Perasaan hangat yang ia rasakan bersama Sonya membuatnya semakin bertanya-tanya tentang hubungannya dengan Maya. Meskipun ia sangat mencintai Maya, kebersamaan dengan Sonya terasa berbeda—lebih bebas, lebih santai, dan tanpa beban.
Saat Arman masuk ke kamar hotel, ia duduk di tepi tempat tidur, menatap telepon genggamnya yang bergetar. Itu adalah pesan dari Maya, menanyakan apakah ia sudah makan dan bagaimana pekerjaannya berjalan.
Arman segera membalas, berusaha menunjukkan perhatian meskipun pikirannya tidak sepenuhnya ada pada pesan itu. "Aku sudah makan. Pekerjaan berjalan lancar. Kangen kamu, Mama."
Maya membalas dengan cepat, "Aku juga kangen. Semoga kamu bisa segera pulang, ya. Aku nggak sabar ketemu kamu."
Arman merasa sedikit terhenyak. Ia menatap layar ponselnya dan merasa berat. Ia tahu, apa yang terjadi dengan Sonya hanya sekadar kenalan, dan tak lebih dari itu. Tetapi, ia tak bisa menafikan bahwa perasaan yang muncul dalam dirinya—meskipun kecil—membuatnya merasa bersalah.
“Maya, maafkan aku,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku hanya butuh teman bicara, bukan lebih dari itu.”
Namun, perasaan itu tetap mengganggu hatinya. Arman tahu bahwa ia harus menjaga jarak dengan Sonya dan tetap berfokus pada keluarganya. Maya dan anak yang dikandungnya adalah prioritasnya. Tetapi kenangan tentang kebersamaannya dengan Sonya tetap terngiang di pikirannya, meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab.
Arman berbaring di tempat tidur, merenung tentang perasaannya yang semakin kompleks. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia akan segera kembali ke Maya, dan semua yang terjadi di luar kota ini adalah bagian dari kehidupan yang harus dijalani. Tapi, dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir.