Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teori tentang Kita
Hari berikutnya, Joko mendapati dirinya kembali duduk di kelas, tetapi kali ini pikirannya jauh dari materi kuliah yang sedang dibahas. Meski dosen sedang menjelaskan tentang etika Kantian, benaknya terperangkap dalam percakapan kemarin dengan Vina. Apakah benar hubungan mereka ini seperti entanglement? Sebuah hubungan yang tak dapat diprediksi, yang berjalan tanpa mereka benar-benar memahaminya?
Di belakang, Vina sudah menatapnya dengan senyum menggoda. Sepertinya dia tahu Joko sedang tidak fokus pada pelajaran.
“Joko!” bisik Vina sambil mengetuk meja, membuat Joko tersentak.
“Eh, iya, Vin. Ada apa?” Joko mengalihkan perhatian kembali ke depan dengan canggung.
Vina mengangguk ke arah papan tulis. “Lo nggak denger tadi? Dosen udah selesai jelasin tentang etika Kantian. Gue rasa lo udah masuk dalam ‘kategoris imperatif’ dari Kant, deh.”
Joko mendengus, mencoba tertawa kecil. “Gue nggak ngerti, Vin. Gue lebih pusing mikirin teori fisika yang lo kasih kemarin.” Dia menunduk, berusaha menenangkan dirinya.
Vina tidak terkejut dengan jawaban itu. “Gue tahu sih, lo pasti bingung. Tapi jangan khawatir, Joko, gini aja deh. Kalau fisika itu soal menjelaskan alam semesta, filsafat itu lebih soal menjelaskan kita sebagai manusia. Bukannya kita sama-sama bingung kenapa kita merasa terhubung, kan?”
Joko melirik Vina. Senyuman di wajahnya itu sedikit menenangkan, tetapi tetap ada rasa cemas yang menyelubungi dirinya. “Entanglement itu kan soal partikel yang saling terhubung meskipun jauh, Vin. Tapi perasaan itu... nggak bisa dijelaskan sama rumus.”
Vina melipat tangan, menatap Joko dengan penuh arti. “Kita juga nggak bisa dijelaskan dengan rumus, Joko. Kalau menurut gue, hubungan kita, perasaan kita, itu bukan soal logika. Itu soal... saling memahami dalam kehadiran dan ketidakhadiran. Kayak entanglement, lo nggak tahu kenapa tapi lo merasa terhubung.”
Joko menatap Vina lebih lama dari yang dia kira. Vina sedang serius. Ada sesuatu dalam cara dia berbicara yang membuat Joko merasa perasaan ini bukan hanya permainan teori atau debat ilmiah.
"Jadi menurut lo... hubungan kita ini juga kayak... entanglement?" tanya Joko perlahan, tidak yakin apakah dia siap untuk menerima pertanyaan itu.
Vina mengangguk dengan ringan. “Mungkin iya, Jok. Mungkin kita nggak harus selalu mengerti. Mungkin kadang kita harus ngerasain aja. Kita saling terhubung entah kenapa, bahkan mungkin lebih dalam dari sekadar fisika atau filsafat.”
Joko menghirup napas panjang, mencoba mencerna kata-kata Vina. “Tapi kalau gitu... berarti kita nggak bisa lari dari ini, ya?”
Vina tertawa pelan. “Kita juga nggak perlu lari, Joko. Terkadang kita cuma perlu memberi ruang untuk perasaan itu berkembang. Ya, kalau lo mau. Kalau gue sih, udah mulai terbuka.”
Joko merasa jantungnya berdebar lebih cepat. “Lo... serius, Vin?”
Vina tersenyum, lebih lembut daripada biasanya. “Iya, serius. Gue nggak tahu kalau lo juga mikirin ini, Jok. Gue cuma tahu, perasaan itu muncul dengan cara yang nggak selalu bisa kita kontrol. Tapi kayaknya... kita berdua ada di jalur yang sama.”
Joko tidak bisa menahan senyumannya, meskipun ada kegugupan yang berbaur. “Jadi, lo pikir kita udah sampai pada titik itu?”
Vina mengangguk, kali ini dengan keyakinan yang lebih jelas. “Mungkin belum sepenuhnya. Tapi kalau kita terus mencari jawaban tentang satu sama lain, kita bakal terus belajar. Dan kadang, dalam mencari itu, kita malah menemukan sesuatu yang lebih berharga.”
Joko terdiam, meresapi kata-kata Vina yang terasa jauh lebih dalam daripada yang ia kira. Mungkin mereka memang sedang mencari sesuatu yang lebih besar dari sekadar debat filsafat dan fisika. Mereka sedang mencari arti dari keberadaan mereka satu sama lain.
Dia menatap Vina dengan sedikit ragu, tetapi juga dengan rasa ingin tahu yang lebih besar dari sebelumnya. “Lo bener juga, Vin. Mungkin kita cuma perlu terus mencari... sambil menikmati perjalanan ini.”
Vina tersenyum lebar, dan Joko merasakan beban di dadanya sedikit berkurang. Mungkin perasaan ini tidak harus dipecahkan dengan logika atau rumus-rumus. Mungkin perasaan itu hanya perlu diterima, dirasakan, dan dibagikan.
Dan entah kenapa, Joko merasa bahwa pencarian mereka baru saja dimulai.