Reintara Narendra Pratama adalah CEO muda yang dikenal dingin dan penuh wibawa. Di usia 25 tahun, ia sudah membangun reputasi sebagai pria yang tajam dalam mengambil keputusan, namun sulit didekati secara emosional. Hidupnya yang teratur mulai berantakan ketika ia bertemu dengan Apria—seorang perempuan penuh obsesi yang percaya bahwa mereka ditakdirkan bersama.
Awalnya, Reintara mengira pertemuan mereka hanyalah kebetulan. Namun, semakin hari, Ria, sapaan akrab Apria, menunjukkan sisi posesif yang mengerikan. Mulai dari mengikuti setiap langkahnya, hingga menyusup ke dalam ruang-ruang pribadinya, Ria tidak mengenal batas dalam memperjuangkan apa yang ia anggap sebagai "cinta sejati."
Reintara, yang awalnya mencoba mengabaikan Ria, akhirnya menyadari bahwa sikap lembut tidak cukup untuk menghentikan obsesi perempuan itu. Dalam usaha untuk melindungi dirinya, ia justru memicu konflik yang lebih besar. Bagi Ria, cinta adalah perjuangan, dan ia tidak akan menyerah begitu saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 'yura^, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
awal pertemuan & ketertarikan berbahaya
Awal Pertemuan
Pertemuan pertama Reintara dan Apria terjadi di sebuah acara gala amal yang diadakan oleh salah satu mitra bisnis Reintara. Apria, yang saat itu menjadi salah satu tamu undangan, langsung tertarik pada aura dingin dan karisma Reintara yang tampak menonjol di antara kerumunan.
“Reintara Narendra Pratama, bukan?” sapa Ria dengan senyum percaya diri, mendekati pria itu saat ia sedang menikmati segelas anggur.
Reintara, yang jarang tertarik pada percakapan santai di acara seperti itu, hanya mengangguk kecil. “Ya. Ada yang bisa saya bantu?”
“Tidak. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat,” jawab Ria tanpa ragu.
Jawaban itu membuat Reintara sedikit mengernyit. Ia sudah terbiasa dengan banyak orang yang mencoba mendekatinya untuk kepentingan pribadi, tetapi ada sesuatu yang berbeda dari cara Ria berbicara. Terlalu berani, terlalu percaya diri.
“Kita sudah saling kenal, bukan? Jadi, tidak ada lagi yang perlu didekatkan,” balasnya dingin, berusaha memutus percakapan.
Namun, alih-alih mundur, Ria tersenyum semakin lebar. “Aku tidak mudah menyerah, Tuan Reintara. Aku percaya, kita akan sering bertemu lagi.”
Dan benar saja, sejak malam itu, kehadiran Ria mulai menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup Reintara. Namun, kehadiran itu bukanlah sesuatu yang diinginkannya.
Ketertarikan Berbahaya
Udara dingin pagi itu menusuk kulit, tapi tidak ada yang bisa mengusik suasana hati Ria. Senyum di bibirnya tak pernah pudar sejak ia bertemu dengan Reintara Narendra Pratama, seorang CEO muda yang selalu berhasil menarik perhatian siapa pun yang melihatnya.
Reintara, pria dengan usia 25 tahun dan karisma yang tak tertandingi, adalah pemilik perusahaan teknologi terbesar di kota. Dengan setelan hitam yang rapi dan sorot mata dingin, ia seakan tak tersentuh oleh siapa pun. Tapi bagi Ria, Reintara adalah dunianya.
“Rein, aku ingin kita makan siang bersama,” ucap Ria penuh percaya diri, berdiri di depan kantor pria itu tanpa peduli tatapan heran karyawan lainnya.
Reintara menghela napas pelan, memperbaiki dasinya. “Ria, aku sedang sibuk. Lagipula, kita bukan siapa-siapa.”
Namun, Ria tak menyerah. Bagi Ria, Reintara bukan hanya sekadar pria dingin dan tak terjangkau. Ia adalah miliknya. Sepenuhnya.
Dan apa pun yang terjadi, Ria bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun mendekati pria itu. Bahkan jika ia harus menghancurkan semua orang di sekitarnya.
“Ria, aku sedang sibuk. Lagipula, kita bukan siapa-siapa.” Reintara berbicara tanpa menoleh, tangannya sibuk membuka layar ponsel sambil berjalan masuk ke lift.
Namun, Ria segera melangkah mendekat, menghalangi pintu lift sebelum menutup. Sorot matanya penuh tekad. “Kita bukan siapa-siapa, Rein? Kamu benar-benar tega bilang itu setelah aku selalu ada untukmu?”
Reintara mendesah panjang, tatapan matanya dingin menusuk. “Ria, aku menghargai hubungan profesional kita. Tapi, aku tidak punya waktu untuk hal seperti ini. Aku harap kamu mengerti.”
“Tentu, aku mengerti,” jawab Ria dengan senyum kecil, tapi suara rendahnya sarat ancaman. “Tapi kamu harus tahu, Rein. Aku tidak menyerah semudah itu. Kamu butuh seseorang yang benar-benar peduli, dan aku satu-satunya orang itu.”
Reintara hanya memutar bola matanya sebelum menekan tombol tutup lift. Tapi Ria melangkah lebih dekat, membuat Reintara tak punya pilihan selain membiarkan pintu terbuka.
“Kalau kamu terus begini, aku bisa melaporkanmu atas gangguan,” ucap Reintara dengan nada dingin.
Ria tersenyum miring, mendekatkan wajahnya ke arah Reintara. “Lapor saja, Rein. Tapi kamu tahu aku punya banyak cara untuk tetap ada di dekatmu.”
Reintara mendengus kecil, membalikkan tubuhnya tanpa berkata apa-apa lagi. Ia tahu, berurusan dengan Ria adalah seperti bermain dengan api.
Beberapa jam kemudian, di ruang rapat
Reintara sedang memimpin pertemuan penting ketika pintu ruang rapat tiba-tiba terbuka. Semua kepala menoleh, dan di sanalah Ria berdiri dengan ekspresi percaya diri.
“Maaf mengganggu,” katanya sambil tersenyum manis, membuat semua orang di ruangan bingung.
“Ria, apa yang kamu lakukan di sini?” suara Reintara terdengar tajam.
Ria melangkah masuk seolah itu adalah hal yang wajar. “Aku hanya ingin memastikan kamu tidak lupa makan siang. Kamu tahu, bekerja terlalu keras itu buruk untuk kesehatan.”
“Keluar, Ria,” perintah Reintara. Wajahnya terlihat kesal, tapi ia menahan diri untuk tidak membuat keributan.
Ria mengabaikan perintah itu, malah menaruh sekotak makan siang di atas meja. “Aku tidak bisa membiarkanmu terus begini, Rein. Ingat, kamu butuh seseorang yang peduli.”
Semua orang di ruangan saling bertukar pandang, tak tahu harus bereaksi seperti apa.
Reintara berdiri, tangannya mengepal di samping tubuhnya. “Rapat selesai. Semua orang keluar.”
Begitu semua karyawan pergi, hanya tinggal mereka berdua di ruangan itu. Reintara menatap tajam ke arah Ria. “Apa maumu, Ria? Apa kamu tidak punya hal lain untuk dilakukan selain mengganggu hidupku?”
“Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja,” jawab Ria polos, tapi tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang lebih. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun melukaimu, Rein. Bahkan dirimu sendiri.”
Reintara tertawa pendek, tapi tidak ada humor di sana. “Lucu sekali, Ria. Kalau ini caramu menunjukkan perhatian, aku tidak membutuhkannya.”
“Tidak peduli kamu membutuhkannya atau tidak, aku tetap akan ada di sini,” ucap Ria dengan nada penuh keyakinan. “Kamu mungkin bisa mengusirku sekarang, tapi aku akan selalu kembali, Rein. Selalu.”
Reintara hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas berat. Ia tahu, Ria bukan tipe wanita yang bisa dihentikan dengan kata-kata.