Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tahun Baru
Begitu kita sampai di lantai dasar, gue lega akhirnya dia keluar lebih dulu, soalnya gue harus ambil napas cukup dalam. Karena gue enggak bernapas setidaknya selama enam puluh detik.
"Mau ke mana kalian bertiga?" tanya Kapten begitu kita semua keluar dari pintu lift.
"Balik ke Surabaya," jawab Amio.
"Mau tahun baruan pasti, ini. Kalau gitu bakal padat banget itu jadwal penerbangan," balas Kapten. "Kayaknya saya bakal di panggil maskapai buat gantiin Mas, Amio."
Kapten mengedipkan mata ke arah gue, dan gue balas dengan satu kedipan mata sebelum dia beralih perhatian ke Tama. "Kalau Mas Tama bagaimana? Pulang juga?"
Tama diam-diam menatap kapten dengan cara yang sama dengan saat dia menatap gue di lift. Ini bikin gue kecewa, karena di lift tadi, gue sempat punya harapan kalau Tama memperhatikan gue dengan tatapan itu karena dia merasakan ketertarikan yang sama seperti yang gue rasakan ke dia.
Tapi sekarang, melihat dia tatap-tatapan sama Kapten, gue hampir yakin kalau itu bukan berarti Tama tertarik sama seseorang cuma karena dia memperhatikannya tanpa malu-malu. Kayaknya Tama memang menatap semua orang dengan cara yang sama.
Lima detik yang sangat canggung berlalu, tanpa ada yang bicara. Mungkin Tama enggak suka dipanggil 'Mas'?
"Selamat Tahun Baru, Kapten," akhirnya Tama bicara, tanpa repot-repot jawab pertanyaan Kapten. Dia berbalik dan mulai jalan melewati lobi bareng Amio.
Gue menatap Kapten dan angkat bahu. "Doain, ya, Kapten" bisik gue pelan. "Kayaknya dia lagi bad-mood."
Kapten tersenyum. "Enggak," sahutnya, mundur selangkah ke arah kursinya. "Beberapa orang emang enggak suka ditanya-tanya aja." Dia jatuh ke kursinya. Dia kasih gue salam perpisahan, dan gue balas sebelum jalan ke arah pintu keluar.
Gue enggak bisa memastikan apakah Kapten membela tingkah laku cuek Tama karena dia suka sama Tama atau karena dia memang selalu bikin alasan buat semua orang.
"Kalau lo mau, gue aja yang nyetir," kata Tama ke Amio begitu kita semua sampai di mobil.
"Gue tahu lo belum tidur. Lo bisa nyetir pas balik besok."
Amio setuju, dan Tama buka pintu sisi pengemudi. Gue naik ke kursi belakang dan coba memilih di mana gue harus duduk.
Gue enggak tahu harus duduk di mana. Duduk tepat di belakang Tama, di tengah, atau di belakang Amio. Di mana pun gue duduk, gue bakal merasakan keberadaannya. Karena dia ada di mana-mana. Kepala gue isinya semua tentang Tama.
Begitulah tanda ketika seseorang mulai tertarik. Dia enggak ke mana-mana, terus tiba-tiba dia ada di mana-mana, entah lo mau terima atau enggak, tapi begitulah kenyataannya.
Gue jadi penasaran apakah gue ada di pikirannya, tapi pikiran itu enggak bertahan lama.
Gue bisa tahu kalau ada cowok yang tertarik sama gue, dan Tama jelas gue enggak tahu. Itu sebabnya gue harus cari cara buat berhenti penasaran tiap gue ada di dekatnya.
Hal terbodoh yang secara enggak sadar gue lakukan sekarang justru naksir sama seorang cowok, sementara gue hampir enggak punya waktu buat fokus ke pekerjaan sama kuliah gue.
Gue mengeluarkan buku dari tas dan mulai baca-baca. Tama menyalakan radio, dan Amio rebahan di kursinya dan taruh kakinya ke dashboard.
"Jangan bangunin gue sampai kita tiba di Surabaya," katanya, menarik topi ke atas matanya.
Gue melirik ke arah Tama, dan dia lagi pegang-pegang spion tengah. Dia melihat ke belakang buat memundurkan mobil, dan matanya sebentar-sebentar ketemu sama mata gue.
"Lo nyaman?" tanyanya. Dia langsung berbalik sebelum gue jawab dan menyalakan mesin, lalu menatap gue lagi di spion.
"Yaps," jawab gue.
Gue pastikan buat senyum setelah ngomong itu.
Gue enggak mau dia berpikir gue kesal karena dia ikut, tapi susah banget buat gue enggak kelihatan tertutup pas ada di dekatnya, karena gue berusaha buat enggak kelihatan kalau gue tertarik sama dia.
Dia melihat lurus ke depan, dan gue balik menatap buku gue.
Tiga puluh menit berlalu, guncangan mobil ditambah mata gue harus fokus buat baca buku bikin kepala gue sakit. Gue taruh buku di samping gue dan coba geser posisi duduk di kursi belakang. Gue sandarkan kepala dan naikkan kaki ke sela-sela antara Tama dan Amio.
Dia melirik gue dari spion, dan tatapannya terasa seperti tangan yang meraba setiap inci tubuh gue. Dia memperhatikan gue enggak lebih dari dua detik, lalu kembali fokus ke jalan.
Gue benci ini.
Gue enggak tahu apa yang ada di pikirannya. Dia enggak pernah senyum. Dia enggak pernah ketawa. Dia enggak pernah goda-godain gue. Wajahnya kelihatan kayak dia selalu pakai topeng yang menghalangi ekspresinya.
Gue selalu kelepek-kelepek sama cowok yang pendiam. Karena kebanyakan cowok sekarang terlalu banyak ngomong, dan rasanya menyiksa banget harus mendengarkan itu semua. Mendengarkan semua pikiran yang lewat di kepala mereka.
Tapi Tama bikin gue berharap dia bukan tipe yang pendiam. Gue ingin tahu semua yang ada di kepalanya. Terutama pikiran yang lagi ada di sana sekarang, tersembunyi di balik ekspresi tenangnya yang enggak berubah dari tadi.
Gue masih memperhatikannya di spion, berusaha buat mengerti dia. Pas dia melirik gue lagi, gue langsung lihat ke bawah, ke HP gue. Gue malu karena dia berhasil menangkap basah gue yang lagi memperhatikannya. Kaca spion itu kayak magnet, dan sialnya, mata gue otomatis balik melihat ke sana lagi. Begitu gue lihat ke spion lagi, dia juga.
Gue balik lihat ke bawah.
Sial.
Perjalanan ini bakal jadi perjalanan terpanjang dalam hidup gue.
Gue tahan tiga menit, terus gue lihat lagi.
Sial.
Dia juga.
Gue senyum-senyum, merasa lucu sama permainan yang lagi kita mainkan.
Dia juga senyum.
Dia.
Senyum.
Gue.
Juga.
Tama balik lihat ke jalan, tapi senyumannya masih ada selama beberapa detik. Gue tahu, karena gue enggak bisa berhenti memperhatikan senyum itu.
Gue ingin rekam senyum itu sebelum hilang lagi, tapi itu bakal aneh.
Dia menurunkan tangannya buat bersandar di persneling, tapi kaki gue menghalangi. Gue dorong tangan gue buat mengangkat kaki. "Maaf," kata gue, sambil mulai tarik kaki gue.
Tapi jari-jarinya melingkar di sekitar kaki telanjang gue, menghentikan gue. "Gak apa-apa," katanya.
Tangannya masih erat melingkar di pergelangan kaki gue.
Gue menatapnya.
Astaga, ibu jarinya baru saja bergerak. Dengan sengaja bergerak, mengelus sisi kaki gue. Paha gue menegang, napas gue tertahan di paru-paru, dan kaki gue jadi tegang, sialnya tangannya baru saja membelai kaki gue sebelum dia menariknya.
Gue harus menggigit bagian dalam pipi gue biar enggak senyum.
Gue rasa lo tertarik sama gue, Tama.
...***...
Begitu kita sampai di rumah orang tua gue, Bokap langsung bikin Amio sama Tama kerja rodi buat pasang lampu dekorasi.
Gue bawa barang-barang ke dalam rumah dan kasih kamar gue buat Amio sama Tama, karena cuma kamar itu yang ada dua tempat tidur. Gue ambil kamar lama Amio, lalu ke dapur buat bantu siapkan makan malam sama Nyokap.
Tahun baru di rumah gue selalu sederhana. Nyokap sama Bokap enggak suka harus pilih-pilih keluarga, dan Bokap jarang ada di rumah karena dia Pilot yang sibuk di musim liburan.
Nyokap memutuskan Tahun Baru buat keluarga dekat saja, jadi tiap Tahun Baru selalu cuma gue, Amio, Nyokap, dan Bokap, kalau Bokap ada di rumah.
Tahun lalu, malah cuma ada Nyokap sama gue, karena Bokap sama Amio lagi kerja.
Tahun ini, semuanya ada dan ketambahan Tama. Rasanya aneh banget dia ada di sini. Tapi Nyokap kelihatan senang ketemu dia, jadi gue rasa dia enggak terlalu keberatan.
Bokap suka sama semua orang, dan dia lebih dari senang karena ada orang yang bantu pasang lampu di pohon cemara, jadi gue tahu kehadiran Tama enggak bikin dia terganggu sama sekali.
Nyokap kasih gue panci berisi telur rebus. Gue mulai mengupas telur-telur itu buat dijadikan telur rica-rica, dan dia bersandar di atas meja dapur, menyokong dagunya di tangan. “Tama tuh cakep banget, ya?" kata Nyokap sambil angkat alisnya.
Biar gue jelaskan sedikit tentang Nyokap gue.
Dia sosok Ibu rumah tangga yang hebat. Benar-benar hebat. Tapi gue enggak pernah nyaman bahas cowok sama dia. Karena dulu waktu gue umur dua belas dan dapat haid pertama. Saking senangnya, dia telepon tiga orang temannya buat kasih tahu dan ceritakan apa yang sedang terjadi sama gue.
Jadi gue sudah belajar sejak awal kalau rahasia gue enggak pernah jadi rahasia begitu sampai di telinganya.
“Enggak, dia jelek,” kata gue, benar-benar bohong.
Gue bohong banget, soalnya dia memang cakep. Rambut hitam pendek dia digabung dengan mata cokelat gelap yang memikat, bahunya yang lebar, jambang yang ada di rahangnya yang tegap kalau dia sudah beberapa hari libur dari kerja, bau tubuhnya yang selalu wangi, kayak habis keluar dari kamar mandi dan belum kering.
Oh, Tuhan....
Terus gue ini siapa sekarang?
“Dia punya pacar?” tanya Nyokap gue.
Gue angkat bahu. “Tia enggak terlalu kenal dia, Ma.” Gue bawa panci ke wastafel dan menyalakan air buat kupas cangkang telur.
“Papa, jadi bulan apa dia pensiun?” tanya gue, coba ganti topik.
Nyokap senyum.
Senyuman yang penuh arti, dan gue benci banget itu. Kayaknya gue enggak perlu kasih tahu nyokap apa pun, soalnya dia pasti tahu semuanya. Pipi gue mulai merah, terus balik lagi ke telur-telur yang menyebalkan itu.