Mengisahkan hubungan percintaan antara Amira dengan pengusaha terkenal bernama Romeo
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mike Killah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amira diketahui hamil oleh keluarganya
Pada waktu malam, Amira dan keluarganya malam malam. Suasana di rumah Mak Sarah terasa tegang saat mereka berkumpul untuk makan malam. Amira duduk di meja, berusaha fokus pada makanan di hadapannya meskipun hatinya masih penuh duka.
"Amira, kamu masih kerja di Kuala Lumpur atau tidak?" tanya Mak Sarah dengan nada tajam, seolah ingin mengorek informasi lebih lanjut.
Amira menatap Mak Sarah dan menjawab dengan tegas, "Tak, Mak. Aku sudah dipecat."
"Amboi, kamu harus cari kerja! Di sini makan bukannya free," Mak Sarah menjawab tanpa ragu, suaranya terdengar pedas.
Winda, adik perempuan Mak Sarah, ikut menyampuk, "Betul tu, Amira! Kamu harus cari kerja, jangan buang waktu."
Melissa yang baru saja kembali dari dapur, membawa lauk ikan, menunjukkan wajah tidak senangnya kepada Mak Sarah dan Winda. Dia merasa tindakan mereka sangat tidak peka terhadap perasaan Amira. "Mak, Winda, jangan terlalu memaksa Amira. Kita semua baru kehilangan ayah. Biarkan dia berehat setidaknya satu minggu," tegas Melissa.
Mak Sarah merespon dengan nada defensif, "Salahkah mak suruh Amira kerja? Yang mati matilah. Kita yang masih hidup harus meneruskan hidup."
Amira, berusaha menjaga suasana, menyampuk dengan sopan, "Dahlah, Mak. Dahlah, Melissa. Tak perlu bertengkar. Kakak akan cari kerja esok, ya Melissa. Betul cakap Mak, hidup harus diteruskan."
"Ahh, itu Amira pun okay saja, kamu yang berlebihan, Melissa," Mak Sarah menjawab sambil mengalihkan pandangannya.
Melissa terdiam, merasa frustrasi tetapi juga tahu bahwa perdebatan lebih lanjut tidak akan membawa kebaikan. Dia mencoba mengingatkan dirinya untuk bersabar, terutama demi Amira.
Amira menatap wajah Kak Melissa dan kemudian menunduk. Dia merasakan tekanan dari semua arah. Dalam hati, dia berjanji untuk bergerak maju, meski jalan yang harus dilaluinya terasa berat.
Makan malam berlanjut dalam suasana hening, dengan pandangan masing-masing anggota keluarga yang penuh dengan pemikiran dan ketidakpastian. Amira tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan dan berusaha memperbaiki hidupnya, meskipun harus melawan banyak halangan, terutama dari dalam keluarganya sendiri.
..........
Melissa memanggil kedua anaknya, Aliya dan Benny, untuk mengemas barang-barang mereka. "Aliya, Benny, cepat kemas barang. Kita akan pindah ke Bandung besok," perintah Melissa.
Aliya dan Benny dengan semangat mulai mengemas pakaian mereka. Pintu kamar yang terbuka memberikan Daniel, abang Melissa, kesempatan untuk masuk dan bertanya, "Melissa, kamu semua nak ke mana?"
Melissa menjawab dengan tenang, "Itu suami aku, Roy. Dia suruh kami pindah ke Bandung esok."
Tetapi tidak lama kemudian, Mak Sarah tiba-tiba muncul di pintu kamar. "Hahh, kenapa kalian ke sana? Aneh nya! Sini apa kurang? Adakah mak buat masalah?" tanyanya dengan nada curiga.
Melissa merasa tertekan, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang. "Mak, tak ada buat salah apa pun. Roy yang mendadak suruh kami ke sana. Entah apa sebabnya," jawabnya.
Mak Sarah hanya terdiam, tidak bisa berkata apa-apa.
Dalam hati, dia mulai bermonolog, "Siapalah yang akan belikan makanan dan lauk kalau Roy tak ada di sini. Takkan aku keluarkan duit aku sendiri?"
Dia merasa cemas dan sedikit marah dengan keputusan mendadak itu. Dia khawatir tentang bagaimana hidup mereka akan berjalan tanpa Roy di rumah.
Di dalam kamar, Aliya dan Benny terus mengemas dengan ceria, tidak menyadari ketegangan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. Melissa menghela napas, merasa bingung dan khawatir tentang masa depan mereka. Dia berharap segalanya akan berjalan dengan baik di Bandung, tetapi perasaannya tetap tidak nyaman tentang apa yang mungkin terjadi.
........
Sebelum tidur, Melissa mengetuk pintu kamar Amira. "Amira, boleh aku masuk?" tanyanya lembut. Amira mengangguk, dan Melissa masuk, memeluk adiknya dengan hangat.
"Tak usah dipikirkan kata mak ya," ucap Melissa, berusaha memberikan semangat.
Amira membalas dengan suara pelan, "Aku dah terbiasa, Melissa. Aku okay saja."
Namun, dalam hati, dia teringat kembali masa kecilnya. Dia teringat bagaimana Mak Sarah selalu bersikap jahat padanya. Air mata mulai mengalir di pipi Amira. Dia tak pernah merasakan kasih sayang dari Mak Sarah, yang selalu lebih menyayangi anak-anaknya sendiri.
Hanya Melissa dan arwah ayahnya yang selalu ada untuknya. Kini, Melissa adalah satu-satunya tempat dia bergantung.
Melissa melihat Amira yang meneteskan air mata dan segera mencubitnya lembut. "Amira, jangan sedih. Besok aku dan anak anak aku akan pindah ke Bandung ya. Roy menyuruh kami ke sana. Kamu harus jaga diri, ya?"
Amira mengangguk. "Jangan risau, ya Melissa. Aku akan jaga diri di sini."
Amira kemudian mengingat sesuatu. "Selama ini, aku tak pernah tengok muka suami kakak. Kakak sudah berkahwin selama 16 tahun, tapi aku tak pernah lihat muka Roy."
Melissa tersenyum. "Oh ya, tunggu sebentar. Aku akan tunjukkan mukanya. Banyak fotonya di HP aku," kata Melissa sambil mencari di ponselnya. "Dia esok pun ke sini ambil kami."
Namun, saat Melissa bersiap untuk menunjukkan foto suaminya, Amira tiba-tiba merasa mual. Dia menutup mulutnya dan berlari ke kamar mandi, muntah sebelum sempat melihat wajah Roy.
Amira tidak tahu bahwa Roy, suami Melissa, adalah mantan pacarnya yang pernah memperkosanya di Kuala Lumpur dua bulan yang lalu. Perasaan campur aduk menyelimuti Amira, tetapi dia tidak menyadari betapa pentingnya untuk mengetahui siapa sebenarnya Roy.
Melissa merasa khawatir dan berlari mengikuti Amira. "Amira, kamu baik-baik saja?" tanyanya penuh perhatian, sambil menepuk punggungnya.
Amira hanya mengangguk, tetapi hatinya bergejolak. Dia merasa ada yang aneh, namun tidak bisa mengungkapkan perasaannya saat itu.
......
Di kamar mandi, Amira tiba-tiba merasa pusing dan mual. Dia mencoba menahannya, tapi tubuhnya lemas dan akhirnya dia pingsan. Melissa, yang mendengar suara Amira terjatuh, langsung berlari ke kamar mandi.
Melissa terkejut melihat Amira tergeletak di lantai. Dia langsung memanggil keluarga Amira. Mak Sarah, Daniel, dan Winda yang sedang asyik berdiskusi tentang tanah warisan peninggalan ayah Amira di ruang tamu, terkejut mendengar teriakan Melissa. Mereka langsung berlari ke kamar Amira.
Melissa meminta bantuan Daniel untuk mengangkat Amira. Mereka segera membawa Amira ke rumah sakit. Melissa mengajak Winda dan Mak Sarah, tetapi mereka menolak. Mak Winda beralasan bahwa dia tidak mau pergi ke rumah sakit karena takut tertular penyakit. Winda hanya pura-pura sakit kepala karena dia juga tidak ingin ikut.
Aliya dan Benny, anak-anak Melissa, terpaksa tinggal di rumah bersama Winda dan Mak Sarah. Hanya Daniel dan Melissa yang menemani Amira ke rumah sakit.
Di rumah sakit, dokter memeriksa Amira dan memberitahu Melissa dan Daniel bahwa Amira hamil. Daniel, yang sedang minum air kotak, langsung tersedak kaget mendengar berita itu. Melissa juga terkejut. Mereka tidak menyangka Amira hamil.
Melissa dan Daniel masuk ke kamar Amira dan bertanya bagaimana Amira bisa hamil. Daniel, dengan nada mengejek, bertanya, "Hoi, wanita murahan, bagaimana kamu bisa hamil? Siapa ayah dari anak ini?"
Melissa, dengan sedih, bertanya kepada Amira, "Siapa ayah dari anak ini, Amira?"
Amira, dengan air mata berlinang, menjawab, "Aku tidak tahu, Daniel, Melissa. Aku diperkosa di Kuala Lumpur dua bulan yang lalu."
Melissa hanya bisa berkata, "Aduh, Kak."
Daniel, dengan senyum licik, keluar dari kamar rumah sakit. Dia tak sabar untuk menyebarkan berita ini kepada Winda dan Mak Sarah. Dia membayangkan bagaimana mereka akan bereaksi, bagaimana Mak Sarah akan marah besar kepada Amira, dan bagaimana dia akan diusir dari rumah. "Mak akan marah besar! Haha, dia akan mengusir Amira!" pikirnya dalam hati, menikmati antisipasi kekacauan yang akan terjadi.
Setibanya di rumah, Daniel dengan penuh semangat berteriak, "Mak, Winda, kalian tidak akan percaya! Amira hamil!" Wajahnya berseri-seri, seolah-olah dia telah memenangkan lotre. Winda, yang sedang asyik bermain ponsel, mengangkat wajahnya dengan malas. "Apa? Hamil? Siapa ayahnya?" tanyanya, suaranya datar.
Amira, yang baru pulang dari rumah sakit bersama Melissa, berdiri di ambang pintu, tubuhnya gemetar. Dia merasa takut dan tidak tahu apa yang akan terjadi. Dia melirik Melissa, berharap mendapatkan sedikit dukungan, tetapi Melissa hanya bisa menggelengkan kepala dengan sedih.
Mak Sarah, mendengar berita itu, langsung berdiri dengan wajah memerah. "Hah? Hamil? Bagaimana bisa hamil?" tanyanya, suaranya bergetar dengan amarah.
Amira, dengan suara bergetar, menjawab, "Aku diperkosa, Mak."
Mak Sarah, mendengar jawaban itu, langsung mendekat dan menampar wajah Amira dengan keras. "Dasar kamu tidak pandai menjaga diri, Amira! Kalau orang luar tahu kamu hamil anak luar nikah, pasti nama baik keluarga ini akan tercemar!" Mak Sarah berteriak, suaranya menggema di seluruh rumah.
Melissa, yang berusaha menghentikan tindakan ibunya, merasa sangat tertekan. "Mak, tunggu! Ini tidak adil!" serunya, tetapi suara Melissa tenggelam dalam kemarahan Mak Sarah.
Winda, yang selama ini membenci Amira, langsung menyeringai. "Mak, benar juga. Dia tidak pantas tinggal di sini lagi. Kita harus mengusirnya!"
Daniel, dengan senyum jahat, langsung menyambar tas Amira dan membuangnya ke luar rumah. "Pergi kamu! Keluar dari rumah ini!" teriaknya.
Amira, yang merasa terasing dan tidak berdaya, hanya bisa berdiri tertegun. Air mata mengalir di pipinya, tetapi dia tidak berani melawan. Dia tahu, di luar sana, dunia menunggu dengan segala tantangan dan ketakutan yang tak terbayangkan.
Dengan hati yang berat, Amira melangkah keluar dari rumah, meninggalkan semua yang pernah dia kenal. Dia merasakan bahwa jalan di depannya tidak akan mudah, tetapi dia bertekad untuk berjuang demi masa depannya dan calon anak yang ada dalam rahimnya.
....
Amira terduduk di tepi jalan, tubuhnya gemetar hebat setelah diusir dari rumah. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Rasa sakit dan kekecewaan bercampur aduk dalam hatinya. Ia tak tahu harus kemana, tak punya tempat untuk berteduh. Kegelapan malam Jakarta menyelimuti dirinya, menambah rasa takut dan kesepian yang mendera.
Tiba-tiba, sebuah mobil melaju kencang di depannya. Amira tersentak, tubuhnya terhuyung ke belakang. Mobil itu hampir saja menabraknya. Amira terduduk di pinggir jalan, tubuhnya gemetar.
"Astaga" Suara seorang perempuan terdengar panik.
Seorang perempuan berambut cokelat keluar dari mobilnya. Matanya terbelalak melihat Amira yang terduduk di pinggir jalan.
"Kamu tidak apa-apa? Maaf, aku tidak sengaja," kata perempuan itu dengan suara cemas.
Amira menggeleng, masih terisak. Ia menatap wajah perempuan itu. Matanya membulat, tak percaya.
"Elena?" Amira terbata-bata, suaranya bergetar.
"Amira?" Elena terkesiap.
Matanya berkaca-kaca. "Astaghfirullah, Amira, kamu... kenapa kamu di sini?"
Amira terdiam, tak bisa berkata-kata. Elena menghampirinya, memeluk Amira erat.
Elena adalah sahabat terbaik Amira di sekolah SMA.
"Amira, aku tak sangka jumpa kamu di sini. Kenapa kamu di sini? Apa yang terjadi?" tanya Elena dengan suara lembut.
Amira terisak semakin keras, tubuhnya gemetar. Ia tak bisa menahan tangisnya.
"Elena... aku... aku diusir dari rumah," bisik Amira di antara isak tangisnya.
Elena mengerutkan kening, tak percaya. "Diusir? Kenapa?"
"Mama... Mama marah sama aku. Aku disuruh sebab aku hamil anak luar nikah," jelas Amira, suaranya terendam.
Elena pun berkata "hamil".
Elena memeluk Amira semakin erat. "Tenang, Amira. Kamu bisa tinggal di rumahku dulu. Aku akan bantu kamu," kata Elena.
Amira terdiam, matanya menatap Elena dengan penuh harap.
"Ayo, kita pulang. Kamu bisa cerita semuanya di rumah," kata Elena, menarik Amira ke dalam pelukannya.
Amira mengangguk pelan, air matanya masih mengalir deras. Ia bersyukur bertemu Elena di tengah kesedihannya.
Bersambung