DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM2
Setelah perdebatan panas antara Mas Rama dan ibunya, kami berdua segera berkemas. Sudah cukup, ibu memperlakukan kami dengan tak pantas.
Kami berkemas dalam diam, mata Mas Rama begitu bengkak. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia tumpahkan sejak pagi ini. Jika saja bekal nya tak ketinggalan, tak akan Mas Rama mendengar kalimat menyakitkan dari ibunya. Ah, Mas Rama, malangnya nasibmu.
Kami mengetuk pintu kamar ibu, berpamitan dari luar, meskipun tak ada sahutan. Gegas kami keluar kala jemputan sudah datang.
"Ayo buruan, nanti keburu hujan," peringat Bang Dono, sahabat suami ku. Bang Dono lah yang mengurus transportasi kami dalam pindahan rumah hari ini.
Ku lihat bentangan langit, memang mulai gelap. Semoga kami tiba di rumah baru sebelum hujan turun.
Untung saja ada Bang Dono yang membantu mencari rumah sewa untuk kami, beruntung nya rumah yang akan kami tempati, tak berjarak jauh dari pabrik.
"Cuma ini saja barang kalian, Ram?" tanya Bang Dono pada Mas Rama.
"Iya, Don. Perabotan sengaja aku tinggal, biar tidak terjadi perdebatan lagi," jawab Mas Rama dengan suara serak.
"Yang sabar ya, Ram. Aku mengerti, semua ini pasti sulit. Tapi, percayalah, semua pasti ada hikmahnya." Bang Dono menepuk-nepuk pelan bahu Mas Rama.
...****************...
Empat puluh menit kami berkendara, akhirnya tiba juga di sebuah rumah dengan cat kuning, tampilan rumah yang lumayan bagus. Terlihat juga ada ibu-ibu yang tengah mengangkat jemuran nya, rintik gerimis mulai luruh.
"Permisi, Bu. Ini saya yang tadi kemari." ucap Bang Dono pada ibu yang tengah mengangkat jemuran.
"Oh, iya, yang mau bawa penyewa ya?" tanya Ibu dengan daster pink ramah.
"Iya, Bu. Ini orangnya sudah datang." Kedua telapak tangan Bang Dono mengarah pada aku dan Mas Rama.
Ibu yang tangannya sudah dipenuhi baju, tersenyum ramah. "Sebentar ya, saya bawa masuk baju-baju ini dulu."
Kami pun mengangguk paham. Tak berselang lama, ibu tadi sudah datang kembali.
"Ayo, saya antar lihat kontrakan," ajak Ibu yang belum ku ketahui siapa namanya.
Aku dan Mas Rama mengangguk setuju, dan gegas mengekor di belakang wanita paruh baya itu. Sedangkan Bang Dono menjaga barang-barang kami yang di titip ke rumah induk semang.
Setelah lima menit berjalan kaki, tibalah kami di sebuah rumah kontrakan yang dimaksud. Sebuah rumah empat pintu, bewarna hijau.
"Nah, yang ini yang kosong." Induk semang membuka sebuah pintu rumah yang berada paling pojok.
"Kondisi nya masih bagus, sering Ibu bersihkan juga. Rumahnya terdiri dari satu kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi, dan dapur. Ada terasnya juga ya, meskipun tidak luas."
Aku dan Mas Rama berkeliling mengikuti induk semang memperlihatkan kondisi rumah.
"Oh, iya. Sampai lupa memperkenalkan diri, saya Nurma. Panggil saja Nur."
Bu Nur mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, dengan senang hati aku menyambutnya.
"Saya Alana, Bu." Aku tersenyum ramah.
"Saya Rama." Mas Rama menjabat tangan Bu Nur.
Aku merasa cocok dengan kontrakan ini, cat nya juga masih terlihat bagus. Tinggal harga nya saja yang perlu aku pastikan.
"Untuk harga sewanya berapa ya, Bu?" tanya ku sopan.
"Nak Alana, mau bayar bulanan atau tahunan? Kalau tahunan, setahunnya tujuh juta rupiah. Kalau bulanan, perbulannya tujuh ratus ribu rupiah."
Lumayan juga selisihnya, tapi gak bisa juga jika langsung ambil setahun. Dana darurat kami pasti ujung-ujungnya akan terpakai untuk kebutuhan sehari-hari.
Mas Rama melihat ke arahku, seolah mengerti dengan kalkulator yang tengah menghitung di dalam kepala istrinya.
"Jika kami ambil enam bulan, apa ada potongan harga, Bu?" tanya Mas Rama.
"Hmm, gini aja. Saya kasih enam bulan, tiga juta tujuh ratus ribu, gimana?" kata Bu Nur.
Tentu saja kami setuju. Sepulang dari kontrakan, kami mampir ke rumah Bu Nur. Melakukan pembayaran, sekalian mengambil barang-barang kami yang dijaga oleh Bang Dono.
...****************...
Selesai berbenah rumah, aku dan Mas Rama menuju ke pasar terdekat untuk mencari beberapa perabotan.
Kami membeli kasur, kompor, lemari, kulkas, alat kebersihan, alat makan, rice cooker, dan beberapa macam panci dan wajan.
Hitung punya hitung, uang tabungan kami masih tersisa sepuluh juta setelah membeli semua yang kami butuhkan.
Tak berselang lama kami sampai di rumah, mobil pickup yang membawa barang perabotan kami tiba. Selesai barang diturunkan, gegas kami menata semua perabotan yang kami beli.
"Mas mandi duluan, atau kamu duluan yang mandi, Sayang?" tanya Mas Rama dengan peluh bercucuran.
"Alana duluan ya, Mas." jawabku.
"Ok, Sayang. Selesai mandi, baru kita cari makan untuk nanti malam ya."
Aku mengangguk kemudian berlalu meninggalkan Mas Rama seorang diri.
*
*
*
Bagus banget /Kiss/
Apalagi part di mana Alana hamil, ya ampun, saya sampai meneteskan air mata. /Good/