NovelToon NovelToon
Darknight In Jakarta

Darknight In Jakarta

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Zombie / Horror Thriller-Horror / Persahabatan
Popularitas:971
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 10

Udara malam dipenuhi aroma busuk dan lembab, angin dingin berembus membawa debu reruntuhan yang beterbangan. Queensha, Seno, dan Masagena melangkah hati-hati di jalanan kota yang hancur. Gedung-gedung runtuh, mobil-mobil terbengkalai menghalangi jalan, sementara noda-noda darah yang sudah mengering menempel di trotoar seperti lukisan muram yang tak pernah hilang.

Seno melirik ke sekitar dengan cemas, keringat dingin menetes di dahinya meskipun malam itu dingin. "Kita harus segera menemukan tempat yang aman...," gumamnya. Matanya menyipit, menatap jauh ke depan, mencoba mencari celah di antara reruntuhan.

"Ya, tapi... di mana?" Queensha membalas, suaranya penuh tekanan. Napasnya terasa berat, sementara pandangannya melintas ke segala arah. Rasa takut yang tak pernah ia rasakan sebelumnya kini menjalari tubuhnya. "Kita nggak bisa terus jalan begini, mereka bisa muncul kapan saja."

"Tenang," Masagena berusaha terdengar tegar, meski bahunya tegang dan wajahnya pucat. "Kalau kita panik, kita bisa mati di sini."

Tapi dalam hatinya, Masagena pun tak bisa menenangkan diri. "Apa kita akan bertahan hidup? Atau ini akhir dari kita?" pikirnya dengan kecemasan yang memburu.

Saat mereka berbelok ke sebuah jalan yang penuh dengan mobil-mobil terbengkalai dan puing-puing beton, tiba-tiba dari balik reruntuhan, sekelompok zombie menyerbu dengan suara geraman rendah yang mengerikan.

"LARI!" Seno berteriak sekuat tenaga, panik. Tubuhnya langsung bergerak, mendorong kakinya untuk berlari tanpa menoleh ke belakang. Masagena tak butuh waktu lama untuk mengikuti, kakinya berderap keras di atas aspal, mencoba sekuat tenaga meloloskan diri.

Namun, Queensha tertinggal. Jantungnya berdetak keras, kakinya terasa berat, dan dalam sekejap ia terjebak di sudut gang sempit yang diblokir oleh reruntuhan. "TIDAK!" ia menggeram putus asa, matanya melebar ketika melihat gerombolan zombie yang semakin mendekat. Mereka bergerak lamban tapi pasti, seperti mimpi buruk yang tidak bisa dihindari.

"Ini gila..." pikir Queensha sambil dengan cepat mengambil pecahan beton di dekatnya. Tangannya gemetar, tapi ia tidak punya pilihan lain. Dengan sekuat tenaga, ia melempar pecahan itu ke arah zombie terdekat. "Pergi! Pergi!" teriaknya, suaranya bergetar penuh amarah dan ketakutan.

Namun, jumlah mereka terlalu banyak. Queensha merasa dirinya terpojok, adrenalinnya memuncak saat ia mengambil apapun yang bisa dijadikan senjata, entah itu botol kaca atau pipa yang rusak. Tapi di dalam dirinya, ia tahu—ini tidak akan cukup.

"Apakah ini akhirnya?" pikir Queensha, tatapan matanya liar saat zombie semakin mendekat.

Setelah lari tanpa henti, napasnya tersengal, kakinya lemas. Queensha berhasil menemukan sebuah bangunan kosong, mungkin bekas kantor, yang tampaknya aman. Ia masuk dengan tergesa-gesa, menutup pintu dengan cepat dan menyandarkannya dengan meja yang tergeletak di dekatnya. Punggungnya bersandar di pintu, napasnya berat, tubuhnya gemetar. "Aman... untuk saat ini," bisiknya pada dirinya sendiri, tapi kata-kata itu tak memberi ketenangan.

Di dalam bangunan, hanya ada keheningan. Lampu-lampu sudah padam, membuat interior bangunan terlihat suram dengan bayangan-bayangan yang mencekam. Jantungnya masih berdetak kencang, dan ia mencoba mengatur napas. Namun, semakin sunyi suasana di dalam, semakin ia merasa terisolasi.

"Di mana mereka? Seno... Masagena... apakah mereka selamat?" pikirnya sambil memeluk lututnya sendiri, berusaha mengusir rasa takut yang terus menghantuinya. Air mata hampir tumpah, tapi ia menahannya. "Aku nggak boleh menangis sekarang. Aku harus bertahan."

Namun, di balik pikirannya yang berusaha tegar, ketakutan mulai menjalari dirinya. Keringat dingin terus mengalir di pelipisnya. "Apa aku bisa bertahan sendirian?"

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari dalam gedung. Queensha membeku, tubuhnya langsung kaku. Ia tak tahu apakah itu Seno dan Masagena yang mencari perlindungan, atau... sesuatu yang jauh lebih buruk. Napasnya tertahan, jantungnya berdetak begitu kencang hingga hampir meledak. "Siapa itu?"

Langkah-langkah itu semakin mendekat, menggema di sepanjang lorong yang gelap dan kosong. Queensha berjongkok di balik meja, tak berani bergerak sedikit pun. "Apa aku harus keluar? Atau tetap bersembunyi?" pikirnya dengan kebingungan. Tapi ketakutannya begitu besar hingga ia hanya bisa diam, membatu di tempat.

Suara langkah kaki semakin dekat, dan tiba-tiba berhenti di luar pintu ruangan di mana Queensha bersembunyi. Keheningan yang mencekam menyelimuti tempat itu. Dalam diam yang nyaris menyakitkan, ia menunggu, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

******

Malam yang seharusnya tenang kini berubah menjadi kengerian yang tak terbayangkan. Kota yang pernah mereka kenal telah hancur, penuh dengan puing-puing, suara jeritan yang terdengar dari kejauhan, dan bau busuk menyengat yang seakan menempel di udara. Aisyah dan Delisha berjalan tertatih-tatih di antara reruntuhan, tangan mereka saling menggenggam erat. Mata Aisyah yang lebar memindai setiap sudut jalan, sementara Delisha berusaha menahan gemetar di tubuhnya.

"Aku nggak tahu kita bisa bertahan berapa lama lagi..." bisik Aisyah, suaranya nyaris tenggelam oleh suara angin yang menerpa reruntuhan bangunan di sekitarnya. Rambutnya yang panjang berantakan, sementara wajahnya tampak kelelahan.

"Jangan ngomong gitu, kita pasti bisa." Delisha mencoba terdengar kuat, tapi getaran di suaranya tak bisa disembunyikan. Ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tapi jantungnya berdegup kencang, memukul-mukul dadanya dengan keras. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah harapannya itu sungguh nyata. "Apa mungkin kita selamat dari semua ini?" pikirnya.

Gathan, yang berada di sisi lain kota, berlari kencang di antara bangkai mobil dan puing-puing. Otot-otot di lengannya tegang ketika ia menghindari bayangan zombie yang terus bergerak di setiap sudut. "Jasmine... di mana kau?" gumamnya putus asa. Matanya tajam, menelusuri setiap jalan yang ia lewati. Tapi setiap langkah terasa semakin berat, semakin putus asa.

"Aku nggak akan meninggalkanmu, Jasmine... aku janji," Gathan meyakinkan dirinya sendiri, walau ketakutan semakin merayap ke dalam pikirannya. "Tapi... bagaimana kalau aku terlambat?"

Jasmine, terjebak di atap rumah yang sunyi, duduk dengan lutut yang ia peluk erat. Bibirnya bergetar dan tatapannya kosong, menatap langit yang mulai meredup. "Apa aku akan bertemu mereka lagi? Atau ini akhirnya?" Suara desahan angin bercampur dengan erangan jauh dari zombie di bawahnya, seakan menertawakan kesendiriannya.

Di tempat lain, Nizam, Azzam, dan Nafisah duduk di dalam mobil yang sudah tidak berfungsi. Udara dalam mobil terasa pengap, sementara napas mereka tersengal-sengal setelah pertarungan sengit dengan zombie beberapa saat sebelumnya. Nafisah menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. "Kita nggak bisa terus di sini... mereka pasti akan datang lagi," ucapnya dengan suara rendah, hampir tak terdengar.

"Aku tahu," jawab Nizam singkat. Rahangnya mengatup erat, matanya fokus menatap jalanan di depan yang gelap dan sunyi. "Tapi ke mana kita bisa pergi? Kita nggak tahu apa yang ada di luar sana."

Azzam menatap kedua saudaranya dengan penuh kecemasan. Kepalanya terkulai di belakang kursi, berusaha menenangkan dirinya meski pikirannya terus berputar. "Aku nggak akan biarkan mereka terluka lagi..." bisiknya pada dirinya sendiri. "Tapi... bagaimana kalau aku tidak cukup kuat untuk melindungi mereka?"

Queensha, yang terpisah jauh dari kelompok lainnya, berjalan pelan di dalam gedung kosong. Setiap langkahnya terasa berat, tak ada suara selain derak lantai di bawah sepatunya. Bayangan-bayangan di sudut ruangan tampak bergerak, mengintai dalam keheningan yang memekakkan telinga.

"Aku nggak bisa terus seperti ini," pikir Queensha. Napasnya pendek-pendek, ketakutan menjerat pikirannya. "Aku harus menemukan mereka... aku nggak boleh sendirian."

Tapi di setiap langkah, suara misterius itu terus mengikuti. Desahan panjang yang mengerikan dan langkah-langkah berat seakan terus membuntutinya. Punggungnya terasa dingin, bulu kuduknya berdiri, membuatnya menoleh ke belakang setiap beberapa detik. "Apakah itu... mereka?" pikirnya, penuh kekhawatiran. Namun, dia tidak berani menunggu untuk memastikan.

Para remaja di setiap sudut kota yang hancur ini, mulai merasakan frustrasi yang membakar di dalam diri mereka. Rasa takut dan ketidakpastian terus menggerogoti pikiran mereka. Kota yang dulu menjadi rumah kini berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah mereka bayangkan. Suara jeritan dan tangisan dari kejauhan menambah kekacauan mental mereka. Ini bukan hanya tentang melawan zombie lagi—ini tentang melawan rasa takut, kelaparan, dan keputusasaan yang perlahan menghancurkan mereka dari dalam.

"Apakah kita benar-benar bisa bertahan?" Delisha bertanya dalam hati, mengamati Aisyah yang berjalan di sebelahnya dengan mata yang lelah.

Di sisi lain kota, Arka dan Abib saling bertatapan setelah berhasil menyelinap masuk ke sebuah bangunan yang terlantar. Arka duduk di sudut ruangan, tangannya gemetar saat mencoba mengatur napas. Abib berdiri tak jauh darinya, menatap keluar jendela yang hancur. "Ini gila... kita nggak bisa terus begini," Abib bergumam dengan suara rendah, matanya memancarkan rasa putus asa.

"Terus terang, gue juga nggak tahu apa yang harus kita lakukan selanjutnya," balas Arka, suara seraknya penuh kelelahan. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ada harapan di tengah kegelapan ini. "Apa yang kita kejar? Apakah kita benar-benar bisa keluar dari sini hidup-hidup?"

Ketika semua tampak semakin gelap, di tengah kepanikan yang mencekam, tiba-tiba Aisyah dan Delisha melihat kilatan cahaya yang aneh di langit. Langit yang tadinya gelap tiba-tiba terbelah oleh cahaya terang, seperti ledakan besar atau sinyal dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Aisyah terkejut, langkahnya terhenti. Mata Delisha membulat, mulutnya ternganga.

"Apa itu?" tanya Aisyah, nadanya penuh kebingungan dan ketakutan.

"Aku nggak tahu... tapi ini... ini nggak biasa," jawab Delisha, suaranya nyaris berbisik. Mereka berdua saling menatap dengan panik, sadar bahwa apapun yang baru saja terjadi bisa mengubah segalanya.

Apakah ini pertanda baik? Atau justru ancaman yang lebih besar sedang datang?

1
Kardi Kardi
runnnnnn, girlssss. runnnn
Kardi Kardi
interesting building/Frown/
Kardi Kardi: hmmm. maybe/Slight/
total 1 replies
Kardi Kardi
come on teamsss
Kardi Kardi: yeach. come on🍄
total 1 replies
Kardi Kardi
wake up team
Kardi Kardi: yeachhh
total 1 replies
Kardi Kardi
COME ONNNN
Kardi Kardi: yeach fastttt
total 1 replies
Kardi Kardi
never give up teams🍄
Kardi Kardi: yeach. give uppp/Smile/
total 1 replies
Kardi Kardi
NEVER GIVE UPPP
Kardi Kardi
good work. never give up😎😇💞yeyyy
Edana
Memukau dan mencerahkan
Mehayo official
Lucu dan menghibur.
Laura Barón
Waktu baca jadi cepat berlalu, keren abis!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!