kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
"Kamu sama siapa, Raz?"
"Sama umi baru."
Novi yang mensejajarkan tubuh dengan Faraaz mendongak melihat ke depan, tampak Adiba yang berdiri beberapa langkah di belakang bocah itu. Ia lalu berdiri dengan menatap istri Satria itu.
"Umi Novi?"
Novi terkesiap, lalu tersenyum. "Anak-anak memang biasa memanggilku begitu."
"Oohh." Adiba manggut- manggut, walau ia tak sepenuhnya percaya. Apalagi tadi ia sempat melihat wajah Novi yang sedikit berubah. Walau masih muda, tetap saja, Adiba tak suka jika ada rahasia ataupun penghianatan.
"Kalian cuma berdua?" tanya Novi pada Faraaz.
"Enggak, tadi sama mas Satria juga," jawab Adiba, sebelum Faraaz menjawab."Masih tertinggal di belakang." Adiba membalik tubuhnya ke belakang, memang Satria belum terlihat.
"Iya, umi, tadi sama Abi juga. Kami dulu- duluan tapi, abi ketinggal."
"Faraaz mau jajan?" tanya Novi pada Faraaz lagi.
"Enggak, nemenin umi cantik sama Abi mau cek toko," jawab Faraaz. "Oh, itu, Abi!" tunjuknya pada sosok yang baru muncul dari rumah warga.
"Oh, tadi mampir dulu ke rumah Lik Yan."
"Kok cuma berdiri di depan toko?" tanya Satria setelah sampai. "Malah ngumpul di sini."
"Nungguin mas Satria."
"Tunggu di dalam kan bisa."
Adiba memalingkan wajahnya, rasanya ia jadi tiba-tiba kesal pada Satria. Masalah panggilan umi pada Novi ini harus sudah sampai ke telinga Satria. Tapi, seperti keduanya merasa nyaman saja. Sebagai istri, Adiba tak suka.
"Mas," sapa Novi tersenyum.
Satria membalas senyuman, "Abis stok barang?"
"Iya, mas, ini ibu nitip teh sama gula skalian," sahut Novi seraya mengangkat kantong belanjaan nya.
"Kemarin stok kripiknya emang udah tipis, banget Nov."
"Iya, mas. Makanya aku restok lagi..."
"Eheem!" Adiba berdeham, serasa jadi kacang tanah saja dia di sana. Skalian untuk menyadarikan dua orang yang sedang bertukar kata itu.
"Faraaz, ayo masuk," ajak Adiba melangkah, melewati tepat di tengah- tengah keduanya sambil menggandeng Faraaz.
"Dah, umi Novi!" Faraaz melambaikan tangan pada Novi. Wanita bergamis dan berjilbab lebar itu pun membalas lambaian tangan.
Satria menahan tangan Adiba yang menggandeng Faraaz, memaksa gadis itu menoleh. Mata keduanya beradu sebentar, Adiba memalingkan wajah. Sedang Satria lalu berjongkok memegang kedua bahu anak angkatnya.
"Faraaz, Abi kan udah bilang jangan panggil kak Novi dengan sebutan umi," katanya lembut pada bocah Lima tahunan itu.
"Kata umi Novi nggak papa, kok, Abi," jawab Faraaz polos.
"Iya, mas, lagian anak- anak yang lain juga manggil aku begitu," sela Novi.
Satria mendongak, "Faraaz udah punya umi Adiba. Panggilan ini juga nggak bagus buat kamu yang masih lajang. Calon suamimu bisa salah paham nanti. Aku juga nggak mau istriku salah paham dengan ini. Hanya ada satu umi untuk Faraaz," ucapnya membuat Novi canggung. Satria berganti menatap Adiba. "Iya, kan, umi cantik?"
Adiba tampak malas, walau sebenarnya ada yang berdesir juga di dadanya sekarang.
"Faraaz, Abi-nya Faraaz ada berapa?" Satria kembali menatap anaknya.
"Satu, Abi aja." Dengan polos, Faraz mengangkat telunjuknya. Satria mengulas senyum, "Jadi, umi-nya Faraaz juga cuma satu."
"Umi cantik?"
"Pintar," puji Satria mengusap kepala Faraz.
"Mas, aku pulang dulu, ya," pamit Novi dengan wajah canggung. Lalu berganti pada Adiba. "Duluan," sambungnya memaksakan senyuman.
"Dah, u..."
"Faraaz!" Satria menegur, karena Faraz sudah mau lupa lagi.
"Hehe, lupa. " Faraz menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Dah, kak Novi!" Sambil melambaikan tangan.
Novi melangkah pergi dan tersenyum tipis pada Faraz sembari melambaikan tangan juga.
"Ayo masuk," ajak Satria mendorong lembut istrinya.
"Sepertinya, mbak Novi suka sama mas Satria," ucap Adiba berpendapat.
"Perasaan kamu aja, Diba."
"Enggak, Diba tau, kelihatan kok dari cara dia menatap mas Satria, juga sikapnya. Nggak mungkin mas Satria nggak menyadari hal sejelas itu." Diba menatap manik mata suaminya, mencari sisa- sisa kejujuran di sana. "Mas Satria tau kan?"
Satria diam tanpa menjawab, dan itu membuat Diba kesal. Ia melangkah semakin ke dalam toko, dan rasanya makin kesal saja karena Satria sama sekali tidak menahan atau menjelaskan lagi.
****
"Faraaz tidur sama umi cantik!"
"Faraaz kan udah punya kamar sendiri." Nyai Atiyah membujuk. "Masa masih mau tidur sama umi?"
"Nggak mau! Faraz mau sama umi," rajuk Faraz dengan muka masam dan bibir yang maju beberapa senti. "Kemarin kan Faraz udah mau pulang nggak ikut Abi nginep di rumah umi."
Adiba terkekeh geli dengan sikap Faraz yang ngambek ini. Mencubit dagu bocah Lima tahun itu dengan gemas.
"Ulu, ulu, anaknya umi, jadi ganteng banget kalau ngambek gini," godanya.
"Umi!" Faraaz memeluk Adiba dengan manja. "Mau tidur sama umi!"
"Hahahah, iya, iya. Umi mau tidur sama Faraz juga," ucap Adiba membalas pelukan Faraz.
Bocah itu lantas bersorak gembira. "Yeeeyy, tidur sama umi!"
Nyai Atiyah tersenyum dengan tingkah cucunya itu. Tapi, ia bisa maklum karena memang sedari kecil Faraz tak merasakan kasih sayang karena ditinggal kedua orangnya meninggal.
"Ya udah, sana ambil bantal sama selimut kalau mau tidur sama Umi," suruh Satria mengacak rambut Faraaz.
"Nggak usah, nanti bobok di kamar Faraz aja," ucap Adiba menggemasi kedua pipi Faraaz.
"Faraz tidur sama Abi juga ya?" Satria berganti pada Faraz.
"Yeeeyy, tidur sama Abi, sama Umi...." Bocah itu kembali bersorak.
"Udah, sana ambil selimut sama bantal."
"Iya, Abi!" Dengan antusias, Faraz berlari kecil ke kamarnya. Sedang, mata Adiba dan Satria bersiborok. Sengaja, tadi Satria memancing Faraz agar tidur di kamarnya karena tau Adiba masih marah gara- gara kejadian di toko tadi.
"Kamar Faraz sempit kalau buat tidur bertiga," kata Satria membuat alasan.
***