Gara, cowok dengan semangat ugal-ugalan, jatuh cinta mati pada Anya. Sayangnya, cintanya bertepuk sebelah tangan. Dengan segala cara konyol, mulai dari memanjat atap hingga menabrak tiang lampu, Gara berusaha mendapatkan hati pujaannya.
Tetapi setiap upayanya selalu berakhir dengan kegagalan yang kocak. Ketika saingan cintanya semakin kuat, Gara pun semakin nekat, bahkan terlibat dalam taruhan konyol.
Bagaimana kekocakan Gara dalam mengejar cinta dan menyingkirkan saingan cintanya? Akankah Gara mendapatkan pujaan hatinya? Saksikan kisah cinta ugal-ugalan yang penuh tawa, kejutan, dan kekonyolan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Jealous
Gara masih santai ngobrol dengan Anya di bangku taman kampus, merasa percaya diri karena akhirnya bisa dekat dengan Anya tanpa gangguan. Semua berjalan mulus, ia merasa sudah menunjukkan sisi dirinya yang terbaik, santai, asik, dan natural. Tapi tiba-tiba ....
"Garaaaa..." Suara itu terdengar familiar, menggema di telinga Gara.
Gara langsung panik, dalam hati. "Duh, ngapain Yoyok ke sini lagi?" batinnya, mulai was-was. Yoyok sudah beberapa kali hampir menghancurkan usahanya, terutama saat episode "balon cinta" yang bikin malu itu. Gara takut kejadian memalukan itu bakal terulang.
Anya juga tampak gelisah. “Apa lagi nih kali ini?” batinnya, khawatir Yoyok bakal melakukan sesuatu yang memalukan seperti sebelumnya. Ia masih trauma dengan balon cinta besar penuh glitter yang dituduhkan atas nama Gara.
Yoyok mendekat dengan santai sambil melambaikan tangan. "Gar, bro!" teriaknya ceria, tanpa tahu bahwa aura kecemasan sudah memenuhi udara.
Gara berdiri, mencoba menghalangi Yoyok agar tidak mendekat ke Anya. “Yoyok, gue lagi ngobrol nih, jangan bikin rusuh,” bisiknya penuh peringatan.
Yoyok malah tertawa kecil. “Tenang, Gar. Gue gak ngapa-ngapain kok. Cuma mau pinjem kunci kontrakan lo sebentar.”
Gara menghela napas lega. “Oh, cuma kunci. Nih, ambil aja.” Ia langsung merogoh saku dan menyerahkan kunci kepada Yoyok, berharap urusan cepat selesai.
Tapi Yoyok, yang tak pernah tahu waktu, langsung lanjut bicara. “Soalnya gue ada barang ketinggalan di kontrakan lo. Gue lupa ngambil ... celana kolor gue yang ada gambar SpongeBob!”
Gara dan Anya seketika terdiam.
Anya hampir tersedak menahan tawa, sedangkan Gara langsung menutup wajahnya dengan tangan, merasa malu luar biasa. "Serius lo ngomongin kolor SpongeBob di depan Anya?!" bisik Gara kesal, matanya membelalak.
Yoyok, dengan santai dan tanpa rasa malu sedikit pun, mengangguk sambil tersenyum lebar. “Ya iya, Gar. Itu kolor favorit gue, gak mungkin gue biarin ketinggalan lama-lama. Lo gak ngerti, tuh kolor nyaman banget!”
Gara ingin membenamkan diri ke dalam tanah saking malunya. Anya, yang tadinya was-was, sekarang justru terpingkal-pingkal tertawa melihat reaksi Gara.
Setelah mengambil kunci, Yoyok pergi dengan santai, meninggalkan Gara yang masih syok dan Anya yang terus tertawa. Setelah Yoyok benar-benar menghilang dari pandangan, Gara dan Anya saling pandang, lalu sama-sama menghela napas lega.
Gara, dengan wajah masam tapi pasrah, bergumam, “Gue kira dia bakal bikin rusuh lagi ... tapi ternyata, cuma ngomongin kolor SpongeBob.”
Anya yang masih tertawa kecil akhirnya berkata, “Untung cuma kolor, ya. Tapi Gara, serius ... temen lo tuh unik banget!”
Gara hanya bisa menggeleng, sambil mencoba mengembalikan wibawanya yang baru saja hancur karena Yoyok.
***
Meski Gara mulai memahami pentingnya jadi diri sendiri, kenyataan memukulnya keras ketika dia melihat Anya berbicara dengan seorang cowok baru di kampus, "Dion", seorang mahasiswa baru yang tampaknya punya semua yang Gara tidak miliki. Dion adalah tipe cowok yang tenang, pintar, dengan gaya keren tanpa usaha. Dan yang paling menyakitkan, Anya terlihat nyaman berbicara dengannya.
Dari balik pepohonan di taman kampus, Gara memperhatikan Anya sedang mengobrol dengan Dion. Melihat mereka asik tertawa bersama, perasaan Gara mulai panas. “Gue udah mulai jadi diri sendiri, tapi tiba-tiba malah muncul saingan? Nggak bisa gini!” gumamnya dengan kesal.
Tangan Gara terkepal, dan ia mulai memukul-mukul pohon tempatnya bersembunyi. Pukulannya semakin kuat seiring dengan meningkatnya kecemburuan. "Nih pohon, kok lo nggak bisa bantu gue? Udah baik-baik gue sembunyi di sini, malah cuma jadi saksi penderitaan gue!"
Gara terus melampiaskan emosinya pada pohon tak bersalah itu, seolah-olah pohon itulah penyebab kemunculan Dion.
"Pohon apes," gumamnya lagi sambil memukulnya sekali lagi. Kalau pohon itu bisa bicara, mungkin ia akan menuntut keadilan karena sudah menyediakan tempat persembunyian tapi masih disalahkan juga.
Gara tak bisa diam saja. Melihat Anya tertawa bersama Dion membuatnya semakin gelisah. "Gue harus bertindak!" gumamnya dengan tekad bulat, sebulat bola. Setelah memukul-mukul pohon untuk melampiaskan emosi, ia memutuskan untuk mendekati mereka.
Dengan langkah pelan dan penuh strategi, Gara mencoba bergerak dari balik pepohonan, berusaha tetap terlihat kasual. "Gue nggak boleh kelihatan panik. Santai, Gar. Lo, 'kan jago ngobrol," bisiknya menyemangati diri sendiri.
Ketika jaraknya cukup dekat, Gara langsung menyela, memasang senyum lebar dan palsu. "Eh, Anya! Dion! Lagi ngapain nih kalian? Kok kayaknya seru banget," katanya dengan nada yang dibuat-buat, seolah-olah tidak ada maksud apa-apa.
Anya yang sedang tertawa melihat Dion bercerita, menoleh kaget. "Oh, Gara! Nggak ngeliat kamu tadi."
Dion tersenyum tipis, tapi matanya sedikit menyipit curiga. "Iya, Gara. Kebetulan gue lagi cerita soal pengalaman gue di acara kampus minggu lalu."
Gara tertawa sedikit gugup. "Wah, pasti seru ya, Dion? Tapi ngomong-ngomong, Anya, lo ada waktu sebentar? Gue kayaknya ada yang penting mau dibicarain." Gara berusaha mencari celah untuk memisahkan Anya dari Dion.
Anya tampak sedikit bingung, tapi Dion lebih dulu merespons. "Nggak apa-apa, kok. Gue juga harus balik sebentar lagi. Kalian ngobrol aja."
Gara hampir melompat kegirangan dalam hati, tapi ia berusaha tetap tenang. "Oh ya? Ya, udah kalau gitu. Makasih, bro."
Dion tersenyum lalu melambaikan tangan ke Anya sebelum pergi. Begitu Dion pergi, Gara merasa lega. "Aman," batinnya.
Anya hanya memandang Gara dengan alis terangkat. "Jadi, mau ngomongin apa, Gar?"
Gara yang tadi berusaha terlihat punya alasan penting, sekarang malah grogi. “E-em ... sebenernya ... gue cuma pengen ngobrol biasa aja, hehe. Ya, cuma ngerasa ... yaaah, lo tau lah ....” Ia menggaruk kepala, bingung mencari alasan.
Anya menatapnya dengan penuh tanya. "Gara, serius, deh. Tadi gue lagi ngobrol santai sama Dion. Kenapa lo tiba-tiba jadi aneh gini?"
Gara hanya bisa tersenyum kaku. "Eh, gini .... Gue nggak aneh kok. Gue cuma ... ya ... pengen ngobrol aja sama lo. Ya, sekalian aja." Dalam hatinya, ia berteriak, “Yah, gimana cara jelasin ini biar nggak ketahuan gue jealous tadi?!”
Gara masih mencoba mengumpulkan kata-kata setelah obrolannya yang canggung dengan Anya. Tapi sebelum ia bisa bicara lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara langkah mendekat.
“Eh, Gara, Anya!” Suara Dion terdengar lagi. Gara spontan menoleh, kaget.
"Astaga, kenapa dia balik lagi?!" batin Gara merasa terusik sekaligus was-was.
Dion tersenyum lebar, berjalan santai ke arah mereka. “Gue balik lagi, lupa dompet di bangku tadi,” katanya sambil menunjuk ke tempat di mana mereka tadi duduk.
Gara dalam hati berteriak, “SERIOUSLY?!” Wajahnya berubah tegang, tapi ia berusaha mati-matian terlihat santai.
“Eh, ya-ya, silakan ambil, Dion,” ucap Gara dengan senyum kaku, meski dalam hati ia merasa seperti hendak pingsan karena situasinya makin canggung.
Dion, yang tak menyadari kebingungan Gara, mengambil dompetnya yang tertinggal di bangku dan tersenyum lagi. “Makasih ya, Gar. Ngomong-ngomong, kalian lagi ngobrol apa tadi?”
Gara berusaha keras untuk tidak terlihat panik. "Oh, kita ... kita ... lagi ngomongin cuaca! Iya, cuaca hari ini. Cerah, 'kan?" ucapnya spontan, mencoba mengalihkan pembicaraan. Anya melirik Gara, sedikit bingung tapi juga menahan tawa melihat tingkahnya yang jelas-jelas gugup.
Dion mengangkat alis, sedikit heran. “Cuaca? Wah, obrolan ringan ya? Gue kira lagi ngomongin hal serius.”
Anya, yang sudah tidak bisa menahan diri, akhirnya tertawa kecil. "Iya, Dion. Gara emang suka gitu, bawaannya ringan banget."
Melihat Anya tertawa, Gara merasa sedikit lega, tapi dalam hati masih gusar. “Oke, ini mendingan daripada kebongkar gue cemburu.” batinnya.
Tapi sebelum Dion benar-benar pergi, ia menambahkan, “By the way, Gar, lo udah sempet ngobrol sama Anya soal ... itu, kan?”
Gara panik. “Soal apa?”
Dion tersenyum misterius. “Yaa, lo tau lah. Itu yang lo cerita ke gue kemarin.”
Gara yang sedang panik semakin bingung, berpikir keras mencoba mengingat apa yang ia ceritakan ke Dion. Sementara Anya sekarang memasang ekspresi penasaran. “Apa tuh, Gara?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Ditunggu launching novel terbarunya ya smg sehat sll dan sukses sll dan semangat sll terus berkarya.....