“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutang budi atau balas budi?
Sekarang tinggallah mereka berdua di kamar Embun, Fathi dan Jihan sama-sama beradu pandang dengan sorot yang begitu tajam.
“Om Dokter mau ngomong apa? Sudah jelas Jihan gak mau menikah dengan Om, dengan alasan apa pun. Masalah Ezra Jihan bisa tetap menyayanginya!” tukas Jihan, dengan keberanian power full.
Fathi berdecap. “Disangkanya aku mau menikahi bocah manja dan ingusan seperti kamu, bocah yang telah menghilangkan nyawa istriku itu!” sentak Fathi.
“Nah, itu tahu lalu kenapa Om Dokter bilang bersedia menikahi Jihan, kalau begitu kita kasih tahu papa sama mama sekarang juga,” jawab Jihan, lalu tubuhnya bergerak menuju pintu kamar, namun pergelangan tangannya dicekal oleh Fathi dan sangat erat.
“Eeeh ... OM!” seru Jihan sembari menyentakkan tangan kakak iparnya, tapi semakin kuat mencengkeramnya.
“Tidak semudah itu kamu bilang sama papa dan mama!” sentak Fathi, sudut bibirnya menyeringai tipis. Sedangkan Jihan mendengus sebal dengan pria tersebut.
“Lalu!” Jihan kembali memberanikan diri menatap pria dewasa itu.
“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapan menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om Fathi sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu di jalan mengalami kecelakaan lantas aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan lantang dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis, yang ada kini netranya hanya berembun.
Pria itu menyeringai tipis dan menatap sinis pada gadis muda itu, dibalik permintaan kedua orang dan mertuanya barusan, muncullah ide untuk membalaskan rasa sakit atas kehilangan istrinya, dan terbit ingin membalas rasa sakitnya itu pada adik istrinya tersebut. Pria itu sangat mencintai Embun dan memang masih belum menerima kehilangan wanita yang sudah hampir 9 tahun menemaninya dalam suka dan duka. Apalagi sekarang ada anak di antara mereka berdua.
Jika dia merasakan kesedihan yang berlarut-larut karena kehilangan belahan jiwanya, maka Fathi juga menginginkan adik iparnya merasakan hal yang sama dengan menikah dengannya, dia akan memastikan tidak ada kebahagiaan buat Jihan, maka dari itu dia langsung mengiyakan.
“Besok kita akan menikah! Tidak ada penolakan dan tidak boleh lari dari pernikahan! Jika berani kabur, maka terima resikomu!” ancam Fathi tidak main-main, lalu pria itu melepaskan cengkeramannya, kemudian dia bergerak menuju pintu dan membantingnya dengan kencang, sampai Jihan berjengit kaget.
Jihan menatap nanar daun pintu tersebut, sudut bibirnya menyungging tipis, ingin sekali dia tertawa tapi seakan ada yang melarangnya, pada akhirnya dia menatap foto Embun dan Fathi yang terpajang di dinding kamar kakaknya.
Gadis itu tersenyum miris. “Haruskah Jihan menikah dengan suamimu Kakak?” Jihan menarik napasnya dalam-dalam. “Kenapa suami kakak selalu menyalahkan Jihan! Dan Kenapa Kakak harus meninggal ... huh! Kenapa Kak?” Pertanyaan itu terlontarkan begitu saja, walau tahu potret tersebut pasti tidak akan bisa memberikan sebuah jawaban untuknya.
Jihan menengadahkan kepalanya ke langit-langit, agar buliran bening yang semakin mendesak ingin keluar tidak sampai terjatuh membasahi pipinya. Kini, pada siapa dia harus mengadu dengan permasalahan baru yang mendadak datang menghampirinya. Menikah dengan kakak iparnya! Lelucon sekali hidupnya. Sudah menentang rencana pernikahan secara langsung ternyata tidak ada yang mau mendukung dirinya.
Jihan menjatuhkan bobotnya di tepi ranjang, dengan sekali tarik napas dia menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, rasa lelah tanpa alasan mendadak hadir di hatinya.
“Jihan ...,” ada suara yang memanggilnya di saat pintu kamar baru saja terketuk.
Jihan menegakkan kepalanya, menatap malas daun pintu yang sudah terlihat terbuka. “Ya Bu,” sahut Jihan malas. Lantas, wanita paruh baya itu masuk ke dalam, menghampiri putri bungsunya dan duduk di sampingnya.
“Pasti kamu sangat terkejut,” ucap Bu Kaila membuka suara.
“Ya ... Jihan sangat terkejut,” jawab Jihan apa adanya.
“Maafkan Ibu dan Ayah jika tidak mendiskusikan ini padamu terlebih dahulu, kami melakukan ini juga demi masa depan kamu dan anak kakak kamu, Jihan. Selama ini Ibu selalu mimpi kakak kamu dan selalu meminta kamu untuk menjaga anaknya, maka dari itu Ibu diskusikan pada ayah. Coba kamu pikirkan jika Fathi menikah dengan wanita lain, pasti Embun akan sangat bersedih karena anaknya diasuh dengan wanita lain yang belum tentu menyayanginya dengan tulus,” imbuh Bu Kaila.
Jihan sejak kakaknya hamil sampai melahirkan selalu menemani Embun, dan ketika Ezra lahir Jihan luar biasa bahagia dan turut andil merawat Ezra, walau Fathi menyediakan baby sitter untuk membantu istrinya mengurus anak mereka.
“Ya, tapi Bu tidak mesti menikah dengan kakak ipar juga dong. Kenapa gak Ezra jadikan anak angkat saja sama Jihan, jadi Jihan saja yang mengurus Ezra, papanya gak usah ikut-ikutan,” timpal Jihan agak kecewa.
Bu Kaila mengusap lembut lengan Jihan. “Tidak semudah itu membesarkan anak seorang diri, anak itu butuh kasih sayang kedua orang tuanya, dan juga butuh biaya untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kamu baru lulus sekolah, belum memiliki pekerjaan tetap. Dan sebenarnya kita juga sudah banyak berhutang budi dengan keluarga Fathi, kamu masih ingat'kan saat Ibu kena serangan jantung, keluarganya membantu mengurus semua biaya operasi, biaya rumah sakit sampai Ibu sehat di rumah sakit mereka. Jadi Ibu sangat memohon padamu kabulkanlah permintaan kami sebagai orang tua,” pinta Bu Kaila dengan lembutnya.
Jihan menghela napas panjang, lalu menundukkan kepalanya dan kembali memikirkan ucapan ibunya, sekarang meminta dengan dalih balas budi pada keluarga Fathi. Memang benar beberapa tahun yang lalu ibunya kena serangan jantung dan butuh biaya yang sangat besar saat dokter jantung merujuk untuk segera ditindak operasi, dan syukurnya keluarga Fathi yang menanggung semua biaya yang menghabiskan ratusan juta. Sementara ayahnya Jihan hanyalah aparatur sipil golongan empat, jika pinjam uang ke koperasi kantor tidak akan bisa sampai ratusan juta rupiah dalam waktu cepat.
Jihan menatap dalam wajah sendu ibunya dengan menarik napasnya dalam-dalam, sementara orang yamg berada di bawah sudah terlihat sibuk menghubungi event organizer untuk menyiapkan acara akad nikah yang akan diselenggarakan esok hari di kediaman orang tua Jihan.
“Tak akan aku biarkan hidupmu bahagia, Jihan!” gumam Fathi sendiri sembari menatap sinis bingkai foto keluarga mertuanya tersebut.
Bersambung ... ✍🏻