Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 27
Arka berdiri di depan kelompoknya, matanya tajam tapi penuh beban. "Kita harus tetap bertahan. Menghadapi zombie mutan tanpa rencana itu sama saja menyerahkan diri kita begitu saja," ucapnya dengan suara rendah tapi tegas, menahan kemarahan yang mencoba menelusup masuk. Ia tahu, beberapa dari mereka mulai meragukannya. Di dalam hatinya, Arka bertanya-tanya, Apakah mereka benar-benar mengerti risiko yang kita hadapi di luar sana?
Gathan menggeram pelan, melipat tangan di dada dengan wajah tak puas. “Arka, kamu terus-terusan bilang kita harus bertahan. Sampai kapan? Mereka makin banyak, makin kuat. Kita cuma akan jadi makanan mereka kalau terus di sini.” Gathan melangkah maju, tatapannya tajam menusuk Arka. “Kita punya kesempatan kalau bergerak sekarang.”
Arka menghela napas dalam-dalam, berusaha menahan amarahnya. Ia tahu bahwa Gathan selalu merasa perlu membuktikan dirinya. Tapi kali ini, dorongan untuk mengambil kendali ini bisa membawa mereka pada kehancuran. “Aku paham keinginanmu, Gathan. Tapi ini bukan soal keberanian semata. Ini soal bertahan hidup. Tanpa strategi, kita hanya akan memperbesar jumlah korban.”
Masagena, yang berdiri di dekat Gathan, mengangguk setuju, meskipun wajahnya tampak ragu. “Arka, mungkin Gathan ada benarnya. Kita nggak bisa terus bersembunyi. Kalau terus begini, kita semua akan lelah dan… mungkin malah jadi lebih rentan.”
Sementara itu, Aisyah menggelengkan kepala, matanya penuh kekhawatiran. “Tapi Arka benar. Aku percaya dia punya alasan yang kuat. Bersembunyi di sini mungkin pilihan terbaik… setidaknya sampai kita tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar sana.”
Seno menepuk bahu Arka dengan senyum tipis. “Aku ada di pihakmu, Ark. Terkadang keputusan yang bijak memang tidak populer. Tapi kita perlu pemimpin yang tenang dan berpikir panjang.”
Arka mengangguk dengan berat, merasa sedikit lega meski pertikaian ini masih membebani pikirannya. “Terima kasih, Seno. Kita akan tetap bertahan—”
Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, ledakan besar terdengar dari arah kota, mengguncang tanah dan membuat jendela berderak. Semua orang spontan membungkuk, melindungi kepala mereka dari puing-puing yang berjatuhan.
Asap mengepul tinggi di kejauhan, terlihat jelas dari celah-celah jendela yang pecah. Suasana yang tadinya penuh ketegangan berubah menjadi keterkejutan yang terdiam sesaat.
Queensha menarik napas dalam-dalam, suaranya bergetar. “Apa itu tadi? Ledakan… apakah ada orang lain di luar sana yang masih berjuang?”
Arka mengerutkan alis, mencoba mencerna situasi. “Entah… mungkin ada kelompok lain yang melawan zombie. Atau…”
Gathan, yang tampak masih tersulut dengan semangatnya, menyeringai tipis, matanya berkilat penuh harapan. “Lihat, Arka! Ini tanda bagi kita untuk tidak hanya bersembunyi. Ada pihak lain yang juga bertarung. Kenapa kita nggak ikut keluar dan menghadapi mereka?”
Arka mengangkat tangan, menghentikan Gathan sebelum ia bertindak lebih jauh. “Gathan, jangan terburu-buru. Kita bahkan nggak tahu siapa atau apa yang menyebabkan ledakan itu. Apa kamu yakin kita siap menghadapi apa pun yang ada di luar sana?”
Queensha mengangguk pada Gathan, meski dengan ekspresi ragu. “Tapi… mungkin Gathan benar. Mungkin ini kesempatan kita untuk mencari bantuan atau bergabung dengan kelompok lain.”
Sementara mereka berdebat, Seno menatap keluar jendela dengan penuh waspada. “Apa pun yang kita putuskan, kita harus melakukannya dengan cepat. Lihat itu,” ujarnya sambil menunjuk ke arah gerombolan zombie mutan yang semakin mendekat, bergerak dengan pola yang tak biasa, seakan menyadari keberadaan mereka.
Aisyah, yang kini mulai merasa panik, memegang erat tangannya sendiri untuk menenangkan diri. “Kita nggak punya banyak waktu untuk berdebat lagi. Mereka semakin dekat!”
Suasana semakin tegang, dan setiap orang kini saling memandang, menanti keputusan akhir. Dengan suara penuh tekad, Arka akhirnya berkata, “Kita akan bertahan di sini, tapi kita juga perlu siapkan rencana darurat untuk keluar kalau situasi semakin parah. Gathan, aku butuh bantuanmu mengamankan lantai bawah dan memastikan tidak ada titik lemah.”
Gathan menatapnya dengan ragu, namun akhirnya mengangguk. “Baik, tapi ingat, kalau kita terdesak, aku akan memimpin jalan keluar.”
Arka mengangguk dengan berat. “Kalau sampai itu terjadi, aku akan percayakan kelompok ini padamu.” Suaranya terdengar tenang, tapi di dalam hatinya, ia merasa gelisah.
Di kejauhan, suara zombie yang menggeram semakin mendekat, menciptakan ketakutan baru di antara mereka. Dengan perasaan terpecah, mereka mempersiapkan diri—baik untuk bertahan maupun untuk berperang, sadar bahwa apa pun yang menanti di luar sana, mereka harus siap menghadapi kemungkinan terburuk bersama.
*****
Nafisah berdiri tegak, melipat tangan di depan dada sambil menatap ke arah ledakan di kejauhan. “Arka, kita harus menyelidikinya. Kalau ada kelompok lain di luar sana, kita mungkin bisa bergabung atau setidaknya mencari tahu apa yang terjadi. Ini bisa jadi kesempatan langka untuk bertahan lebih lama.”
Nizam, yang berdiri di sebelah Nafisah, mengangguk cepat, suaranya penuh tekad. “Dia benar, Ark. Kalau mereka punya suplai tambahan atau bahkan senjata, ini bisa jadi solusi buat kita.” Apakah kami benar-benar bisa bertahan hanya dengan bersembunyi? pikir Nizam dalam diam, menatap wajah-wajah rekan-rekannya yang penuh kekhawatiran.
Arka mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba memproses ide tersebut meski tekanan semakin menghimpitnya. "Nafisah… Nizam... kalian nggak sadar risikonya," ujarnya dengan nada pelan, tapi ada getaran lelah di sana. “Kita nggak tahu apa yang ada di luar sana. Ledakan itu bisa saja memancing zombie lain menuju tempat ini.”
Gathan, yang berdiri di belakang, menyeringai sinis. “Lagi-lagi kamu dengan sikap hati-hati itu, Arka. Berapa lama lagi kamu mau biarkan kami kelaparan di sini?” Mata Gathan menyala penuh keberanian yang liar. “Setidaknya mereka punya harapan. Kamu hanya membawa kami bertahan tanpa kepastian.”
Aisyah, yang duduk di pojokan, melipat tangannya sambil memandangi Gathan dengan penuh amarah. “Gathan, cukup! Arka sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga kita semua tetap hidup. Kita semua tahu kalau di luar sana jauh lebih berbahaya daripada di sini.”
Gathan mengerucutkan bibirnya dan tertawa sinis. “Oh, jadi kita akan tetap berlindung di balik tembok ini selamanya? Itu bukan pilihan untukku.” Dia melirik ke arah Arka. “Apa kamu siap kalau semua ini akhirnya menghancurkan kita, Ark?”
Seno melangkah maju dan menepuk bahu Arka dengan nada yang lebih tenang, “Aku tetap percaya padamu, Arka. Apa pun keputusanmu, aku yakin kamu sudah memikirkannya baik-baik.”
Arka mengangguk dengan berat, merasa sedikit lega meski sebagian dari hatinya penuh keraguan. “Kita harus berhati-hati. Mungkin… mungkin kita bisa kirim dua orang untuk mengintai dan melihat situasinya dari jauh. Tapi tanpa pertempuran, hanya mengamati.”
Baru saja ia hendak memilih siapa yang akan dikirim, tiba-tiba suara gemuruh menggema dari pintu masuk gedung, menggelegar seperti bom yang dilemparkan tepat di luar. Semua orang mendadak membeku, wajah-wajah mereka membelalak.
Queensha menjerit dan segera meraih tangan Aisyah, sementara Nizam dan Nafisah bergerak cepat ke arah belakang. “Apa itu?” Nafisah berseru, suaranya tercekat.
Di ambang pintu, bayangan-bayangan besar mulai terlihat jelas. Zombie-zombie mutan, tubuh mereka jauh lebih besar dan tampak lebih mengerikan, bergerak dengan kekuatan yang tak biasa, mata mereka bersinar dengan ganas, dan mereka menatap ke arah kelompok yang ketakutan. Suara geraman mereka terdengar seperti suara raksasa yang kelaparan.
Gathan mendesah panik dan menoleh ke arah Arka, wajahnya tiba-tiba pucat. “Arka… apa yang harus kita lakukan?” Nada suaranya yang biasanya penuh tantangan kini penuh ketakutan.
Arka mengatupkan rahangnya, mencoba mempertahankan ketenangannya meski hatinya mulai berkecamuk. “Kita harus bertahan. Mereka mungkin tidak tahu kita ada di sini,” bisiknya sambil memberikan isyarat agar semua tetap diam.
Tiba-tiba, salah satu zombie mutan menghantam pintu dengan keras, suara dentumannya mengguncang gedung tua itu. Jasmine, yang sedari tadi berdiri di belakang, menangis terisak, tubuhnya gemetar. “Kita nggak akan selamat… kita nggak akan selamat!” desisnya dengan wajah pucat.
Gathan membelalakkan matanya ke arah Arka, nafasnya terengah-engah. “Sekarang apa, Arka? Apa kamu masih mau tunggu mereka masuk?”
Dengan wajah yang kini tampak semakin gelisah, Arka mengambil keputusan cepat. “Kita mundur. Bawa apa yang bisa kalian bawa dan kita lari ke ruang bawah tanah. Itu satu-satunya tempat aman untuk sekarang!” ujar Arka sambil berusaha tetap tegar.
Saat mereka semua bergerak panik menuju ruang bawah tanah, Seno menahan tangannya di bahu Arka. “Aku tahu kamu bisa melakukannya, Ark. Bertahanlah… demi kami semua.”
Arka mengangguk dengan getir, perasaannya campur aduk antara rasa bersalah dan tanggung jawab yang semakin berat. “Aku akan lakukan yang terbaik.”
Mereka bergegas ke bawah, suara zombie mutan yang semakin dekat seperti dentuman genderang maut. Di ujung tangga, mereka tahu ini adalah ujian terbesar—dan mungkin terakhir—bagi mereka.