Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa?
Dua jam berlalu, dan presentasi Keira dengan para investor serta pemegang saham akhirnya berakhir. Begitu keluar ruangan, matanya segera mencari sosok Kian, namun ia tak menemukannya. Raut khawatir tergambar jelas di wajahnya.
“Kian dimana, Kak?” tanya Keira dengan cemas, menatap Deren yang santai bersandar di dinding.
“Rooftop. Temenin dia sana,” jawab Deren singkat sambil melirik arlojinya.
Tanpa pikir panjang, Keira langsung menuju lift, memasuki kabin dan menekan tombol untuk lantai 13—lantai rooftop. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara kekhawatiran dan perasaan tak menentu mengisi pikirannya.
Begitu lift terbuka, pemandangan punggung Kian langsung menyambutnya. Meskipun tak bisa melihat wajahnya, Keira bisa merasakan kebimbangan yang berat dari posturnya. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, dan terkejut saat melihat asbak di atas pembatas sudah dipenuhi puntung rokok. Puluhan batang rokok habis dalam waktu singkat.
Dengan tegas, Keira mencabut rokok yang masih terselip di bibir Kian, mematikannya di asbak. Kian menoleh, matanya tampak bingung namun kosong.
“Rokok itu gak bagus buat kesehatan, Ian,” ujar Keira lembut, tapi penuh makna. Ia menatap Kian dalam-dalam, mencoba menembus tembok emosi yang tampaknya tengah menjerat hati pemuda itu.
Dalam hatinya, Kian bergolak, "Apa benar... bisa lu gantiin Stella di hati gua, Kak?"
Keira melanjutkan, “Ian, aku nggak tau masalah apa yang lagi kamu hadapin, tapi tolong, jangan lampiasin ke hal yang justru ngerusak tubuh kamu.”
Kian hanya diam sesaat, sebelum akhirnya bergumam pelan, “Kenapa harus lu, Kak?”
Keira tertegun, bingung dengan pernyataan Kian. "Hah? Maksud kamu apa, Ian? Kamu nggak suka aku di sini?"
Dengan cepat, Kian mengalihkan pembicaraan. “Nggak apa-apa. Btw, Kakak kenapa ada di sini?”
“Nyusul kamu,” jawab Keira singkat, namun tetap memperhatikan ekspresi Kian dengan seksama.
“Loh? Presentasinya?” tanya Kian.
“Udah selesai,” sahut Keira dengan tenang.
Kian mengernyit heran. “Lah? Cepet amat?”
“Emangnya kamu gak sadar? Dua jam udah berlalu,” balas Keira sambil tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana.
Kian buru-buru mengecek ponselnya. Benar saja, sudah dua jam berlalu. Ia memandang ke arah bawah, melihat tiga bungkus rokok yang sudah habis dan sampahnya tergeletak di lantai. Pikirannya terus melayang, semakin berat oleh beban yang ia bawa sendirian.
Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya suara angin yang terdengar di atas rooftop.
“Kamu kapan balik ke Indo, Ian?” tanya Keira, mencoba memecah kebisuan yang mulai terasa menyesakkan.
Kian menghela napas panjang. “Gak tau. Kata kakek gua sih, gua disuruh di sini tiga hari, tapi... gua masih mau di sini lebih lama. Mau nenangin diri.”
Keira menggeleng pelan, menatap Kian dengan tatapan lembut namun tegas. “Cara kamu salah, Ian. Harusnya, kamu balik ke rumah. Cerita sama keluarga kalo ada masalah. Habiskan waktu kamu dengan mereka.”
Kian tersenyum kecut. “Gak semua orang nenangin diri mereka dengan cara yang sama, Kak. Gua gak mau cerita apa-apa karena gua kasihan sama kakek-nenek gua.”
Ia terdiam sejenak, menghembuskan napas dalam. “Mereka udah tua, apalagi kakek gua. Dia udah pusing banget ngurusin perusahaan. Kalau gua cerita, gua cuma nambah beban pikirannya.”
Keira hendak membalas, tetapi...
Drt...drt...drt
Suara ponsel Keira berdering, memotong ucapannya. Ia segera merogoh tasnya dan mengecek panggilan yang masuk.
"Om Gilang calling," muncul di layar ponselnya.
“Halo, Om?” jawab Keira, suaranya penuh kesopanan namun ada sedikit kekhawatiran.
“Halo, Non Keira. Mohon maaf harus menyampaikan ini, tapi Tuan Norman dan Nona Wendy... kecelakaan.”
Seketika air mata mengalir deras di pipi Keira, tubuhnya melemas, dan tanpa disadari, ponselnya terjatuh dari genggamannya dan terhempas ke lantai. "Kak, kenapa?" tanya Kian dengan nada penuh kekhawatiran, mendekat dengan cepat.
“Mama... papa... mereka kecela-”
Belum sempat Keira menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya lunglai dan jatuh ke lantai, tak sadarkan diri.
“Keira!” Kian dengan cepat menangkap tubuh Keira yang pingsan. Tanpa berpikir panjang, Kian menggendongnya di punggung dan bergegas membawanya menuju lobi.
Sesampainya di lobi, Deren dan George yang sedang bersantai langsung menghampiri dengan raut wajah cemas. “Keira kenapa, Ian?” tanya Deren, tatapannya tajam.
“Om Norman sama Tante Wendy kecelakaan,” jawab Kian singkat, wajahnya tetap tegang.
Prang!
Gelas kopi yang dipegang George terjatuh, menghantam lantai dengan suara pecahan yang menggema. Tanpa peringatan, George langsung mencengkram kuat kerah Kian, wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca dengan sorot penuh amarah dan kesedihan.
“Kian! Kalau ngomong dijaga, bangsat! Jangan bohongin gue!” teriak George dengan suara serak, gemetar.
“Itu kenyataannya, Bang.” Kian menatap lurus ke arah George, suaranya datar namun berat. “Kita harus balik ke Indonesia sekarang. Bang Deren, cepet telpon Kakek.”
Setelah menerima kabar dari Deren, Devin langsung menginstruksikan anak buahnya untuk menyiapkan jet pribadi secepat mungkin. Tidak ada waktu untuk menunda.
Penerbangan dari Inggris ke Indonesia terasa begitu panjang dan melelahkan. Semalaman, Keira tak berhenti menangis, dan Kian dengan sabar terus berada di sampingnya, mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri terombang-ambing dalam kekhawatiran yang tak kalah besar.
Begitu sampai di bandara, sebuah mobil BMW hitam sudah menunggu mereka. “Ngebut bang, jangan banyak basa-basi,” titah George tegas, suaranya terdengar tegang ketika ia menatap pesan terakhir dari Gilang, asisten pribadi Norman.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, melintasi jalan-jalan yang sepi di pagi hari. Jam menunjukkan pukul enam pagi, namun ketegangan di dalam mobil seakan membuat waktu bergerak lebih lambat.
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung berlari menuju ruang IGD. Keira, meskipun lelah, langsung mencari tahu kondisi kedua orang tuanya. “Om Gilang, gimana keadaan papa sama mama?!” teriaknya, masih terisak.
Gilang menatap mereka dengan raut wajah sedih dan terbebani. “Tuan Norman... dia berhasil melewati masa kritis,” ucapnya dengan suara rendah.
Tapi sebelum Keira bisa merasa lega, Gilang melanjutkan, “Tapi... Nona Wendy... dia tidak bisa diselamatkan.”
Seolah dunia berhenti berputar, kata-kata itu menghantam Keira bagaikan palu godam. Tanpa bisa menahan diri, Keira mencengkram kuat kerah baju Gilang, amarah, kesedihan, dan penolakan bercampur dalam tatapannya yang penuh keputusasaan. “Om! Jangan bercanda!” tangisnya meledak, tubuhnya mulai melemas.
Dan sebelum Kian atau siapapun bisa bereaksi, Keira kembali pingsan, kali ini tubuhnya jatuh begitu saja. Dengan sigap, Kian menggendongnya lagi, membawanya ke ruang perawatan.
Beberapa waktu kemudian, seorang dokter keluar dari ruang perawatan Norman. “Bagaimana kondisi teman saya, Dok?” tanya Devin cemas.
“Beliau sudah sadar dan mengatakan ingin berbicara dengan Tuan Devin dan Tuan Kian,” jawab dokter dengan serius.
Deren yang mendengar itu segera berlari menuju ruang perawatan Keira. “Ian,” panggilnya dengan napas terengah. “Lu sama Ayah dipanggil Om Norman.”
Kian menatap Keira yang masih tak sadarkan diri, lalu menoleh ke arah neneknya, Grace. “Nenek, aku titip Keira ya,” ucapnya dengan pelan.
George yang berada di sana langsung berkata, “Gue ikut, Ian. Nek, nggak apa-apa kan kalau gue tinggal sebentar?”
Grace mengangguk setuju, memberikan izin pada George. Kian dan George pun bergegas menuju IGD, sementara Deren tetap menemani ibunya.
Begitu mereka masuk, pemandangan Norman yang terbaring lemah menyambut mereka. Norman memberi isyarat kepada Kian untuk mendekat.
Dengan hati-hati, Kian berjalan menghampiri ranjangnya. Ia melihat Norman, sosok yang dulu gagah, kini terbaring dengan alat bantu pernapasan. Dengan sisa tenaga, Norman melepas alat bantu oksigennya.
“Ian...” suara Norman terdengar sangat lemah, namun tetap penuh wibawa. “Kenapa lu keliatan sedih begitu?”
Kian menggeleng, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di matanya.
“Ian, gua punya satu permintaan... Tolong jagain Keira, ya. Dia terlalu polos, terlalu baik. Gua nggak mau dia dimanfaatin sama orang-orang brengsek di luar sana. Jauhin dia dari mereka, ya.”
Kian mengangguk, suaranya tercekat saat menjawab, “Iya, Om. Kian janji bakal jagain Kak Keira.”
Norman tersenyum lemah, tapi tatapannya masih penuh harapan. “Ada satu lagi permintaan gue... Tolong... nikahin Keira.”
Deg.
Kian terdiam, kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari apapun yang pernah ia rasakan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana bisa ia menerima permintaan itu? Dengan perasaan yang bertentangan di dalam hatinya, Kian menunduk.
“Maaf, Om... tapi gue nggak bisa.”
Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Kian berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan George dan Devin yang terdiam menyaksikan kepergian anak muda itu yang tampak begitu terbebani.
Bersambung.