DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM17
"Mas, bagaimana kalau kita minta tolong Bu Karto untuk membantu mengurusi Bian? Besok kan Bian harus mandi ... aku belum bisa memandikannya sendiri, Mas. Sekalian mau minta tolong buat nasi urap untuk dibagikan ke tetangga besok."
"Boleh juga, Sayang. Kenapa baru sekarang bilangnya? Apa Bu Karto mau dimintain tolong dadakan begini?"
"Tadi mau bilang, tapi keburu sakit banget pinggang aku, Mas. Cuma sempat kasih pesan ke Yanti tentang toko aja."
"Coba dibicarakan dulu dengan Pak Karto nya."
Pak Karto datang bersama Yanti, dan mbak Niken. Rupanya mereka bersama-sama dari toko. Setelah Yanti laporan hasil toko, dan Mbak Niken lapor bahan apa saja yang habis, mereka langsung pulang. Pak Karto bilang, nanti malam mereka akan kembali beserta Bu Karto untuk melihat Bian."
...----------------...
Sore itu Pak Karto sekeluarga datang kembali. Mbak Niken dan Lika juga datang bersamaan. Bu Karto bersedia membantuku untuk merawat Bian.
"Saya bersedia membantu merawat Bian. Nak Alana ini sudah saya anggap anak sendiri. Jadi Bian juga cucu saya. Saya berterima kasih kepada Nak Alana sekeluarga yang sudah memberikan pekerjaan tetap kepada suami saya, sehingga Yanti bisa menyelesaikan sekolahnya dan dapur kami tetap ngebul. Tadinya mengandalkan hasil ojek Bapak dan juga hasil saya cuci gosok yang tidak tentu, kami seringnya bingung melunasi biaya sekolah Yanti. Dan beruntung nya lagi, Yanti bisa langsung kerja sekarang setelah lulus sekolahnya. Terima kasih ya, Nak Alana, Nak Rama." Ucap Bu Karto sambil menggendong Bian. Bian anteng sekali dalam gendongannya.
"Sama-sama, Bu. Saya juga berterima kasih kepada Pak Karto, dan Mbak Niken yang menemani istri saya merintis usaha kue ini dari nol. Mulai dari buka lapak sarapan sampai terima pesanan kue," sahut Mas Rama.
"Saya juga minta tolong khusus untuk besok, agar Bu Karto membantu membuat nasi urap untuk dibagi ke tetangga. Sebentar lagi Mas Rama akan belanja bahannya, besok tinggal diolah. Bisa ya, Bu?" tanyaku pada Bu Karto.
"Bisa sekali, Nak. Saya akan datang jam 6 besok, ya."
Malamnya Mas Rama belanja ke pasar induk untuk membeli bahan nasi urap sesuai catatan yang ku buat. Pasar Induk ini buka 24 jam. Malam pun banyak sayuran dan daging segar.
Setelah menyusu, Bian tertidur lelap. Ku siapkan bumbu untuk urap supaya dikupas Mas Rama. Sementara aku sendiri memilah-milah sayuran, lalu disimpan di kulkas. Malam ini ku siapkan bumbu dan sayuran saja. Memarut kelapa dan sisa lainnya, akan dilanjutkan besok. Suami ku pasti capek banget, seharian ini Mas Rama sudah menjadi suami dan ayah yang super buat aku dan Bian.
...****************...
Pagi itu Bu Karto benar-benar datang jam 6. Dengan cekatan, Bu Karto langsung mengolah bahan dan bumbu yang kami siapkan semalam. Aku hanya membantu sedikit karena dilarang untuk melakukan aktivitas berat. Mas Rama menjemur Bian di teras. Memasak lauk pauk dan urap telah selesai. Tinggal menunggu nasi agak mendingin, baru kami mengemas dalam kotak.
Bu Karto memintaku untuk mandi. Beliau sudah menyiapkan rebusan rempah yang katanya bagus buat ibu paska bersalin. Aku beruntung di kelilingi orang baik.
"Nak, mandi gih. Air rebusan rempahnya sudah Ibu siapkan di kamar mandi. Ini lagi rebus air untuk mandiin Bian," ucap Bu Karto.
"Bu, mandiin Biannya bisa nunggu saya selesai mandi? Saya mau belajar juga mandiin Bian."
"Baik, Nak. Ibu tunggu kamu selesai mandi saja."
Setelah aku mandi, kami bertiga memandikan Bian. Aku dan Mas Rama hanya menonton Bu Karto untuk belajar. Mandi sore nanti baru aku yang lakukan.
Aku dan Bu Karto lanjut mengemas nasi kotak, Mas Rama menjaga Bian di ruang tamu. Sebelumnya sudah ku sisihkan untuk keluarga Bapak, keluarga Mbak Raga, juga keluarga Bu Karto dan Bang Dono yang secara khusus dipesan suamiku.
Bu Karto sedang keliling mengantarkan nasi kotak ketika Mbak Raya, Dio dan Bu Atmaja datang.
"Selamat ya Rama dan Alana. Semoga Bian membawa kebahagiaan untuk keluarga kita. Akhirnya lengkap sudah keluarga kecil kalian." Mbak Raya menyodorkan kado yang ia bawa untuk Bian.
"Selamat Nak Rama dan Nak Alana. Semoga Bian bisa menjadi kebanggaan orang tuanya. Amiiin! -- Boleh ibu gendong, Nak?" tanya Bu Atmaja.
Mas Rama mengulurkan Bian untuk digendong ibu mertua Mbak Raya. Dio mengelus-elus jemari mungil Bian.
"Aamiin. Terima kasih atas doa-doanya, ya."
"Dedek Bian lucu ya, Bu. Dio gemeeeshh." Dio menoel pipi Bian, sementara Bian cuma membuka mulutnya.
Kami semua tertawa kecil melihat kelucuannya.
Sementara Dio, Mas Rama dan Bu Atmaja bermain bersama Bian, Mbak Raya mengikutiku ke dapur untuk membuatkan minum.
Mbak Raya berbisik, "Nanti kalau seumpama Ibu datang dan ngomong yang aneh-aneh lagi tidak usah dipedulikan ya, Na. Bapak bilang tadi nanti akan memaksa ibu untuk datang menengok cucunya. Sebenarnya maunya kemarin langsung ke klinik, tapi ada yang harus diselesaikan di kebun."
"Tenang aja, Mbak. Aku sudah mulai terbiasa kok, awalnya aja yang kaget," jawab ku.
"Aku kasian ama kalian, terutama Rama. Mau marah sampai gimanapun pasti gak bisa karena itu ibu yang melahirkannya. Tapi kalau mau nahan kok ya kelamaan dan kebangetan. Mbak minta tolong kamu, Na, kalau Rama sudah terlalu tertekan, tolong dibela ya. Mbak gak bisa nunggu ibu sampai datang. Malu juga ama mertua Mbak."
"Siap, Mbak. Semoga aja yang kita takutkan tidak terjadi."
"Semoga ya."
Kami kembali menghampiri Mas Rama dan Bu Atmaja sambil ku bawa teh manis hangat.
"Bian ganteng sekali ya, Na. Waktu hamil, kata Rama kamu gak ngidam ya?" Tanya bu Atmaja.
"Ngidam, Bu. Tapi, untungnya tidak aneh-aneh. Yang paling nyusahin kalau tidak salah maksa Mas Rama makan rujak gobet buatanku yang dari mangga muda dan nanas. Harus habis pula. Besoknya Mas Rama diare hehehehe."
"Iya, Bu. Mana Alana buatnya pedas, terus mangkoknya yang gede. Mangkok bakso itu lho bu. Mending kalo sedikit kan."
"Mungkin Bian ntar suka iseng. Ngisengin ayahnya." Mbak Raya terkekeh sambil menggoda Mas Rama.
Setelah kami ngobrol soal Bian dan usaha kue ku, Mbak Raya dan Bu Atmaja pamit.
Ku bawakan rantang yang berisi urap dan lauk pauk yang tadi kusiapkan. Mbak Raya berjanji lain kali akan datang bersama Mas Budi dan anak-anaknya.
Tidak lama dari Mbak Raya pergi, ku dengar pintu depan diketuk. Aku sedang menyusui Bian di kamar. Kudengar suara Bu Karto yang disusul suara Mas Rama.
Dari dalam, ku dengar suara Mas Rama, "Bapak, Ibu, silahkan masuk. Alana sedang menyusui Bian di dalam."
Ah rupanya bapak dan ibu sudah datang. Selesai menyusui Bian, ku bawa Bian yang sudah terlelap keluar. Kami juga menyiapkan kasur dan perlengkapan Bian di ruang tamu supaya Bu Karto tidak merasa sungkan harus masuk ke kamar untuk mengurusi Bian.
Ku ulurkan tangan pada bapak untuk mencium tangannya, kemudian beralih pada ibu. Ibu langsung menarik tangannya cepat seperti ogah tersentuh. Ku letakkan Bian di kasurnya.
"Maaf ya Pak, Bu, Bian baru tertidur setelah kenyang barusan." Aku meminta maaf kepada Bapak dan ibu karena mereka tidak bisa bermain dengan Bian.
"Tidak apa-apa, Na. Namanya juga bayi ... ya taunya habis kenyang terus tidur, terus buang air hahahaha. Semoga Bian benar-benar menjadi kebahagiaan keluarga kita. Amin," sahut Bapak.
Ibu melengos saja, tidak mengeluarkan satu katapun.
"Kamu tidak mau mendoakan cucumu, Bu? Ini cucu kandungmu lho, anaknya Rama." Bapak memandang lekat pada Ibu.
"Semoga tidak bawa sial kayak ayahnya."
"Astaga ...!"
Kami semua langsung mengelus dada. Termasuk bu Karto yang baru dari dapur membuatkan minuman. Aku mengelus pungung Mas Rama.
"Sebagai orang tua, coba lisan dijaga kalau bicara. Bersihkan hatimu dari kemarahan dan dendam yang sia-sia. Kalau tidak bisa bicara yang bagus, setidaknya jangan bicara yang jelek," tegur Bapak.
"Lho aku tidak mendoakan jelek lho, Pak. Aku cuma bilang semoga nasibnya tidak seperti ayahnya. Tidak ada yang jelek kan di situ?" Ibu tidak mau kalah.
"Terserah kamu aja lah, Bu. Terserah kamu kalau mau tersiksa sendiri dengan rasa marahmu yang tidak pada tempatnya itu."
Lalu semuanya terdiam sampai bu Karto selesai menyuguhkan teh.
"Ini Bu Karto, Pak. Beliau yang membantu Alana mengurus Bian karena Alana belum punya pengalaman merawat bayi. Takutnya salah penanganan." Kujelaskan siapa Bu Karto kepada Bapak, setelah Bu Karto menyuguhkan minuman.
"Syukurlah kalau sudah ada yang membantumu. Sejak kemarin Bapak kepikiran, apa bisa kamu mengurus bayimu sendiri. Maaf aja punya ibu satu, seperti ...."
Kata-kata bapak menggantung begitu saja kala Bulek Darmi tiba-tiba muncul di ambang pintu.
"Mbak Tini, sudah di sini rupanya? Untunglah kalau begitu." Bulek Darmi
langsung berceloteh dari arah pintu yang memang terbuka dari Bapak Ibu datang tadi.
Bapak menghela napas panjang, wajahnya tampak kesal.
"Datang itu ucapkan salam, Dar. Masa sudah tua harus diajari lagi," tegur Bapak.
Bulek hanya melengos. Gayanya mirip sama ibu kalau sedang begitu. Iya lah ya. Namanya juga adik kakak. Aku terus berdoa dalam hati jangan sampai ada huru hara lagi seperti waktu acara Mbak Marni.
"Jadi kalian tinggal di sini, toh? Kayak kandang burung aja, baru jalan berapa langkah ... sudah nemu tembok aja. Mana bayinya coba kulihat dia mirip siapa." Dengan arogannya, Bulek terus berkomentar sambil mengedarkan pandangannya ke penjuru kontrakanku.
"Ini anak kami, Bulek. Namanya Abian Dharmendra Kusuma, dipanggilnya Bian." Mas Rama menjelaskan dengan sabar sambil menunjukkan Bian yang sedang tidur.
"Lumayan lah tampangnya. Cuma nasibnya aja gak bagus karena lahir sebagai anaknya Rama yang bawa sial."
"DARMI ...!"
*
*
Bagus banget /Kiss/
Apalagi part di mana Alana hamil, ya ampun, saya sampai meneteskan air mata. /Good/