Di jantung kota Yogyakarta, yang dikenal dengan seni dan budayanya yang kaya, tinggal seorang wanita muda bernama Amara. Dia adalah guru seni di sebuah sekolah menengah, dan setiap harinya, Amara mengabdikan dirinya untuk menginspirasi siswa-siswanya melalui lukisan dan karya seni lainnya. Meski memiliki karir yang memuaskan, hati Amara justru terjebak dalam dilema yang rumit: dia dicintai oleh dua pria yang sangat berbeda.
Rian, sahabat masa kecil Amara, adalah sosok yang selalu ada untuknya. Dia adalah pemuda yang sederhana, tetapi penuh perhatian. Dengan gitar di tangannya, Rian sering menghabiskan malam di kafe-kafe kecil, memainkan lagu-lagu yang menggetarkan hati. Amara tahu bahwa Rian mencintainya tanpa syarat, dan kehadirannya memberikan rasa nyaman yang sulit dia temukan di tempat lain.
Di sisi lain, Darren adalah seorang seniman baru yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan tatapan yang tajam dan senyuman yang memikat, Darren membawa semangat baru dalam hidup Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon All Yovaldi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 _ Keputusan Yang Tak Terelakkan
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela kamar Amara. Suara burung berkicau di luar membuatnya terbangun dengan semangat. Namun, perasaan bingung yang menghantui semalaman masih tersisa. Pikiran tentang Rian dan Darren terus berputar di kepalanya. Haruskah dia memilih satu dari mereka, atau tetap berteman dengan keduanya?
Setelah berbenah, Amara memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan berangkat ke sekolah lebih awal. Sepanjang perjalanan, dia mendengarkan musik favoritnya, berharap bisa menemukan sedikit ketenangan. Setibanya di sekolah, suasana sudah ramai. Para siswa bercengkerama, dan tawa mereka mengisi udara.
Di kelas, Amara melihat Rian dan Darren sedang asyik berbincang. Rian tersenyum lebar, sedangkan Darren terlihat lebih serius. Amara merasa ada yang berbeda dalam interaksi mereka. Tanpa sadar, dia mulai merasa cemas.
“Hey, Mara!” sapaan Lila memecah konsentrasinya. “Kamu udah denger rumor terbaru?”
“Rumor apa?” tanya Amara penasaran.
“Katanya ada acara kemping bareng kelas kita akhir pekan ini! Gimana kalau kita ikutan?” Lila menjelaskan dengan antusias.
Amara merasa bersemangat. “Wah, seru tuh! Pasti bakal banyak momen seru. Kita bisa deket-deketan sama Rian dan Darren juga,” balasnya sambil tersenyum.
“Ayo! Kita daftar sekarang!” ajak Lila, menarik tangan Amara menuju papan pengumuman.
Setelah mendaftar, Amara kembali ke kelas dengan semangat baru. Rian dan Darren sudah duduk di bangku belakang, terlihat akrab. “Eh, Rian, Darren! Kita ikut acara kemping akhir pekan ini, lho!” serunya.
“Serius? Keren!” Rian berseru dengan senyum lebar. “Kita bisa seru-seruan bareng!”
Darren hanya mengangguk, terlihat sedikit lebih pendiam. Amara berusaha menangkap sorot mata Darren, tapi dia malah mengalihkan pandangan ke luar jendela. Kenapa tiba-tiba terasa begitu tegang?
Pelajaran berlangsung seperti biasa, tetapi Amara merasa suasana menjadi tidak nyaman. Dia melihat Rian dan Darren berkomunikasi dengan nada serius. Ketika bel istirahat berbunyi, Amara segera melangkah menuju mereka. “Eh, kalian ngapain? Kayak ada yang gak enak aja,” tanyanya.
“Gak kok, kita lagi ngobrol tentang rencana kemping,” jawab Rian, tetapi ekspresi wajahnya terlihat tidak secerah sebelumnya.
“Bener, kita bakal seru-seruan. Jangan khawatir,” tambah Darren, meski nada suaranya sedikit datar.
Amara merasa ada sesuatu yang mengganjal. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan berkata, “Kita harus bersenang-senang. Jangan sampai suasana jadi canggung gini!”
Dengan semangat, mereka mulai membahas persiapan untuk kemping. Amara berusaha menahan perasaannya dan hanya fokus pada rencana seru yang akan datang. Namun, ketika malam tiba, semua pikiran itu kembali menghantui.
Hari kemping tiba. Semua orang tampak bersemangat, termasuk Amara. Dia mengenakan baju kasual yang nyaman dan membawa peralatan yang diperlukan. Saat sampai di lokasi, dia langsung merasakan energi positif dari teman-temannya. Suasana hutan yang sejuk dan segar menambah suasana ceria.
Rian dan Darren tampak bersemangat membantu menyiapkan tenda. Amara pun ikut membantu, meski lebih banyak canda tawa daripada kerja keras. “Gimana sih, Mara? Ini tenda bukan origami, lho!” canda Rian sambil tersenyum.
“Eh, aku kan baru pertama kali! Beri aku kesempatan!” balas Amara, pura-pura kesal. Semua orang tertawa, termasuk Darren yang terlihat lebih santai.
Setelah semua persiapan selesai, mereka berkumpul untuk makan siang. Makanan yang dibawa oleh semua siswa membuat suasana semakin hangat. Amara duduk di antara Rian dan Darren, merasakan kehangatan yang berbeda.
“Jadi, siapa yang mau bercerita horror malam ini?” tanya salah satu temannya, menarik perhatian semua orang.
“Gue! Gue mau!” teriak Rian dengan semangat. “Denger cerita horror dari gue, pasti bikin merinding!”
Amara menatap Rian, merasakan hatinya bergetar. Dia merindukan saat-saat di mana mereka berbagi tawa tanpa rasa canggung. “Oke, kita siap untuk cerita horror!” serunya, berusaha kembali ke suasana ceria.
Setelah makan, mereka mulai menjelajahi hutan. Amara, Rian, dan Darren berjalan berdampingan. Satu momen yang terasa nyaman, tapi di dalam hatinya, ada rasa bingung yang terus mengganggu.
“Eh, Mara, lihat! Itu ada jalur setapak! Ayo kita coba!” ajak Rian, menunjuk ke arah jalan kecil yang terlihat menarik.
“Yuk!” sahut Amara dengan semangat. Darren mengikuti di belakang, tampak lebih pendiam.
Ketika mereka menjelajahi hutan, Rian dan Amara mulai bercerita tentang pengalaman seru mereka di masa lalu. Tawa dan cerita mengalir tanpa henti. Namun, saat mereka berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan, Amara merasakan tatapan Darren yang penuh arti.
“Mara, kamu pernah mikir tentang masa depan kita?” tanya Darren, tiba-tiba.
Amara tertegun, tidak tahu harus menjawab apa. “Maksudnya?” tanyanya, berusaha untuk tidak terlihat gugup.
“Ya, tentang pilihan kita. Dan tentang kamu…” Darren mengalihkan pandangannya, tampak ragu.
Rian, yang mendengar percakapan itu, segera berkata, “Eh, apa yang kamu bicarakan? Kita masih muda, nikmati aja dulu!”
Amara merasakan tekanan di dada. Dia tidak ingin merusak momen indah ini dengan kejujuran yang mungkin menyakitkan. “Iya, kita harus nikmati momen ini dulu!” sahutnya, berusaha kembali ceria.
Malam itu, saat mereka berkumpul di sekitar api unggun, Rian mulai bercerita. Suaranya mengalun, membuat semua orang terdiam. “Dulu, aku pernah berkemah sendirian dan melihat bayangan aneh. Semua orang bilang itu hantu, tapi aku gak percaya,” katanya, membuat semua orang tegang.
Darren tersenyum, tetapi Amara merasakan ketegangan yang berbeda. Rian terus bercerita, sementara Amara terjebak antara dua dunia. Ketika semua orang tertawa, dia merasa terisolasi.
Setelah semua cerita selesai, Rian dan Darren mulai berdebat tentang hal-hal sepele, membuat suasana semakin hangat. Amara hanya tersenyum, tetapi di dalam hati, dia merasa beban yang semakin berat.
Ketika semua orang tidur, Amara tidak bisa tidur. Dia keluar dari tenda, berjalan-jalan di sekitar area perkemahan. Suara alam dan dinginnya malam membuatnya merenung. Dia merindukan momen ketika hidupnya lebih sederhana, tanpa harus memilih antara dua hati.
Tak lama kemudian, Rian mengikuti Amara. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya lembut.
Amara mengangguk, tetapi tidak bisa menyembunyikan keraguannya. “Cuma… banyak yang dipikirkan.”
Rian menghela napas, tampak serius. “Mara, kalau ada yang ingin kamu bicarakan, aku di sini.”
Amara merasa harapannya bangkit. “Rian, kadang aku bingung. Antara kamu dan Darren, aku gak mau ada yang sakit hati. Kalian berdua penting buatku.”
Rian terdiam, seolah mencerna kata-katanya. “Aku mengerti, Mara. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, apa pun yang kamu pilih, aku akan mendukungmu.”
Air mata mulai menggenang di mata Amara. “Aku tidak ingin membuat keputusan yang salah.”
“Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Cinta tidak selalu harus memilih,” Rian berusaha meyakinkan.
Amara merasa sedikit lega, tetapi hatinya masih bergetar. “Terima kasih, Rian. Kamu selalu ada untukku.”
Rian tersenyum, dan dalam sekejap, Amara merasakan kehangatan dari persahabatan mereka. Namun, saat itu, Darren muncul dari arah lain. “Eh, kalian berdua ngapain?” tanyanya dengan nada curiga.
Amara segera berusaha menutupi kebingungan dalam hatinya. “Cuma ngobrol, Darren,” jawabnya.
Darren menatap mereka, dan Amara bisa merasakan ketegangan di udara. Dia tahu, malam ini akan mengubah segalanya.
Dengan semua perasaan yang tak terucapkan, Amara tahu dia harus segera memilih. Pilihan yang mungkin akan mengubah jalannya hidupnya selamanya.
Ketika pagi datang, Amara terbangun dengan pikiran yang jelas. Dia harus membuat keputusan. Hari ini, dia akan menghadapi semua perasaannya. Baik Rian maupun Darren pantas mendapatkan kejelasan dari hati Amara. Dengan tekad bulat, dia bangkit dari tempat tidurnya dan bersiap untuk menghadapi apa pun yang terjadi.
Setelah sarapan, suasana kembali ceria. Teman-teman berkumpul di dekat api unggun untuk merencanakan aktivitas selanjutnya. Rian dan Darren tampak antusias, tetapi Amara bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Rian mengajukan ide untuk bermain game di luar tenda, sementara Darren lebih memilih melakukan hiking ke puncak bukit di dekatnya.
Amara merasakan dorongan untuk ikut kedua rencana tersebut, tetapi dia tahu dia harus segera berbicara dengan mereka. Dia memutuskan untuk mendekati Rian terlebih dahulu. “Rian, bisa bicara sebentar?” katanya, menarik Rian ke samping.
“Sure, Mara. Ada apa?” Rian menatapnya dengan rasa penasaran.
“Aku… aku perlu bilang sesuatu,” Amara mengumpulkan keberanian. “Aku bingung dengan perasaanku. Kamu tahu aku menghargai kita, tapi… aku merasa berat memikirkan Darren juga.”
Rian terlihat serius mendengarkan. “Mara, kamu tidak perlu terburu-buru untuk memilih. Aku hanya ingin kamu bahagia. Kalau memang kita harus ambil jarak, aku mengerti.”
Amara menggelengkan kepala. “Aku tidak mau menjauh dari kamu. Aku hanya ingin semua jelas. Kamu dan Darren adalah teman terdekatku, dan aku tidak ingin menyakiti perasaan kalian.”
“Jadi, kamu masih ingin kita berteman?” Rian bertanya, terlihat lebih tenang.
“Ya, tapi aku perlu tahu apa perasaanmu juga. Apakah kamu benar-benar siap untuk berteman tanpa ada rasa yang lebih?” Amara meminta kejelasan.
Rian menghela napas, menciptakan keheningan di antara mereka. “Aku suka kamu, Mara. Tapi aku juga ingin kamu tahu bahwa kebahagiaanmu lebih penting. Apa pun keputusanmu, aku akan mendukungnya.”
Amara merasakan campuran perasaan antara bahagia dan sedih. Dia tidak ingin kehilangan kedekatan ini, tetapi hatinya berdegup kencang. “Terima kasih, Rian. Aku akan mempertimbangkan semuanya.”
Setelah berbicara dengan Rian, Amara merasa sedikit lebih tenang. Namun, ada satu hal yang harus dia lakukan: berbicara dengan Darren. Dengan langkah pelan, dia mencari Darren yang sedang bersiap untuk hiking.
“Darren, bisa kita bicara?” Amara bertanya, berusaha menahan rasa gugup.
“Ya, tentu. Ada apa?” Darren menatapnya, sedikit curiga tetapi juga tertarik.
“Sekarang kita di sini, dan aku merasa perlu untuk jujur sama kamu,” Amara mulai berbicara, berusaha menjaga ketenangan.
“Jujur, Mara. Aku juga ingin kamu tahu tentang perasaanku. Aku suka kamu, tapi aku tidak ingin mengganggu hubunganmu dengan Rian,” Darren menjelaskan, suaranya tenang.
“Aku tahu. Dan itu yang membuat semuanya lebih sulit. Aku suka kalian berdua, tetapi aku tidak ingin membuat salah satu dari kalian merasa dikhianati,” Amara mengakui.
Darren mengangguk, terlihat mengerti. “Cinta itu rumit, ya. Tapi aku percaya bahwa kita bisa menemukan jalan. Bagaimana kalau kita tidak terburu-buru? Kita bisa jalani semuanya, biarkan perasaan berkembang tanpa harus memilih sekarang.”
Amara merasakan beban yang lebih ringan. “Maksudmu, kita bisa berteman dan melihat bagaimana semuanya berjalan?” tanyanya, memastikan.
“Ya, kenapa tidak? Kita semua masih muda, dan masih banyak waktu untuk memahami perasaan kita,” Darren tersenyum, membuat Amara merasa lebih tenang.
Dia mengangguk, merasa bersyukur atas pemahaman yang ditawarkan Darren. “Oke, kita coba jalani dengan santai. Aku tidak ingin terburu-buru.”
Setelah percakapan itu, Amara merasa seolah telah membuang sebagian dari beban yang ada di pundaknya. Dengan semangat baru, mereka kembali bergabung dengan teman-teman mereka yang sudah siap untuk hiking. Rian dan Darren berjalan di sampingnya, masing-masing memberikan dukungan yang membuat hatinya hangat.
Perjalanan hiking ke puncak bukit ternyata lebih menantang dari yang mereka bayangkan. Jalurnya cukup curam dan berliku, tetapi semua orang tampak antusias. Tawa dan canda mengisi udara, menambah kesenangan di setiap langkah.
Selama perjalanan, Amara berada di tengah antara Rian dan Darren. Mereka bertiga sering berbincang, saling berbagi cerita lucu. Amara menyadari betapa berartinya momen-momen kecil ini, dan dia bertekad untuk tidak membiarkan keraguan menghantuinya.
Setibanya di puncak bukit, pemandangan yang luar biasa menyambut mereka. Hijau pepohonan dan birunya langit menciptakan panorama yang sempurna. Semua orang berteriak kegirangan, mengambil foto dan mengabadikan momen itu.
“Mara, ayo kita selfie!” seru Rian, mengeluarkan ponselnya.
Amara tersenyum lebar, ikut berpose dengan mereka. “Senyum! Satu, dua, tiga!”
Klick! Momen itu terabadikan dalam ingatan mereka. Rian dan Darren bergantian memposting foto itu di media sosial, dan Amara merasa senang bisa berbagi kebahagiaan dengan mereka.
Setelah beristirahat sejenak, mereka mulai kembali turun. Sepanjang perjalanan pulang, Amara merasa lebih ringan. Mungkin ini saatnya untuk tidak berpikir berlebihan dan lebih menikmati kebersamaan.
Ketika malam tiba, mereka kembali berkumpul di sekitar api unggun. Suasana hangat dan penuh tawa. Rian mulai bercerita tentang pengalamannya saat pertama kali berkemah, sementara Darren sesekali menimpali dengan komentar lucu.
Amara merasa bahagia melihat mereka semua bersenang-senang. Ketika malam semakin larut, Rian berdiri dan berkata, “Oke, siapa yang mau bercerita? Ini saatnya kita bikin malam ini tak terlupakan!”
Semua orang mengangguk antusias. Amara tersenyum, merasa bersyukur atas teman-temannya. Meski ada rasa bingung di hatinya, dia tahu bahwa momen-momen ini adalah bagian terindah dari hidupnya.
Ketika semua cerita telah dibagikan, Amara merasakan kehangatan dari dua hati yang mengelilinginya. “Aku senang bisa berbagi momen ini dengan kalian,” ucapnya tulus.
Rian dan Darren tersenyum bersamaan. “Kami juga, Mara. Kita akan selalu ada untukmu,” balas mereka berdua, menciptakan momen yang tak terlupakan.
Malam itu, Amara tidur dengan hati yang penuh harapan. Dia tahu bahwa perjalanan cinta ini masih panjang dan berliku. Namun, dengan Rian dan Darren di sisinya, dia merasa siap menghadapi semua tantangan yang akan datang.
Pagi hari berikutnya, mereka semua bangun dengan semangat baru. Amara menghabiskan waktu bersama teman-temannya, bercanda dan tertawa. Dia merasa lebih dekat dengan mereka, dan semua keraguannya mulai memudar.
Tiba-tiba, Lila muncul dan mengajak Amara untuk berjalan-jalan di sekitar perkemahan. “Mara, ada yang ingin kubicarakan,” katanya dengan nada serius.
“Eh, kenapa, Lil?” Amara bertanya, merasa sedikit curiga.
“Gini, aku lihat kamu dekat banget sama Rian dan Darren. Kamu nggak bingung sama perasaanmu?” tanya Lila, langsung ke pokok permasalahan.
Amara terdiam sejenak. “Sebenarnya, aku memang bingung. Tapi sekarang, aku rasa aku bisa jalani semuanya dengan lebih santai,” jawabnya.
“Baguslah! Kamu harus tetap bahagia, Mara. Apapun yang terjadi, pilih yang bikin kamu nyaman,” Lila memberi semangat.
Amara mengangguk, merasa terinspirasi oleh kata-kata Lila. Dengan dukungan teman-temannya, dia merasa lebih percaya diri untuk menghadapi perasaannya.
Dengan hari-hari cerah di depan, Amara merasa optimis. Dia akan menjalani perjalanan ini dengan langkah yang tenang, mengandalkan kejujuran dan persahabatan. Dia siap menghadapi apa pun yang akan datang, karena dia tahu, cinta itu indah, bahkan ketika harus memilih di antara dua hati.
...----------------Happy reading---------------...
🫰🫰🫰🫰Nahhh Guysss.....Jadi Episode ini berakhir dengan Amara yang berdiri di antara dua jalan, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia merasa siap untuk melanjutkan petualangannya, menciptakan cerita cinta yang penuh warna, meski kadang harus menghadapi tantangan.
Akhirnya, Amara tahu satu hal pasti: perjalanan ini baru saja dimulai, dan dia tidak akan sendirian.
Guys Kalian Cukup baca aja ya kisah Nya jangan Tiruin Sikapnya itu🥲
#Jangan ya dek ya
Next Part
semangat berkarya../Determined//Determined//Determined/