Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keajaiban Dzikir di Hari Ke-15
10.1. Kekuatan Dzikir yang Menyelamatkan
Hari ke-15 di dalam bunker yang gelap gulita. Waktu seakan berlalu begitu lambat, namun keajaiban dzikir benar-benar terasa bagi mereka yang beriman. Mereka telah melewati masa-masa sulit tanpa makanan dan hanya sedikit air. Kondisi fisik mereka semakin lemah, tapi dzikir menjadi satu-satunya penopang yang membuat mereka bertahan hidup.
Di sudut bunker, Sarah dan Maria berbicara pelan. Wajah mereka sudah terlihat tirus, bibir mulai kering, namun mata mereka tetap penuh harapan.
“Aku tidak menyangka bisa bertahan selama ini, Maria. Setiap kali aku merasa kelaparan, dzikir itu seperti menjadi makanan bagi ruhku,” kata Sarah dengan suara serak.
Maria mengangguk, “Iya, aku juga. Ini benar-benar seperti mukjizat. Kita hanya bisa bersandar pada Allah di masa-masa seperti ini.”
Ulama yang duduk di tengah bunker mendengar percakapan itu. Dia mengangguk pelan, tersenyum, lalu berdiri dengan tenang. “Saudara-saudaraku, kita telah bertahan selama 15 hari berkat rahmat Allah. Ingatlah, bukan makanan atau minuman yang menjaga kita, melainkan dzikir yang kita ucapkan. Allah selalu bersama kita selama kita tidak melupakan-Nya.”
Hasan, salah satu penghuni bunker, yang biasanya pendiam, tiba-tiba mengangkat tangannya. "Tuan ulama," panggilnya, "apakah kita benar-benar bisa bertahan selamanya seperti ini? Tanpa makan, tanpa minum?"
Ulama tersenyum penuh kebijaksanaan. "Saudaraku, tubuh kita memang membutuhkan makanan dan minuman. Tapi jangan lupa, ruh kita membutuhkan dzikir. Ketika ruh kita terhubung dengan Allah, Dia yang memberi kita kekuatan untuk bertahan. Inilah ujian bagi kita semua."
10.2. Kekuatan Iman dan Rasa Syukur
Di pojok bunker lainnya, Jono, yang sebelumnya selalu gelisah, kini tampak lebih tenang. Dia menghela napas panjang dan merunduk, hatinya penuh dengan rasa syukur. "Ulama, aku merasa semakin hari dzikir ini bukan sekadar kata-kata, tapi benar-benar menguatkan jiwaku. Tapi jujur saja, aku masih merasa takut. Bagaimana jika kita tidak bisa keluar dari sini?"
Ulama mendekati Jono dan menepuk pundaknya. “Rasa takut itu manusiawi, Jono. Tapi selama kita bersandar pada Allah, ketakutan kita akan berubah menjadi harapan. Jangan biarkan rasa takut menguasai hatimu. Dzikir adalah pengingat bahwa kita tidak pernah sendirian. Kita selalu ada dalam pengawasan Allah.”
Orang-orang lainnya mulai mengangguk, merasakan ketenangan dari kata-kata ulama tersebut. Mereka menyadari bahwa di tengah kelaparan dan kegelapan, hanya dzikir yang bisa memberikan harapan. Sejak hari pertama, mereka terus memperbanyak dzikir, dan itu menjadi semacam ritual yang membuat mereka merasa lebih kuat.
10.3. Orang Kafir yang Ingin Bergabung
Namun, di sudut lain bunker, salah satu orang kafir yang terlihat semakin putus asa mulai bergerak mendekati ulama. Tubuhnya semakin lemah, dan napasnya tersengal-sengal karena kekurangan air.
Dengan suara bergetar, dia berbicara, “Ulama... bisakah aku bergabung dengan kalian? Aku... aku tidak tahan lagi. Aku sudah mencoba segalanya, tapi tubuhku semakin lemah. Apakah masih ada harapan bagiku?”
Ulama memandangnya dengan penuh kasih. “Tentu saja, saudaraku. Allah selalu membuka pintu taubat bagi siapa saja yang ingin kembali kepada-Nya. Yang perlu kamu lakukan hanyalah bersungguh-sungguh. Bacalah dua kalimat syahadat, dan Allah akan membimbingmu.”
Orang kafir itu meneteskan air mata. Dengan penuh rasa haru, dia mengucapkan dua kalimat syahadat: "Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullah."
Ulama tersenyum. “Sekarang, kamu sudah menjadi bagian dari kami. Dzikir adalah makanan bagi ruhmu. Insya Allah, kamu akan merasakan kekuatan yang sama seperti kami.”
Orang-orang beriman di bunker itu menyambutnya dengan senyuman dan pelukan hangat. Meskipun mereka semua masih dalam situasi yang sulit, mereka merasa bahwa iman mereka semakin kuat.
10.4. Bau Tak Sedap dan Momen yang Meringankan Suasana
Meskipun mereka bertahan hidup dengan dzikir, tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi fisik mereka semakin memburuk. Bau tak sedap mulai menyelimuti bunker karena tubuh yang tak terurus dan tidak ada mandi selama 15 hari. Mulut mereka juga mulai berbau busuk karena tidak ada makanan yang masuk.
Di tengah suasana serius itu, tiba-tiba seseorang mengeluh, “Aduh, mulut siapa nih yang baunya seperti bangkai?”
Yang lain tertawa kecil meskipun lelah. “Jangan-jangan mulut kita semua sudah bau, nih!” celetuk seseorang dari sudut bunker.
Tawa mereka, meskipun singkat, sedikit meringankan suasana yang penuh ketegangan itu. Bahkan ulama pun tersenyum kecil. “Saudaraku, tidak apa-apa. Bau mulut kita mungkin tak sedap, tapi biarlah dzikir kita tetap wangi di hadapan Allah.”
Suasana menjadi lebih ringan setelah momen itu, meskipun kondisi mereka tetap sulit. Mereka tahu bahwa perjuangan belum berakhir, namun selama dzikir masih menjadi bagian dari hidup mereka, mereka merasa bisa terus bertahan.
10.5. Kekuatan Dzikir di Tengah Ujian Berat
Dengan semangat yang sedikit terangkat, mereka kembali melanjutkan dzikir, meskipun rasa lapar dan haus terus menghantui. Ulama terus mengingatkan mereka bahwa ujian ini adalah bagian dari takdir Allah dan hanya mereka yang bertahan dengan iman yang kuat akan mendapatkan pahala besar di akhirat.
"Saudara-saudaraku," kata ulama itu lagi, "jangan pernah putus asa. Setiap dzikir yang kita ucapkan adalah langkah kita menuju keselamatan. Kita tidak tahu kapan ujian ini akan berakhir, tapi yakinlah, Allah tidak akan membiarkan kita sia-sia."
Dan dengan begitu, mereka melanjutkan perjalanan spiritual mereka di dalam bunker yang gelap. Setiap hari, dzikir menjadi cahaya yang menerangi kegelapan hati mereka, memberikan mereka kekuatan untuk bertahan meskipun dunia di luar masih diliputi dukhon.
Hari ke-15 di bunker, penuh dengan cobaan dan keteguhan iman. Dzikir menjadi satu-satunya cara mereka bertahan dalam situasi yang seakan tak berujung. Namun, di balik semua kesulitan, ada keajaiban yang terus terjadi di hati-hati yang beriman.
10.6. Nekad Membuka Pintu Bunker
Di hari ke-15 itu, suasana dalam bunker semakin sunyi. Dzikir masih bergema, namun rasa penat mulai melanda semua orang, termasuk mereka yang beriman. Salah satu dari mereka, seorang muslim bernama Farhan, sudah sangat gelisah. Tekanan berada dalam kegelapan selama ini membuatnya hampir kehilangan akal. Setiap hari rasanya seperti penantian tak berujung.
Dengan napas berat dan tangan gemetar, dia bangkit dari sudut tempatnya duduk. "Aku tidak bisa terus seperti ini... kita harus tahu apa yang terjadi di luar," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada orang lain.
Farhan berjalan perlahan menuju pintu bunker, tatapan matanya penuh keraguan. Orang-orang di sekitarnya memperhatikan gerak-geriknya, tapi mereka terlalu lelah dan letih untuk menegur atau menghentikannya. Ulama yang duduk di sisi lain bunker, mendengarnya, namun memilih untuk tidak langsung bicara, membiarkan Farhan mengambil keputusannya sendiri.
Dengan hati-hati, Farhan meraih pegangan pintu besi yang berat itu. Tangannya bergetar saat dia perlahan memutarnya, membuka sedikit celah. Udara dari luar masuk, mengalir pelan ke dalam bunker yang pengap. Farhan menahan napas, matanya mengerjap mencoba menembus kegelapan yang masih pekat di luar.
Namun, sesuatu membuatnya terkejut. “Hawanya... sudah tidak panas lagi...” katanya pelan dengan penuh keheranan. Dia merasa angin yang masuk itu tidak membawa panas yang mengerikan seperti sebelumnya.
Farhan sedikit membuka pintu lebih lebar, memastikan apa yang dirasakannya. Orang-orang di belakangnya mulai mengangkat kepala, mendengarkan dengan penuh perhatian. Namun, di luar bunker, meskipun tidak lagi terasa panas, kegelapan masih melanda, seperti kabut pekat yang menutupi seluruh permukaan bumi.
"Gelap... gelap sekali di luar," gumam Farhan dengan mata membelalak. Debu dukhon yang biasanya memenuhi udara sepertinya mulai berkurang, tapi tidak ada sedikit pun cahaya yang terlihat.
Orang-orang yang beriman mendekat, penasaran dengan apa yang ditemukan Farhan. Mereka masih waspada, tidak mau mengambil risiko terlalu besar. Salah satu dari mereka menarik Farhan kembali ke dalam, “Tutup pintunya, kita belum tahu apa yang ada di luar sana.”
Farhan mengangguk, menutup pintu bunker dengan cepat. Keringat dingin membasahi dahinya. “Kita masih belum bisa keluar... tapi setidaknya, hawanya sudah tidak panas lagi. Apakah ini tanda bahwa ujian kita akan segera berakhir?” tanyanya penuh harap, memandang ulama yang duduk tak jauh darinya.
Ulama itu menatap Farhan dengan bijaksana, “Mungkin ini adalah pertanda, mungkin juga belum. Kita masih harus bersabar dan terus berpegang teguh pada dzikir. Allah pasti memberikan petunjuk kepada hamba-Nya yang sabar.”
Kata-kata ulama itu menenangkan hati semua orang di bunker, meskipun rasa penasaran dan harapan mulai tumbuh dalam diri mereka. Mereka kini semakin yakin bahwa pertolongan Allah semakin dekat, namun ujian kesabaran mereka masih belum sepenuhnya berakhir.