NovelToon NovelToon
Gamer Siblings Who Become The World'S Apocalypse

Gamer Siblings Who Become The World'S Apocalypse

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Pemain Terhebat / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Isekai
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Alif R. F.

Samael dan Isabel, dua bersaudara yang sudah lama tinggal bersama sejak mereka diasuh oleh orang tua angkat mereka, dan sudah bersama-sama sejak berada di fasilitas pemerintah sebagai salah satu dari anak hasil program bayi tabung.

Kedua kakak beradik menggunakan kapsul DDVR untuk memainkan game MMORPG dan sudah memainkannya sejak 8 tahun lamanya. Mereka berdua menjadi salah satu yang terkuat dengan guild mereka yang hanya diisi oleh mereka berdua dan ratusan ribu NPC hasil ciptaan dan summon mereka sendiri.

Di tengah permainan, tiba-tiba saja mereka semua berpindah ke dunia lain, ke tengah-tengah kutub utara yang bersalju bersama dengan seluruh HQ guild mereka dan seisinya. Dan di dunia itu, di dunia yang sudah delapan kali diinvasi oleh entitas Malapetaka, orang-orang justru memanggil mereka; Kiamat Dunia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alif R. F., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#10 – The Empress’s Assignment

Haera, sang Maharani Kekaisaran Elf, duduk dalam keheningan di bak mandi marmer besar yang dipenuhi air dingin. Air menyentuh kulitnya dengan lembut, seolah berusaha menenangkan pikiran yang tak henti berputar.

Pandangannya kosong, tertuju ke jendela besar yang memperlihatkan hamparan salju kubah sentral yang kini diselimuti cahaya terang dari matahari asing yang perlahan mulai mencarikan mereka. Matahari yang muncul tiba-tiba, mengusik kesunyian malam kubah sentral yang sebelumnya diperpanjang karena fenomena alam yang tidak diketahui.

Sore itu, setelah pertemuan panjang dengan para jenderal nya, Haera merasa butuh waktu untuk menyendiri. Pertemuan itu tak lain membahas ancaman baru yang mengintai dari pulau melayang di langit, membawa serta matahari buatan yang memecah kegelapan panjang di kubah sentral.

Berbeda dari ancaman malapetaka yang pernah dihadapi sebelumnya, kali ini musuh tak hanya berupa entitas super kuat, tetapi ikut membawa objek kolosal yang ikut merubah alam di sekitarnya.

Sambil berendam, pikirannya terus berkecamuk. "Bagaimana aku bisa mengalahkan entitas ini?" batinnya.

Malapetaka sebelumnya hanyalah kelompok-kelompok yang berisi makhluk kuat, tetapi kali ini … ini jauh melampaui kekuatannya. Daratan kubah sentral yang biasanya diselimuti kegelapan musim dingin selama dua bulan kini diterangi oleh matahari buatan itu. Cahaya yang seakan-akan mengejek ketidakberdayaan mereka, mengingatkan betapa kecilnya kekuatan mereka di hadapan ancaman baru ini.

"Pulau melayang di langit … siapa sebenarnya yang tinggal di sana?" gumam Haera. Bayangannya tentang penghuni pulau itu membuat hatinya diliputi kegelisahan.

Di dalam lamunannya, ia memikirkan berbagai strategi, taktik, cara menghancurkan pulau melayang yang bahkan memiliki matahari nya sendiri. Namun, tak ada jawaban pasti. Bahkan kapal udara yang dijanjikan kepadanya, hanyalah sebuah asuransi baginya dan bukan kepastian.

Saat ia menatap jam dinding di sudut ruangan, jarum sudah menunjuk pukul enam. "Di musim panas biasanya matahari hanya terbenam sebentar," gumam Haera, "sekitar satu atau dua jam saja."

Ia mengingat tentang matahari palsu yang kini menerangi kubah sentral, sudah bersinar selama enam jam lamanya. “Apa yang akan terjadi setelahnya? Apakah jam-jam ini nantinya akan menjadi tidak ada gunanya?”

Namun, tak lama setelah ia berpikir demikian, sesuatu yang tak terduga terjadi. Matahari asing itu, yang selama enam jam lamanya menerangi daratan utara, tiba-tiba saja padam.

Cahaya terang yang memecah malam selama enam jam seketika menghilang, digantikan oleh kegelapan pekat yang menelan segalanya dalam sekejap. Haera terdiam, tubuhnya membeku dalam air dingin.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan keras di pintu membuyarkan lamunannya. "Paduka, ada yang terjadi!" Suara Nanthaliene, putri mahkota, terdengar dari balik pintu. "Matahari itu … hilang!"

Haera bangkit dari bak mandi dengan cepat, air menetes dari tubuhnya saat ia meraih jubah. Dengan langkah tegas, ia membuka pintu dan menatap wajah Nanthaliene yang penuh kegelisahan.

"Aku tahu," ucap Haera singkat.

Kegelapan yang tiba-tiba menyelimuti daratan utara ini lebih dari sekadar fenomena aneh. Ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar, dan mereka harus bersiap.

Dari balik dinding donjon, para prajurit yang berbaris di atas benteng juga menyaksikan perubahan dramatis itu. Langit yang selama enam jam penuh dengan cahaya kini tenggelam dalam kegelapan total. Tanpa tanda, tanpa peringatan, matahari asing itu lenyap, menyisakan pertanyaan besar bagi semua yang melihatnya.

Haera menatap keluar dari jendela besar sekali lagi, kali ini dengan perasaan yang lebih berat. "Apa ini hanya awal?" gumamnya. "Atau ini adalah pertanda dari malapetaka yang akan datang?" Kegelapan yang kembali menyelimuti kubah sentral kini terasa lebih mencekam dari sebelumnya.

***.

Lonceng besar di tengah-tengah kompleks kastil berdentang keras, menggema ke seluruh penjuru pos 9. Para prajurit elf berlarian ke segala arah, bersiap siaga dengan wajah tegang.

Haera, masih mengenakan jubah mandi, segera keluar dari kamarnya, dengan Nanthaliene setia di sampingnya. Kepanikan di udara terasa jelas, sementara langit yang tiba-tiba gelap menyelimuti daratan dengan suasana mencekam.

Sihir otomatis yang mengatur pencahayaan di kastil dan bangunan-bangunan sekitar rusak total. Lampu-lampu yang biasanya menyala secara teratur berdasarkan siklus siang dan malam kini tak sanggup menghadapi perubahan mendadak sehingga membuatnya hubung singkat dan meledak.

Dengan suara berderak, bola-bola kristal di atas gedung-gedung meledak satu per satu. Pecahan kaca berkilau jatuh ke tanah, disertai percikan sihir yang gagal disalurkan. Aliran energi sihir yang tadinya stabil, berubah kacau, seperti sungai yang tiba-tiba dibendung.

“Ledakan ini … bukan hanya di sini. Seluruh pos pasti mengalami hal yang sama,” kata Haera dengan nada tenang namun berwibawa.

Di kepalanya, dia menghitung jarak antar pos di benteng kolosal ini. Sebanyak 60 pos tersebar dengan jarak sekitar 150 kilometer satu sama lain. Setiap pos terhubung dengan kristal komunikasi untuk berkomunikasi jarak jauh, dan gerbong-gerbong terbang menjadi satu-satunya cara cepat untuk bergerak di antara benteng-benteng besar.

Namun sekarang, semua komunikasi terputus. Aliran sihir yang menghidupi kristal-kristal komunikasi ikut terganggu akibat ledakan energi tiba-tiba.

Nanthaliene menoleh, wajahnya penuh kecemasan. "Gerbong-gerbong terbang tampaknya juga tidak bisa digunakan. Beberapa banyak yang tidak bisa digunakan karena belum sempat diisi. Bagaimana kita bisa mengetahui keadaan pos lain?"

Haera diam sejenak, menganalisis situasi. "Untuk sekarang, kita buta. Semua 59 pos lainnya mungkin mengalami nasib yang sama. Tapi kita harus bergerak cepat." Dengan ayunan tangan yang halus namun bertenaga, Haera memanggil sihirnya. Cahaya lembut menyebar dari telapak tangannya, menerangi jalan menuju pintu keluar kastil.

Kemudian bersama Nanthaliene, mereka bergegas keluar, melewati lorong-lorong yang kini gelap gulita.

Di luar, udara dingin mulai terasa lebih menusuk. Suhu jatuh drastis setelah matahari palsu itu padam, dan tanpa sistem pemanas yang biasanya menjaga suhu di dalam benteng, para prajurit mulai kesulitan menghadapi dingin kubah sentral yang kembali menyelimuti mereka.

"Pemanas nya mati!" teriak salah satu prajurit yang berlari ke arah Haera, matanya penuh kekhawatiran. "Sistem pemanas kita ikut mati, Paduka."

Haera hanya mengangguk, wajahnya tetap tenang. Di kejauhan, dia melihat prajurit-prajurit lainnya mulai menyalakan api unggun, menggunakan kayu yang disimpan di gudang sebagai sumber penghangat darurat.

Mereka kembali ke cara kuno, yang tak mereka gunakan selama bertahun-tahun. Asap tipis mulai mengepul di sekitar benteng, menandakan perjuangan mereka melawan dingin telah dimulai.

Haera dan Nanthaliene berjalan menuju tenda besar di pusat lapangan, tempat para jenderal elf berkumpul setelah pertemuan. Mereka belum sempat kembali ke pos masing-masing ketika kekacauan ini terjadi, dan kini, mereka menunggu arahan lebih lanjut dari sang maharani.

Di dalam tenda, kehangatan dari api unggun kecil yang menyala di tengah ruangan terasa kontras dengan suhu beku di luar. Para jenderal yang duduk melingkar menyambut Haera dengan hormat, namun wajah-wajah mereka masih dipenuhi kegelisahan.

“Paduka, ini adalah sebuah kekacauan,” kata salah satu jenderal, dengan napas berat. “Tanpa komunikasi, tanpa transportasi … kita lumpuh. Kita tidak tahu apa yang terjadi di pos lain. Tidak ada kabar dari mereka.”

“Gerbong terbang kami … yang saat tadi sedang diisi dan tersambung ke transmisi sihir, kini semuanya telah rusak karena beban berlebih yang tiba-tiba disebabkan oleh lampu-lampu penerangan," sambung jenderal yang lain.

Haera mengangguk, duduk di kursi yang sudah disiapkan. Dia menatap api di depannya dengan tatapan penuh pertimbangan. “Ini bukan kekacauan … ini adalah ujian. Musuh telah memutus kita dari segalanya, tapi mereka belum menyerang. Mereka ingin kita panik, ingin kita takut.”

"Jadi apa yang harus kita lakukan, paduka?" tanya Nanthaliene, suaranya tenang namun penuh harap.

Haera menatap para jenderal nya satu per satu. "Kita tak bisa diam saja menunggu. Kita akan mengirim utusan, dengan atau tanpa sihir. Gunakan semua sumber daya yang kita miliki. Pertahankan api, hangatkan prajurit kita. Dan kita akan menghadapi musuh ini dengan kepala tegak."

Suasana di dalam tenda mulai berubah, rasa putus asa perlahan digantikan dengan tekad baru. Meskipun mereka buta dan bisu, semangat tempur bangsa elf dan penghuni Eirda lainnya belum lah padam.

***.

Malam semakin larut, dan suhu terus turun seiring dengan turunnya salju yang sempat tertahan.

Para prajurit bergegas menyiapkan beberapa gerbong terbang yang masih memiliki cadangan energi sihir. Meski jumlahnya tak banyak, ini adalah satu-satunya harapan mereka untuk menghubungi pos-pos lain di benteng kolosal yang tersebar jauh.

Lonceng-lonceng besar masih berdentang di kota yang berada di sekitar pos mereka, memberi tanda bahaya, seolah mengingatkan mereka akan ancaman yang mengintai dari langit.

Beberapa prajurit yang terpilih naik ke gerbong-gerbong tersebut, wajah mereka tampak tegang tapi penuh dengan tekad. Misi mereka jelas—mengirimkan pesan ke pos-pos lain, dan mengonfirmasi keadaan di sana.

Gerbong-gerbong sihir mulai terangkat perlahan dari tanah, mengeluarkan suara desis yang samar di antara angin malam yang menusuk. Haera berdiri di tepi benteng, menyaksikan mereka terbang menjauh ke dalam kegelapan, hanya disinari cahaya rembulan yang redup. Tidak ada yang tahu apakah mereka akan berhasil kembali, atau malah terjebak dalam kekacauan yang sama di pos-pos lain.

“Mereka adalah para pemberani, wahai Paduka,” ujar Nanthaliene dengan suara lembut, berdiri di samping Haera. Angin dingin meniupkan helai-helai rambut peraknya. “Mungkin mereka satu-satunya yang bisa memberi kita jawaban tentang apa yang terjadi.”

Haera mengangguk perlahan. “Malam ini adalah ujian bagi kita semua. Musuh telah menunjukkan kekuatannya, tetapi kita belum melihat wajah asli mereka. Kita harus tetap waspada.”

Setelah para prajurit utusan menghilang di balik kabut salju, Haera dan Nanthaliene kembali ke tenda besar yang kini menjadi tempat perlindungan sementara.

Api unggun di dalamnya menyala dengan hangat, menyebarkan kehangatan yang kontras dengan suhu beku di luar. Satu per satu, para prajurit dan jenderal mengambil tempat mereka, mencoba untuk beristirahat meski pikiran mereka masih dipenuhi kekhawatiran akan ancaman yang datang.

Haera duduk di sudut tenda, menyelimuti dirinya dengan mantel tebal. Tatapan nya kosong, menerawang api yang berkedip-kedip di depannya. Meski tubuhnya terasa lelah, pikirannya tak bisa berhenti memikirkan entitas malapetaka yang kini menggantung di atas mereka, tak terlihat namun terasa begitu dekat. Pagi yang berubah tiba-tiba menjadi malam, dan matahari yang padam tanpa peringatan—semua ini menyiratkan kekuatan yang jauh di luar perkiraan mereka.

Nanthaliene duduk di samping Haera, mengambil tempat di dekat api. "Apakah kita akan selamat dari ini, Paduka?" tanyanya dengan suara pelan, seolah-olah enggan mengganggu keheningan yang mencekam.

Haera menarik napas dalam-dalam. “Kita selalu selamat dari yang terburuk, Putriku. Dan kita akan selamat dari ini juga.” Ucapannya terdengar tegas, meski jauh di dalam hatinya, dia tahu ancaman kali ini berbeda. Namun, sebagai maharani yang memimpin miliaran elf, dia tak boleh menunjukkan keraguan nya sedikitpun.

Angin di luar semakin keras, menghempaskan dinding-dinding tenda. Beberapa prajurit yang berjaga mulai menambah kayu ke dalam api unggun, memastikan nyala api tetap hidup sepanjang malam.

Di luar, salju mulai menumpuk tebal kembali, menyelimuti benteng dan sekitarnya. Tanpa adanya pemanas sihir, alam kubah sentral menunjukkan kekejamannya yang sebenarnya.

Satu per satu, prajurit dan jenderal yang berada di tenda perlahan terlelap, mencoba beristirahat meski dalam kecemasan.

Malam itu terasa sangat panjang, dan mereka semua tahu bahwa esok hari mungkin membawa jawaban, atau bahkan malapetaka yang lebih besar.

Haera menutup matanya, mencoba mencari ketenangan di tengah kekacauan pikirannya. Dia tahu, saat matahari kembali muncul, pertempuran yang sebenarnya akan dimulai. Dan dia harus siap, apapun yang terjadi.

***.

Bersambung …

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!