Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Satu - Lebih Baik Aku Tidak Memiliki Anak
Amara masuk ke kamarnya setelah menyelesaikan makan siangnya. Ia tidak peduli suaminya yang baru pulang dari kantor, biar saja suaminya mengurus anak kecil itu. Amara sudah tidak mau berurusan dengan bocah kecil pembangkang itu. Amara memilih masuk ke kamar, untuk menata baju-baju yang baru saja disetrika oleh asistennya. Amara minta padanya supaya dirinya saja yang menata di lemari, daripada tidak ada pekerjaan.
Saat sedang menata baju-bajunya, pintu kamar terbuka, telihat Alvaro masuk ke dalam kamarnya. Dia langsung mendekati Amara dengan tatapan yang menuruta Amara itu tatapan kesal dan marah pada Amara. Wajah dingin suaminya kini Amara dapati lagi, setelah kemarin dia melihat wajah suaminya yang bahagia, selalu tersenyum, dan hangat perilakunya. Kini kembali dingin setelah ada Alea.
“Kamu memarahi Alea?” tanya Alvaro.
“Tidak, hanya menegur saja,” jawab Amara tanpa manatap suaminya, dan sibuk dengan menata baju-baju di lemarinya.
“Dia bilang kamu memarahinya, karena dia bermain dan memberantaki tanaman di kebun sayurmu? Hanya karena itu kamu memarahinya, Ara? Tega sekali memarahi anak kecil karena masalah sepele begitu!” ucap Varo dengan menatap tajam Amara.
“Aku bilang, aku tidak memarahinya, aku hanya menegur saja!” Jawaban Amara masih sama, dia memang tidak memarahinya, dia hanya menegur saja. Malah anak kecil itu yang memaki-maki Amara.
“Aku mohon padamu, kalau Alea salah jangan pernah sedikit pun kamu memarahinya, tegur dengan baik-baik apa gak bisa sih? Toh nantinya dia akan mengerti?” ucap Alvaro.
“Iya, Mas,” jawab Amara singkat.
Alvaro menatap Amara aneh. Amara tidak membantah sedikit pun, hanya iya saja jawabannya. Alvaro merasa ada yang beda dengan istrinya saat ini, tidak seperti kemarin yang selalu mendebatnya.
Sampai malam, Amara hanya di kamar saja. Sesekali keluar sebentar untuk ke dapur, mengambil sesuatu dan mengecek Asih sudah membuat makan malam atau belum. Amara tidak peduli suaminya yang tengah asik dengan Alea, dia membiarkannya hingga Alvaro bingung, Amara sama sekali tidak menyapanya, jangankan menyapa Alea, menyapa dirinya saja tidak. Amara hanya lewat saja, tanpa melihat Alvaro yang sedang bersama Alea.
“Bi Asih, makasih, ya?” ucap Amara.
“Ibu yang sabar, ya? Semua akan baik-baik saja,” ucap Asih.
“Iya, Bi. Aku ke kamar ya Bi,” ucap Amara.
“Iya, Bu. Maaf bu kalau saya lancang, ibu yakin mau meminum itu?”
“Yakin, Bi. Aku sudah tidak yakin lagi akan bertahan lama pernikahanku dengan bapak. Bibi tahu sendiri bagaimana, kan?”
“Bu, ibu ini sudah sabar sejauh ini lho? Bibi harap bapak bisa terbuka hatinya, kemarin saja sudah begitu sama ibu?”
“Tapi lihat sekarang bagaimana? Sudah ah, Bi. Semua keputusan ini, semoga yang terbaik. Siapkan makan malam ya, Bi? Sudah mau jam makan malam, kali bapak sama tuh anak kecil mau makan,” ucap Amara.
Amara pergi ke kamarnya. Dia masih melihat Alvaro dan Alea bermain di ruang keluarga. Alvaro tadi membelikan mainan untuk Alea banyak sekali, membeli pizza dua box untuk Alea, dan Alvaro melupakan Amara, sedikit pun tidak menawari pizza yang sedang ia makan degan Alea.
Amara masuk ke kamar mandi, dia menatap satu strip obat di tangannnya. Obat yang tadi dibeli Asih, karena disuruh olehnya. Amara minta dibelikan pil KB, dan dia meminta Asih untuk merahasiakan semuanya dari Alvaro. Asih mengerti, apalagi Asih tahu bagaimana rumah tangga majikannya itu, ditambah sekarang kedatangan Cindi dan anaknya, yang membuat keluarga mereka kembali runyam.
Saat ini Amara tidak menginginkan memiliki anak lebih dulu. Amara masih ragu dengan sikap suaminya yang berubah-ubah, ditambah kehadiran Alea, yang besar kemungkinan itu adalah anak Varo. Jadi Amara saat ini tidak mau memikirkan memiliki anak dulu. Karena, jika benar Alea anak Varo, sudah pasti Alvaro dan Cindi akan kembali bersatu, dan pastinya Amara yang akan pergi, ditambah Alvaro sampai detik ini masih belum bisa mencintainya. Menerima dirinya di hatinya saja belum bisa, apalagi mencintainya?
Perempuan mana yang tidak mau memiliki anak? Perempuan mana yang tidak ingin merasakan hamil? Semua perempuan pasti ingin merasakan hal seperti itu, seperti Amara yang sebetulnya juga sangat ingin memiliki anak. Namun, ia takut jika nanti pada kenyataannya Alea anak suaminya, sudah pasti anaknya nanti akan berebut kasih sayang Alvaro dengan Alea. Melihat Alvaro begitu menyayangi Alea, membuat Amara semakin takut, apa nantinya Alvaro bisa sesayang itu jika memiliki anak dengan dirinya? Apa Alvaro akan sayang pada anaknya seperti dia sayang dengan Alea?
Setelah lama menatap strip obat itu, Amara mengambil satu obat yang sudah ditandai, yang harus ia minum malam ini. Keputusan Amara ini sudah bulat, ia tidak ingin memiliki anak untuk saat ini. Setelah meminum pil itu, Amara menatap wajahnya di cermin dan tersenyum ringkih.
“Kamu kuat, Amara, kamu bisa jika memang harus berpisah dengan Alvaro,” batin Amara.
Amara mendengar pintu kamar mandinya diketuk seseorang, sudah pasti itu Alvaro
“Ra, kamu di kamar mandi masih lama?” tanya Alvaro. Amara dengan cepat menyembunyikan strip obat itu di pouch make up yang ada di atas wastafel, lalu menaruhnya ke dalam laci.
“I—ya mas, sebentar lagi, aku mulas sekali perutnya!” teriak Amara dari dalam kamar mandi.
“Ya sudah tuntaskan dulu, Ra. Aku tunggu di sini!”
Amara pura-pura mengguyur kloset, dan membuka kran, supaya terdengar gemercik air oleh Alvaro. Setelah itu Amara keluar dari kamar mandi, ia melihat Alvaro masih berdiri di samping pintu kamar mandi.
“Apa sakit perutnya? Kamu habis makan apa sampai mulas-mulas gitu?” tanya Alvaro dengan perhatian.
“Mungkin tadi sore aku makan rujak di dapur bareng bibi, Bi Asih sama Bi Narti tadi bikin rujak, jadi aku ikut makan,” jawab Amara. Beruntung memeng mereka berdua sedang makan rujak, dan Amara ikut nimbrung mencicipinya saat sore tadi.
“Lain kali jangan kebanyakan makan rujaknya, pasti mereka bikin pedes banget,” ucap Alvaro dengan penuh perhatian.
“Iya emang pedas, ya sudah mas, barangkali mas mau ke kamar mandi,” ucap Amara.
“Enggak, mas mau ajak kamu makan malam, ayo keluar,” ajak Alvaro dengan meraih tangan Amara lembut, namun Amara perlahan menepiskannya.
“Mas makan dulu saja, aku belum lapar,” jawab Amara.
“Kalau begitu temani mas makan saja, ya? Mas pengin ditemani kamu,” pinta Alvaro,
Amara mengangguk kecil, ia terpaksa menuruti keinginan suaminya itu. Padahal dia malas untuk keluar makan, karena sudah pasti anak kecil itu akan bikin masalah lagi dengannya. Alvaro menggandeng tangan Amara, saat menuruni anak tangga, baru saja sampai bawah, Alea berlari dan langsung melepas paksa tangan Alvaro dari genggaman tangan Amara.
“Ayo om makan di dekat kolam renang!” ajak Alea.
“Baiklah, om akan ambilkan makanan kamu, kamu ke sana dulu sama Tante Ara, ya? Tolong ya Ra, temani Alea di sana dulu, aku ambilkan makan untuknya,” pinta Alvaro pada Amara. Amara pun terpaksa mengiyakan.
“Ayo, Lea?” ajak Amara dengan lembut.
“Aku bisa sendiri!” ucapnya dengan menatap tajam Amara yang tadi meraih tangannnya untuk menggandengnya, mengajak ke kolam renang. Alea berlari setelah itu, Amara tidak peduli, ia tidak mau ambil pusing karena bocah kecil tak tahu adab itu. Amara hanya jalan mengikuti dia.
Amara mengikuti Alae yang duduk di kursi. Mereka duduk saling berhadapan, Amara menatap anak kecil itu dengan iba. Iba sekali, karena anak sekecil itu pikirannya sudah didoktrin dengan hal kotor.
“Alea, Alea itu kenapa sih sama tante gitu? Alea gak suka ya sama tante?” tanya Amara dengan tatapan lembut.
“Iya, aku tidak suka sama Tante! Aku kan bilang, aku tidak suka, karena Tante merebut Om Varo dari Mama dan aku! Tante sudah memisahkan Om Varo dari mama!” jawab Alea. Tentu saja Amara tercengang saat mendengarnya, meski pun tadi siang juga dia mengatakan hal serupa.
“Tahu, gak! Karena Tante, Om gak bisa jadi papaku. Aku ingin tante pergi, pergi yang jauh biar Om Varo jadi papaku!” ucapnya dengan tatapan penuh kebencian pada Amara.
Melihat Alvaro sudah datang dengan membawa dua piring, Alea semakin menjadi, ia semakin menangis kencang di depan Amara yang membuat Amara bingung jadinya. “Tante jahat sekali, tante jahat!” teriaknya, hingga membuat Alvaro berjalan lebih cepat ke arah mereka. Jelas Amara tidak tahu Alvaro datang, karena dia duduk membelakangi pintu dari arah dalam, sedangkan Alea yang menghadap ke sana.
“Amara! Ada apa lagi ini?! Kenapa Alea menangis begitu?” tanya Alvaro dengan tatapan nyalang, dia langsung menaruh kedua piring itu dengan kasar di depan Amara, sampai Amara terjingkat.
“Aku gak tahu, dia nangis sendiri?” jawab Amara santai.
“Amara, aku mohon sama kamu, tolong jangan seperti ini,” ucap Alvaro dengan masih menatap tajam pada Amara.
“Memangnya aku ini seperti apa? Aku tidak melakukan apa pun? Aku tidak tahu tiba-tiba nangis begitu?” ucap Amara.
“Aku mohon padamu, berbaiklah pada Alea, Ra!”
“Apa mas kira aku sejahat itu?”
“Bu—bukan seperti itu, Ara ....”
“Tapi seolah kamu menuduh aku ini jahat sekali pada Alea, Mas!” ucap Amara dengan mata berkaca-kaca.
“Ara, bukan seperti itu maksudku. Kita juga nantinya akan punya anak, Ra. Nanti kita akan tahu bagaimana rasanya punya anak, aku harap kamu bisa sabar menghadapi Alea. Dengan adanya Alea kita kan bisa belajar jadi orang tua yang baik?” tutur Alvaro.
“Kamu benar, Mas! Menjaga dan harus besabar dengan Alea saja aku tidak bisa, apalagi nanti aku punya anak sendiri, sudah pasti aku tidak bisa mengurusnya! Lebih baik, aku tidak memiliki anak mas!”
Amara langsung beranjak dari tempat duduknya, dia tidak memdulikan Alvaro yang menatapnya tidak percaya, kalau Amara sampai mengatakan hal sedemikan, yang harusnya tidak ia katakan.
Jangan sampai malah melakukan kesalahan kamu Varo.... itu final Amara buat gak akan maafin kamu yaa 🤨😡