Di usianya yang sudah sangat matang ini, Khalif Elyas Hermawan belum juga menemukan pasangan yang cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Orang tuanya sudah lelah menjodohkan Khalif dengan anak rekan bisnis mereka, tapi tetap saja Khalif menolak dengan alasan tidak ada yang cocok.
Mahreen Shafana Almahyra gadis cantik berumur 25 tahun, tidak dapat menolak permintaan sang bibi untuk menikah dengan seorang laki-laki yang tidak ia kenal sama sekali.
Ya, gadis yang akrab di sapa Alma itu tinggal bersama paman dan bibinya, karena sejak umur 15 tahun, kedua orang tuanya sudah meninggal.
Bagaimana kisah Khalif dan Salma? Ikuti terus kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
..."Hiburlah hatimu, siramilah ia dengan percikan hikmah. Seperti halnya fisik, hati juga merasakan letih"...
...('Ali bin Abi Thalib)...
...🌹🌹🌹...
Bandara atau bandar udara merupakan tempat yang identik dengan bepergian. Baik itu bepergian ke kota lain ataupun ke negara lain. Tak peduli waktu pagi atau pun malam hari, bandara tidak pernah sepi dengan yang namanya manusia. Ada yang datang ada pula yang pergi, ada yang menangisi kepergian keluarganya ada pula yang menunggu kedatangan keluarga ataupun orang yang di kasihi. Semua luapan emosi begitu nyata disini.
Tangisan dan senyuman bercampur padu. Seperti saat ini, aku sedang menunggu kedatangan mas Khalif, dengan perasaan tidak karuan. Berpisah setelah sehari menikah, dan bertemu kembali. Rasanya sungguh aneh. Aku melihat sekeliling, ada banyak sekali orang yang sedang menunggu sepertiku, mereka di temani oleh keluarga yang lain. Sedangkan aku hanya seorang diri, mang Surya katanya menunggu di mobil saja. Mama dan papa tidak mau ikut ke bandara, mama bilang supaya kami lebih leluasa.
Dari jauh kulihat dua orang laki-laki berjalan ke arahku, satunya adalah mas Khalif dan satunya lagi sekretaris mas Khalif. Ternyata kak Rey ikut juga ke Singapura. Aku lambaikan tanganku ke arah mereka. Mas Khalif yang melihatku tersenyum dengan manis.
"Kenapa pulang dari Singapura mas Khalif tambah mempesona" gumamku dalam hati.
"Mahreen" panggil mas Khalif sambil mengibaskan tangannya di depan wajahku. Aku merutuki kebodohanku yang dari tadi terpesona oleh ketampanan mas Khalif.
""Sudah lama nunggu ya?" tanya mas Khalif, yang ku jawab dengan gelengan kepala.
"Hai Alma" sapa kak Rey, aku hanya membalasnya dengan senyuman.
"Kamu mau bareng atau pulang sendir?" tanya mas Khalif pada kak Rey.
"Mending aku pulang sendiri saja daripada jadi obat nyamuk di antara kalian" dengus Rey.
"Terserah, ayo Mahreen" ajak mas Khalif yang langsung menggenggam tanganku menuju mobil yang terparkir di luar.
Aku melihat ke arah mas Khalif yang menyandarkan kepala ke belakang. Mungkin mas Khalif merasa lelah habis dari bandara tadi.
*****
Malam ini terasa ramai setelah mas Khalif kembali dari dinasnya. Mama dan mas Khalif sedang berdebat tentang channel yang mereka sukai. Papa Aiman meski zaman sekarang sudah canggih, tapi papa lebih suka membaca berita lewat koran.
Aku yang mulai ngantuk sesekali menguap. Mas Khalif melihatku mungkin dia tau kalau aku canggung jika kembali ke kamar sendiri.
"Sudah ngantuk?" tanya mas Khalif.
Tanpa menunggu persetujuan ku, mas Khalif langsung mengajak istirahat ke kamar.
Di atas ranjang sudah kusiapkan piya tidur mas Khalif. Kami memakai piyama tidur yang sama, ini adalah pemberian dari mama.
Melihat mas Khalif yang keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggang. Seketika wajahku memanas, aku belum terbiasa dengan keadaan begini. Ku alihkan pandangan ke arah luar. Lalu mas Khalif berganti pakaian ke kamar mandi.
"Besok mau jalan-jalan?" mas Khalif mulai membuka pembicaraan di antara kami. Saat ini kami sama-sama berbaring di atas ranjang, mas Khalif berbaring menghadap ke arahku begitu juga denganku.
"Besok mas nggak kerja?" pertanyaan mas Khalif ku jawab dengan pertanyaan juga.
"Mas ambil libur sehari, maaf mas cuma bisa ambil libur sehari aja" mas Khalif menyelipkan rambutku yang mengenai wajahku ke belakang telinga.
Setelah ku perhatikan, semenjak kami resmi menikah mas Khalif tidak merasa canggung untuk sekedar memberikan sentuhan ringan padaku. Mungkin love language mas Khalif adalah physical touch. Dan anehnya aku merasa nyaman dengan apa yang Khalif lakukan seperti sekarang ini.
"Tidak apa-apa mas, Alma mengerti kok" aku tau kalau mas Khalif banyak pekerjaan yang harus di selesaikan. walaupun hanya sehari, aku sudah merasa senang.
Hari ini seperti yang sudah di rencanakan, aku dan mas Khalif akan berbelanja keperluan untuk rumah mas Khalif yang akan kami tempati. Karena dulu mas Khalif tinggal sendiri, jadi perabot-perabot rumah belum lengkap semua. Dan disilah kami berada, di sebuah mall yang sangat besar.
Dari awal kami masuk pandangan orang-orang tertuju pada kami, lebih tepatnya kepada mas Khalif. Terutama yang perempuan mereka tidak merasa malu terang-terangan melihat mas Khalif. Ku akui mas Khalif memang tampan sangat tampan malah, walaupun hanya mengenakan baju kaus hitam dan celana denim. Penampilannya memang sederhana tapi tidak mengurangi ketampanannya.
Mas Khalif yang merasa aku tertinggal di belakang langsung menarik tanganku dengan lembut, tidak lupa senyumannya yang menawan. Kami berjalan sambil bergandengan menuju toko yang menjual perlengkapan alat-alat dapur.
Yang awalnya aku diam aja melihat mas Khalif memilih beberapa perlengkapan dapur, terpaksa harus menghentikan mas Khalif, kalau tidak barang yang tidak perlu di beli akan di beli oleh mas Khalif.
"Mas biar Alma aja yang milih boleh?" tanyaku pada mas Khalif. Yang kemudian di persilakan oleh mas Khalif.
tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, sudah tiga jam kami sibuk memilih perlengkapan untuk rumah.
"Mau makan siang dulu?" tanya mas Khalif sambil menyeka keringat yang ada di keningku dengan tangannya. Aku merasa kikuk dengan perlakuan mas Khalif.
"hmmm" jawabku dengan malu-malu. Gimana tidak, banyak pasang mata yang tersenyum ke arah kami, mereka berbisik-bisik sambil menunjuk ke arah kami. kutarik tangan Mas Khalif menjauh dari pandangan orang-orang itu.
"Kenapa?" mas Khalif merasa heran.
"Ah, nggak apa-apa, kata mas Khalif mau makan. Kita mau makan dimana?" tanyaku kemudian.
"Mau pesan apa?" mas Khalif memberikan daftar menu ke arahku.
Aku bingung mau milih apa, ini pertama kalinya aku makan di tempat mahal seperti ini.
"Mas aja yang pilih, Alma nggak tau mau pesan apa" ucapku jujur. Kuserahkan lagi daftar menunya pada mas Khalif.
Lalu mas Khalif memanggil seorang waiters.
"Mbak kita pesan satu set menu lengkap ya " pesan mas Khalif kemudian menyerahkan daftar menu tersebut ke waiters wanita itu.
"Baik mas, mohon di tunggu ya" jawabnya dengan ramah.
"Mungkin besok kita sudah bisa pindah ke rumah kita" ucap mas Khalif memecah keheningan.
"Ternyata mereka kerjanya lebih cepat dari yang kukira" lanjut mas Khalif.
"Apa tidak masalah kalau kita pindah besok mas?, sepertinya mama tidak akan setuju" ucapku pada mas Khalif.
"Biar mas nanti yang bicara dengan mama" tidak lama kemudian pesanan kamipun datang. Aku terkejut melihat banyak nya makanan yang di pesan mas Khalif.
"Mas apa ini tidak terlalu banyak?" protes ku pada mas Khalif. Mas Khalif menggelengkan kepala.
"Kamu harus banyak makan, lihat lah badan kamu terlalu kurus" mas Khalif menunjuk tubuhku. Apa katanya? Terlalu kurus? Bagiku ini sudah termasuk berisi. Mas Khalif tertawa melihatku yang memerhatikan tubuhku sendiri.
*****