Hampir separuh dari hidupnya Gisell habiskan hanya untuk mengejar cinta Rega. Namun, pria itu tak pernah membalas perasaan cintanya tersebut.
Gisell tak peduli dengan penolakan Rega, ia kekeh untuk terus dan terus mengejar pria itu.
Hingga sampai pada titik dimana Rega benar-benar membuatnya patah hati dan kecewa.
Sejak saat itu, Gisel menyerah pada cintanya dan memilih untuk membencinya.
Setelah rasa benci itu tercipta, takdir justru berkata lain, mereka di pertemukan kembali dalam sebuah ikatan suci.
"Jangan sok jadi pahlawan dengan menawarkan diri menjadi suamiku, karena aku nggak butuh!" ucap Gisel sengit
"Kalau kamu nggak suka, anggap aku melakukan ini untuk orang tua kita,"
Dugh! Gisel menendang tulang kering Rega hingga pria itu mengaduh, "Jangan harap dapat ucapan terima kasih dariku!" sentak Gisel.
"Sebegitu bencinya kamu sama abang?"
"Sangat!"
"Oke, sekarang giliran abang yang buat kamu cinta abang,"
"Dih, siang-siang mimpi!" Gisel mencebik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Semalaman Rega tak bisa tidur dengan pulas. Ia takut jika bergerak akan menggangu dan membangunkan tidur Gisel. Barulah dini hari menjekang pagi matanya secara tak sengaja terpejam dengan sendirinya, sudah tak bisa menahan rasa kantuknya lagi.
Saat Rega tengah lelap-lelapnya tidur, Gisel justru mulai mengerjapkan matanya. Tangannya meraba perut Rega. Sementara kakinya masih berada di atas paha pria yang tidur berbantalkan tangannya sendiri tersebut.
Awalnya, Gisel tak menyadari ada yang salah dengan sesuatu yang ia peluk, yang ia pikir bantal guling tersebut. Namun, saat tangannya bergerak naik turun mengikuti irama napas Rega, barulah ia sadar jika yang ia peluk layaknya bantak guling itu adalah makhluk hidup yang bernyawa.
Gisel langsung melebarkan matanya, ia mendongak dan mendapati suaminya yang sedang tidur dengan napas yang teratur. Menandakan jika pria itu benar-benar sedang terlelap.
"Aaarrgghh!" teriak Gisel histeris. Ia langsung mencelat mundur, menjaga jarak beberapa centi dengan Rega yang mulai membuka matanya karena terusik okeh teriakan Gisel barusan.
"Ada apa sih, dek? Pagi-pagi udah teriak-teriak,. Kayak di hutan aja," ujar Rega. Sebenarnya ia masih enggan untuk bangun.
"Ada apa, ada apa! Kenapa tidur di sini? Pakai peluk-peluk segala lagi!" sahut Gisel kesal.
Rega menarik napasnya panjang, "Yang meluk-meluk siapa? Coba diingat-ingat lagi, dari pada udah marah-marah, ujung-ujungnya malu sendiri nanti," ucap Rega.
Gisel memutar memorinya ke adegan beberapa saat yang lalu di mana ia bangun dengan posisi sudah seperti memeluk bantal guling. Dari sana ia bisa mengambil kesimpulan sendiri tanpa di jelaskan lagi.
"Tetap saja, itu salah kamu. Kenapa kamu tidur di sini? Kan bisa tidur di kamar lain,"
"Abang suami kamu sekarang, kenapa manggilnya malah kamu-kamu terus?"
"Kenapa? Nggak suka? Bukankah kita tak sedekat itu untuk aku memanggil dengan sebutan lain?" tanya Gisel.
"Ikatan diantara kita sekarang lebih dekat dari yang kamu pikirkan dek, bahkan lebih dekat dari sebelumnya," jawab Rega. Yang mana membuat Gisel mendengus sebal.
Gisel memilih turun dari ranjang dan mengacuhkan Rega yang melihatnya masuk ke kamar mandi.
.
.
.
Tinggal di apartemen hanya berdua saja dengan Rega, benar-benar membuat Gisel tak merasa nyaman dan aman. Semakin ia sering melihat pria itu, rasa sakit di hatinya kian menumpuk. Padahal, sebelumnya ia sudah berusaha melupakannya. Bukan hanya melupakan perasaannya tapi juga menghapus nama pria itu dari daftar memorinya.
Namun, kini Gisel justru terjebak pernikahan dengan Rega. Yang mau tidak mau mengharuskan mereka sering bertemu. Ada rasa takut dalam benak Gisel. Takut jika rasa yang dulu pernah membuatnya hancur, akan muncul kembaki. Ia takut akan takluk kembali kepada pria tersebut dan akan terluka lagi. Untuk itu, ia berusaha membentengi diri setinggi mungkin.
"Sarapan dulu, udah abang buatkan sandwhich!" Rega tersenyum menyambut sang istri yang baru saja turun dari kamar menuju meja makan. Di meja sudah ada dua sandwhich yang baru saja ia buat.
"Kamu mau kemana?" belum sempat Gisel menyahut, Rega sudah melontarkan pertanyaan lain karena ia melihat Gisel sudah terlihat rapi dan menenteng tas.
Gisel duduk di kursinya, "Aku mulai kerja aja hari ini, bosan di sini nggak ngapa-ngapain juga," ucapnya tetap dengan nada ketus.
"Maaf, abang belum sempat ngajak kamu jalan-jalan," Rega mengganti kata bukan madu dengan jalan-jalan. Ia tahu Gisel akan murka jika ia bilang akan mengajak bukan madu.
Gisel menatap Rega, "Tidak perlu, udah gini aja. Kita jalani hidup kita masing-masing seperti biasanya saja. Tak perlu jadikan pernikahan ini beban. Hingga nanti waktunya tiba untuk mengakhiri semuanya, kita lebih baik seperti ini saja," ujar Gisel.
"Nanti kalau abang senggang, kita jalan-jalan, Mau kemana?," Rega tak mengindahkan kalimat Gisel.
Gisel menatapnya kesal. Tapi, tak membuat Rega berkecil hati, ia mengangsurkan piring berisi sandwhich ke depan Gisel, "Ini, sandwhich spesial buat kamu. Seladanya satu lembar saja, pakai daging asap dan telur ceplok tanpa kuning telurnya, keju slicenya dua, nggak pakai tomat, pakai saus tomat aja sedikit, di banyakin mayonesnya," jelas Rega.
"Dan ini susu cokelat hangatnya," imbuh Rega.
Gisel tertegun sejenak, Rega ternyata masih ingat sandwich yang dia sukai. Jika biasanya sandwich identik dengan irisan tomat, berbeda dengan Gisel, ia tak menyukai sayur yang satu itu. Ia juga tak mneyukai kuning telur. Dulu, jika makan telur, Rega akan mengambil kuning telurnya dan ia akan memberikan putih telurnya untuk Gisel.
"Abang nggak suka putih telurnya? Kok di kasih Ke Gisel?" tanya Gisel pada suatau kesempatan kala itu.
Rega tersenyum lalu mengangguk,"Abang suka kuning telurnya," jawab Rega berdusta. Ia bukannya tak suka putih telur, tapi melihat Gisel makan dengan lahapnya bahkan hanya dengan ceplok putih telur plus kecap saja membuatnya senang.
"Yaudah kalau gitu, nanti kalau makan telur lagi, abang kasih Gisell ya putih telurnya. Gisel suka," ujar Gisel kecil dengan mata berbinar.
Rega mengangguk lalu mengusap rambut gadis cilik itu, "Makan dulu, jangan sambil bicara lagi, nanti tersedak, Dek," ujarnya. Gisel mengangguk dan melanjutkan makannya dengan lahap.
Gisel menepis bayangan masa lalu mereka tersebut, "Sekarang aku bisa makan apapun, tidak pilih-pilih lagi," ujarnya bohong. Entah mengapa ia tak suka sikap Rega yang sok perhatian dan masih ingat akan hal sekecil itu.
Rega tak menanggapinya. Ia tahu istrinya tersebut berbohong, ia yakin apa yang di sukai dan tidak di sukai Gisel masih sama. Termasuk, mungkin soal kesukaan wanita tersebut terhadap dirinya. Apakah Rega terlalu percaya diri jika berpikir demikian?
Rega memilih duduk lalu makan sandwichnya sendiri. Mereka berdua makan dalam keheningan.
Gisel menghbiskan sandwichnya. Tak lupa ia meminum segelas susu cokelat kesukaannya. Ternyata Rega juga masih ingat jika ia tak bisa minum susu putih karena akan muak bahkan bisa muntah.
Gisel memilih pergi terlebih dahulu dan membiarkan Rega menyelesaikan sarapannya. Namun, saat memasuki lift khusus untuk penthouse milik Rega, pria itu menyusulnya.
"Kita berangkat bareng," ujar Rega setelah menekan tombol lift dan pintunya tertutup.
"Abang antar karena mobil kamu bekum di bawa ke sini," ucap Rega lagi sebelum Gisel protes menolak.
"Aku bisa minta Melisa buat jemput, tidak perlu repot," ucap Gisel bersamaan dengan terbukanya lift.
Rega lagi-lagi tak mengindahkan ucapan sang istri. Ia tahu jika menyhut hanya akan menimbulkan perdebatan diantara mereka. Ia menarik tangan Gisel. Wanita itu melayangkan protes, tapi Rega tak peduli. Ia terus menuntun Gisel hingga sampai ke mobilnya.
Rega membuka pintu mobilnya dan meminta Gisel masuk. Gisel menolak, "Kita berangkat sendiri-sendiri saja. Aku udah hububgi Melisa buat jemput, apartemennya searah sini,"
Rega sedikit memaksa, ia mendorong Gisel hingga terpaksa masuk ke dalam mobil dan ia segera menutup pintu mobilnya lalu segera masuk ke belakang kemudi.
Dari kejauhan, Nandira yang juga akan berangkat ke rumah sakit, melihat Rega baru saja menutup pintu mobil. Ia berjalan cepat ke arah pria tersebut.
Nandira tahu Rega bersama seseorang tapi tak tahu siapa orang itu karena ia tak melihatnya dengan jelas. Sayang sekali, saat hampir mendekati mobil Rega, pria itu sudah melajukan mobilnya meninggalkan parkiran apartemen.
"Siapa yang ada di mobil Rega tadi, ya? Apa mamanya?" gumam Nandira. Ia penasaran. Ingin segera sampai rumah sakit dan bertemu pria tersebut.
...****************...