"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan
"Nona Liana sudah pulang." sapa Anisa yang menyambut kedatangan Liana.
Anisa adalah ART yang ditugaskan kakek Sudibyo untuk melayani Liana. Sebelumnya dia membantu mengurus semua pekerjaan rumah, mulai dari bersih-bersih sampai memasak.
"Nona butuh sesuatu?" tanya Anisa kemudian.
"Aku butuh teman ngobrol. Ayo ikut ke kamar!" ajak Liana.
"Iya, baik, nona!" Anisa pun mengekor di belakang Liana.
Bagi Anisa, melayani Liana itu adalah pekerjaan yang menyenangkan. Daripada dia harus berkutat dengan pekerjaan bersama emak-emak yang pemikirannya jadul dan di luar nalar.
"Kakek di rumah?" tanya Liana saat mereka menapaki tangga.
"Ada, lagi di ruang kerja sama tuan muda Haris." jawab Anisa.
Liana langsung menghentikan langkahnya. Anisa pun melakukan hal yang sama.
"Mas Haris di sini?" tanya Liana memelankan suaranya.
Anisa menganggukkan kepala beberapa lagi.
"Apa yang sedang mereka bicarakan? Apa soal aku?"
Liana tiba-tiba penasaran. Tapi tak lama kemudian dia kembali sadar diri, apa yang mereka bicarakan bukanlah urusannya.
"Mau saya siapkan air buat mandi, nona?" tanya Anisa sambil menutup kembali pintu kamar.
"Tidak, Nisa. Duduklah di sini!" Liana menepuk sisi sofa kosong di sampingnya.
Anisa menolak, dia memilih duduk di lantai. Liana mendengus kesal dengan kelakuan Anisa.
"Nona, jangan...! Saya di sini saja." Anisa tersenyum pada Liana.
"Anisa!!" bentak Liana dengan nada tinggi. "Diamlah...!! Sudah aku katakan, di depan orang-orang kamu boleh bersikap hormat padaku. Terserah kamu. Tapi kalau kita lagi berdua, please..., jangan seperti itu. Aku risih...!!" ujar Liana yang memang sangat keberatan diperlakukan seperti itu.
"Aku sendirian, Nisa. Aku butuh teman ngobrol di rumah ini. Kalau tidak, aku bisa gila lama-lama tinggal di sini...!!" Liana terus ngedumel.
"Em..., iya. Maaf, nona." balas Anisa tak enak hati. "Tapi setidaknya biarkan aku tetap memanggilmu nona, yaa...? Karena aku takut kelepasan memanggil nama nona ketika kita sedang bersama yang lain. Aku bisa dimarahi nanti." pinta Anisa.
"Baiklah..." Liana pun tersenyum.
"Jadi kenapa nona mengajakku kemari?" tanya Anisa.
"Moodku sedang buruk, Nisa. Aku sedang bingung..." adu Liana.
"Kenapa nona? Ada masalah di kampus?" tanya Anisa lagi.
"Bukan di kampus. Tapi di rumah ini, dengan para penghuninya." jawab Liana sambil mengerucutkan bibirnya.
"Lho...?! Kenapa...?!!"
Liana menatap Anisa lekat-lekat. Lalu meraih tangannya.
"Katakan padaku, apa yang dikatakan kakek saat dia memintamu mengurusi segala kebutuhanku?!" tanya Liana.
"Tuan..., waktu itu..., tuan besar bilang cucu mantunya akan datang. Dan Aku ditunjuk untuk melayani nona." Anisa kembali mengingat kejadian hari itu.
"Hanya itu...? Tidak ada yang lain?!" tanya Liana.
"Ada. Kami harus melayani nona dengan baik. Jangan sampai nona merasa tidak betah di rumah ini. Kata tuan besar, nona adalah orang yang sangat istimewa." Anisa tersenyum lebar, sembari mengingat bagaimana ekspresi bahagia tuan besarnya saat membicarakan semua hal tentang Liana.
"Istimewa?!" sahut Liana.
"Iya, nona." Liana menganggukkan kepalanya.
"Ah, lupakan soal aku. Sekarang aku boleh tanya sesuatu lagi?" balas Liana yang otaknya masih dipenuhi banyak tanda tanya.
"Boleh saja, tapi kalau aku tidak tahu jawabannya maaf ya, nona..." ujar Anisa.
"Kamu sudah lama bekerja di sini?" tanya Liana kemudian.
"Sekitar tiga tahun."
"Apa kamu pernah bertemu ayahku di rumah ini?"
"Tuan Gani?" gumam Anisa.
"Iya..., iya... Itu ayahku."
"Pernah beberapa kali, tuan datang kemari untuk menjenguk tuan besar." begitulah jawaban Anisa.
"Apa hubungan mereka baik? Mereka pernah berdebat tentang sesuatu tidak?"
"Mana mungkin mereka berdebat. Mereka justru terlihat seperti ayah dan anak kandung. Padahal kata mak Yati, tuan Gani itu anak angkat." kata Anisa.
"Oh, nona. Apa nona tahu, kalau dulu tuan besar hampir menjodohkan tuan Gani dengan nyonya Ameena?" suara Anisa memelan.
"Kamu serius?!!" sahut Liana.
"Iya. Katanya dulu itu nyonya sangat menyukai tuan Gani. Sayangnya tuan sudah memiliki kekasih. Itu pasti ibu nona, aku yakin."
Semangat Anisa semakin membara saja. Namanya juga perempuan dipancing dengan topik sedikit saja, bahasannya langsung kemana-mana.
Liana menemukan fakta baru mengenai ayah dan bu Ameena setelah obrolan panjangnya dengan Anisa.
"Apa karena aku anak ayah, dan bu Ameena pernah menyukai ayah. Makanya bu Ameena terlihat perhatian banget sama aku."
___
Sementara di lantai 1, terlihat kakek Sudibyo sedang berjalan bersama Haris menuju ke taman samping. Di sebuah meja di sudut taman, sudah tersaji aneka camilan dan jus buah segar.
"Jadi bagaimana, sudah bicara pada perempuan itu?" tanya kakek.
"Vanya, kek. Itu namanya." balas Haris. Tapi kakek tidak peduli.
"Sebenarnya dia mengizinkan aku menikah lagi." suara Haris terdengar lesu. Berbeda sekali ketika dia membicarakan soal pekerjaan beberapa saat yang lalu dengan sang kakek.
Mendengar jawaban cucunya, si kakek tersenyum miring seolah merendahkan istri Haris.
"Perempuan langka. Status tidak jelas kok dipertahankan. Malah setuju dengan kehadiran orang ketiga dalam rumah tangganya." kakek secara terang-terangan mencibir Haris.
"Kek, cukup..." balas Haris dengan suara yang masih terdengar lembut.
"Sebenarnya kami tidak pernah mempermasalahkan pernikahan kami. Kakek saja yang tidak bisa menerima Vanya, sehingga membuat perjanjian itu." kata Haris.
"Tidak ada pernikahan siri dalam sejarah keluarga kita, Haris." sahut kakek. "Sudah berapa kali kakek katakan padamu. Selidiki perempuan yang kamu bangga-banggakan itu. Agar mata kamu yang dibutakan oleh cinta itu terbuka." tutur kakek.
"Haris sudah kesana, kek. Dan memang mereka tidak pernah merestui kami. Harusnya kakek mendo'akan kami agar segera mendapat restu. Bukan malah menyuruhku menikah lagi." Haris yang terlanjur kecintaan sama Vanya, masih berusaha membela diri.
"Percuma berdo'a. Lha wong yang dido'akan saja memang sudah niat tidak mau pernikahannya dipublikasikan. Entah apa yang dia sembunyikan dari keluarga kita." kakek melirik Haris yang dadanya tampak kembang kempis menahan emosi.
"Sudahlah, kek. Jangan terus menyudutkan Vanya dan berpikir buruk tentangnya. Yang penting sekarang aku sudah menyetujui perjanjian itu. Kakek atur saja semuanya. Aku pulang."
Haris pun pergi meninggalkan sang kakek. Kakek hanya menggelengkan kepalanya.
"Cepat atau lambat, kamu akan mencium bangkai yang selama ini terkubur, cucuku..."
Haris yang melewati ruang tengah, tak sengaja bertemu dengan Liana. Tatapan mata mereka pun saling bertemu, tapi Haris terburu-buru memalingkan wajahnya. Sedangkan Liana hanya bisa menautkan alisnya karena heran.
"Masa iya aku akan menikah sama dia? Ganteng sih, tapi cuek."
"Kok melamun, nona?" tanya Anisa yang ada di belakangnya. "Terpesona ya dengan kegantengan tuan muda yang paripurna...?!" goda Anisa.
"Nggak!!" sahut Liana tanpa ragu.
Mereka pun kembali berjalan menuju taman. Mereka tidak mengetahui kalau di sana ada kakek Sudibyo.
"Ada tuan besar, nona." ujar Liana.
"Ya sudah, biar aku ke sana sendiri. Ada yang aku bicarakan sama kakek." balas Liana.
Tanpa banyak bicara lagi, Anisa putar balik menuju belakang rumah. Guna membantu pekerjaan ART lainnya.
"Kakek..." sapa Liana.
"Eh, Liana." balas kakek.
"Apa aku ganggu?" tanya Liana berbasa-basi.
"Tidak, nak. Duduklah...!" titah sang kakek.
"Ada apa? Jadi mau kembali ke rumahmu?" tanya kakek setelah Liana duduk dengan nyaman.
"Aku sudah pikirkan untuk tetap di sini bersama kakek. Tapi soal menikah itu..." Liana ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Tidak usah bahas itu dulu. Temani kakek duduk santai di sini. Mumpung kakek tidak ada pekerjaan." kata kakek Sudibyo.
"Memangnya biasanya kakek sibuk?" tanya Liana.
"Iyaaa..., begitulah." jawabnya.
"Kenapa kakek masih sibuk bekerja. Bukankah sudah ada anak-anak dan cucu-cucu kakek...?!" sahut Liana.
"Memang semua pekerjaan mereka yang jalankan. Kakek hanya memantau." kakek Sudibyo meneguk jus melon di hadapannya.
"Kakek, boleh aku tahu bagaimana kedekatan kakek dengan ayahku?"
Kakek Sudibyo tersenyum lebar mendengar permintaan Liana. Dia pun dengan semangat menceritakan bagaiamana baiknya hubungannya dengan pak Gani. Bahkan kakek juga menceritakan soal bu Ameena yang tergila-gila dengan ayah Liana.
"Karena itulah, kakek berharap kamu bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Itu impian nenek juga. Kami sangat mengingkan kita menjadi keluarga besar."
"Aku mengerti, kek..." ujar Liana. "Terimakasih kakek sudah menyayangi ayahku." imbuhnya.
"Apa benar aku harus menerima pernikahan ini, Tuhan. Aku belum siap. Tapi aku juga tidak mau mengecewakan ayah dan juga kakek."
Liana menatap wajah keriput kakek yang matanya berbinar menatap langit. Seolah dia melihat gambaran harapannya di atas sana.
"Kakek..." panggil Liana.
Kakek pun menoleh ke arahnya.
"Jika mas Haris setuju dengan pernikahan ini, maka aku juga setuju. Tapi kalau mas Haris menolak, tolong jangan dipaksa."
Ucapan Liana sungguh mengejutkan kakek Sudibyo. Dia nyaris tidak percaya, mengingat bagaimana sikap Liana tadi pagi di meja makan.
"Karena aku juga tidak mau merusak hubungan mas Haris dengan mbak Vanya." sambungnya.
"Terimakasih, nak."
Hati kakek Sudibyo berbunga-bunga. Dia sangat bahagia mendengar pernyataan Liana. Saking bahagianya, air matanya lolos begitu saja dari sudut matanya. Dia teringat akan istrinya dan ayah Liana, pak Gani.
"Ayah..., aku turuti keinginan ayah agar aku tinggal bersama kakek Sudibyo. Semoga ayah bahagia di sana. Soal pernikahan dengan cucu kakek, aku harap ayah juga merestui itu. Kata kakek, ayah juga tidak keberatan, kan..."
Begitulah suara hati Liana. Meski masih ada kegelisahan tentang masa depannya, tapi setidaknya ada rasa lega di bagian hatinya yang lain setelah Liana memenuhi keinginan kakek dan ayahnya.
......................