Menikah di usia muda sungguh bukan keinginan ku. Namun aku terpaksa harus menikah di usia muda karena perjanjian kedua orang tuaku.
Aku dengannya sekolah di tempat yang sama setelah kami menikah dan hidup bersama namun rasa ini muali ada tapi kami tidak saling mengungkapnya hingga suatu hari terjadi sebuah kecelakaan yang membuat kami.... ayo simak lanjutan ceritanya di novel Benci jadi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pelangi senja11, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Mengolok
Rangga tersentak dari lamunannya, pemuda tampan itu segera menggeleng. "Tidak Bu, aku tidak apa-apa." Jawab Rangga sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Baiklah kalau tidak apa-apa, sekarang semua lihat kedepan!" titah Ibu guru pada semua muridnya.
"Rangga kenapa, apa dia sedang ada masalah?" tanya Ilham berbisik pada Azam.
Azam mengangkat bahunya tanda tidak tau, tapi dia akan menanyakan langsung pada sahabatnya itu, nanti setelah pelajaran selesai.
Dimeja lain, Lidia melemparkan kertas pada Rangga. Rangga mencebik lalu dia mengambil kertas yang dilemparkan oleh Lidia tadi kepadanya.
"Ayang, Lo tidak apa-apa 'kan, Lo tidak ada masalah 'kan?" tulis Lidia di kertas itu.
Rangga mengabaikan tulisan itu, kemudian dia fokus pada penjelasan guru yang sedang menerangkan pelajarannya.
Namun Rangga tidak fokus pada penjelasan guru. Walaupun matanya menatap ke depan, tapi pikiran Rangga terus saja pada perjodohan yang dia tau kalau yang dijodohkan dengannya adalah Nana, gadis gembul.
Sementara di bandara seorang gadis cantik berjalan keluar dari loket bandara.
Di luar Pak dadang sedang menunggunya. Pak Dadang terus saja memperhatikan setiap wanita yang keluar dari bandara itu.
Sesekali mata Pak dadak melihat ke layar ponselnya, dimana foto Rena terpampang jelas disana.
Tidak lama kemudian Terlihatlah seorang gadis cantik dan putih bersih keluar dari pintu keluar bandara.
Pak Dadang melihat foto di ponselnya, ternyata persis seperti gadis yang keluar dari pintu bandara.
"Itu dia, tidak salah lagi, pucuk di cinta ulat pun tiba, eh bukan. Pucuk di cinta Non Rena pun tiba." Pak Dadang segera menghampiri Rena yang berjalan menarik kopernya.
Tanpa bertanya apa-apa, Pak Dadang mengambil koper yang dibawa oleh Nonanya.
Rena menonjok perut Pak Dadang begitu keras, hingga Pak Dadang menunduk kesakitan.
"Eh, apa hal, Pak cik nak rompak aku ke?" tanya Rena mengira kalau Pak Dadang ingin merampok koper yang dibawa olehnya.
"Pak Dadang mengeluh kesakitan akibat pukulan dari Rena. "Aduh, sakit non." keluh Pak Dadang.
"Pak cik Nak rompak ke?" tanya Rena lagi menatap tajam pada Pak Dadang.
Pak Dadang hanya diam sembari memegang perutnya. Pak Dadang bukan tidak menjawab, tapi Pak Dadang tidak mengerti apa yang diomongin oleh Rena.
"Nape pak cik diam, baik Pak cik cakap betul-betul, kalau tak, aku repot polis biar Pak cik masuk lokap." Rena hendak merogoh ponselnya namun tidak jadi karena Pak Dadang sudah buka suara.
"Apa itu rompak dan lokap?" tanya Pak Dadang karena tidak mengerti dengan bahasa yang digunakan oleh Rena.
Rena membulatkan bibirnya membentuk huruf o, dia baru ingat, mungkin Pak Dadang tidak mengerti dengan bahasa yang dia gunakan.
Rena jadi bingung, harus berbicara bagaimna dengan lelaki paruh baya di depannya sekarang.
Mau bicara dengan bahasa Indonesia, dia juga tidak tau banyak. Hanya saja dia mendengar Mamanya bicara ditelpon dengan temannya.
Disaat Rena sedang bingung, ponsel di sakunya berdering. Rena segera merogoh ponselnya dan melihat nama pemanggil ternyata Mamanya.
Rena langsung menggeser tombol jawab dilayar ponselnya.
"Awak dah sampai Kat mane? Mak dah suruh Pak cik Dadang jemput Awak."
"Ape, Pak cik Dadang?" tanya Rena pada Mamanya, namun mata menatap Pak Dadang, Rena mulai berfikir kalau Lelaki paruh baya didepannya sekarang ini yang dimaksud oleh mamanya.
"Aku dah kat air port, jap lagi sampai Kat rumah, dah ye Mak." Rena langsung mematikan ponselnya tanpa menunggu Mamanya berkata lagi.
"Macam mane budak ni, dah senget kot, pening kepale aku kalau macam ni." Ucap Azuhra melihat kelayar ponsel yang sudah gelap.
Rena menghampiri Pak Dadang. "Sape name Pak cik?" tanya Rena, Rena ingat yang dibilang oleh Mamanya tadi, kalau yang menjemputnya Pak Dadang.
"Dadang Non." Jawab Pak Dadang.
"O...Apa Pak cik diminta Mak menjemput ku?" tanya Rena pada Pak Dadang dengan bahasa yang bercampur antara Malaysia dengan Indonesia.
"Benar Non, kamu Non Rena 'kan? Tadi saya hanya ingin mengambil alih kopernya Non, biar tidak kerepotan." Pak Danang menjelaskan pada Nona mudanya biar tidak salah paham lagi.
Rena menyingir, dia merasa bersalah pada lelaki paruh baya didepannya sekarang.
"Sorry, Pak cik, aku ingat Pak cik nak rompak aku. Tapi Pak cik tak pe 'kan? Tanya Rena kasihan pada Pak Danang.
Pak Danang menggeleng. Mau gimana lagi, udah telanjur, mau bilang sakit juga tidak mungkin, karena sakitnya sudah hilang.
"Tidak apa-apa Non, lagi pula ini salah saya, karena tidak menyapa lebih dulu." Pak Danang pasrah, karena memang ini salahnya.
"Ye dah, mari kita pulang, yang tadi anggap je hadiah dari pade aku." Rena dengan enteng berkata tonjokan nya adalah hadiah pertemuan pertama dengannya.
Akhirnya kedua manusia beda usia itu melangkahkan kaki mereka menuju mobil.
Setelah berada didalam mobil, Pak Danang langsung menginjak gas mobilnya. Di dalam mobil keduanya saling mengobrol, Rena sudah banyak memakai bahasa Indonesia walaupun belum tau banyak tentang bahasa di Negara sekarang dia berada.
Pak Danang juga membantu Rena, dia mengajarkan Rena bahasa Indonesia agar Rena terbiasa.
Tidak terasa hari sudah semakin siang, Rena yang belum sarapan pagi tadi, tiba-tiba merasa perutnya lapar.
"Pak cik, boleh tak kita berhenti restoran atau rumah makan, aku merasa perutku sudah sangat lapar."
"Baik Non, beberapa meter lagi ada rumah makan Padang, kita berhenti disana aja." Jawab Pak Danang tidak menoleh pada Rena, mata lelaki paruh baya itu terus fokus kedepan.
"Oke Pak cik." Jawab Rena menyetujui apa yang Pak Danang bilang tadi.
Rangga yang tidak semangat, pemuda itu meminta izin pada wali kelasnya untuk pulang.
Wali kelasnya juga mengizinkan Rangga, karena tadi waktu di dalam kelas Rangga sangat kelihatan seperti orang sakit.
Setelah mendapat izin, pemuda itu mengendarai motornya bukan pulang kerumah, tapi dia memilih jalan-jalan untuk menenangkan pikirannya yang sedang banyak pikiran.
Sementara disekolah, Lidia ditemani dua sahabatnya celingak celinguk mencari Rangga, namun tidak ketemu.
"Azam, Ilham, mana Rangga? Kok tidak kelihatan dari tadi.?" tanya Lidia saat bertemu dengan dua sahabat Rangga.
Lidia sudah capek keliling-keliling mencari Rangga sang idola yang dicintainya, hingga Lidia bertemu dengan dua sahabat Rangga.
"Buat apa mangga, Lo sedang tidak hamil 'kan?" jawab Azam mengolok-olok Lidia yang menanyakan Rangga.
"Rangga, Azam, bukan Mangga, yang ditanya apa, yang di jawab apa." lirih Lidia pada kedua sahabatnya Rangga.
"Iya mangga, kalau Lo cari mangga, tu di rumah tetangga gue banyak." Azam pura-pura tuli, padahal yang ditanya Rangga bukan mangga.
"Rangga, Rang...ga, dengar tidak, Rangga bukan mangga". Lidia mulai kesal dengan kedua sahabat Rangga itu hingga meninggikan suara.
"Oh, mangga muda bro, jangan-jangan Lo ngidam ya." Sekarang Ilham yang menjawab.
"Enak aja, Lo bilang gue ngidam, hamil aja tidak." Sahut Lidia mulai kesal pada Ilham dan Azam.
Bersambung.