Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Misi Bersama
Pagi itu, Aira, Adrian, dan Raka berkumpul kembali. Masih lekat dalam ingatan mereka ancaman misterius yang terasa semakin nyata setelah menemukan dokumen rahasia di gedung tua. Kali ini, mereka sadar sepenuhnya bahwa mereka tidak hanya berhadapan dengan masa lalu, tetapi juga bahaya yang mengintai di setiap langkah.
Di meja kayu usang kafe tempat mereka biasa bertemu, Raka membuka pertemuan dengan suara serius.
"Kita harus berhati-hati mulai sekarang. Ada seseorang di luar sana yang tidak ingin kita tahu terlalu banyak," katanya tegas, pandangan matanya terfokus pada Aira.
Aira menggigit bibir, merasakan ketegangan yang semakin nyata. "Jadi, apa rencanamu, Raka? Bagaimana kita bisa mencari tahu siapa yang ada di balik semua ini tanpa membahayakan diri kita sendiri?"
Adrian ikut angkat bicara, kali ini nada suaranya penuh tekad. "Aku sudah memeriksa beberapa informasi dari dokumen itu. Sepertinya, ada tempat lain yang mungkin menyimpan bukti lebih lanjut tentang perselisihan ini."
"Di mana tempat itu?" tanya Aira, suaranya hampir berbisik.
"Gudang lama milik keluarga Raka, di pinggir kota," jawab Adrian dengan cepat. "Dari apa yang aku baca, tempat itu dulu sering dipakai untuk menyimpan berkas-berkas penting."
Raka mengangguk, menyetujui. "Itu mungkin benar. Gudang itu sudah tidak digunakan lagi sejak bertahun-tahun lalu. Ayahku tidak pernah berbicara banyak tentangnya, tapi mungkin di sana kita bisa menemukan bukti yang lebih kuat."
Aira menghela napas panjang, mencoba menenangkan rasa takut yang mulai merayapi hatinya. Misi ini bukan sekadar pengungkapan kebenaran, tetapi juga tentang keberanian menghadapi apa pun yang mungkin mereka temukan. Ia tahu ini akan menguji batas keberanian mereka, tetapi ia sudah terlanjur terikat pada tekad untuk mengetahui kebenaran.
"Kalau begitu, kapan kita akan ke sana?" tanya Aira, mencoba terdengar tegar.
Raka melihat ke arah Adrian seolah meminta persetujuannya. "Malam ini. Semakin cepat, semakin baik. Kita harus memanfaatkan waktu di mana tempat itu sepi, agar tidak ada yang menyadari keberadaan kita."
---
Malam itu, mereka bertiga menyelinap menuju gudang tua yang terletak di pinggir kota. Bangunan itu tampak menyeramkan di bawah cahaya bulan, dengan dinding yang mulai berlumut dan pintu besi yang berkarat.
Aira merasakan desiran dingin saat mereka mendekati pintu utama gudang. "Aku tidak suka tempat ini... ada sesuatu yang terasa janggal," gumamnya.
"Aku tahu, Aira. Tapi kita harus melakukannya. Kebenaran ada di sini," jawab Raka sambil meraih tangan Aira, mencoba memberi sedikit ketenangan.
Adrian berusaha membuka pintu, dan dengan sedikit usaha, pintu itu berderit terbuka. Di dalam, kegelapan menyelimuti, hanya diterangi oleh cahaya senter yang mereka bawa.
"Ayo kita mulai dari ruang penyimpanan di belakang. Berdasarkan dokumen sebelumnya, seharusnya ada sebuah peti besi di sana," kata Adrian.
Mereka berjalan perlahan, suara langkah kaki mereka menggema di dalam gudang yang sunyi. Jantung Aira berdetak kencang, tetapi ia berusaha menahan rasa takutnya.
Saat mereka sampai di ruang penyimpanan, Raka mengarahkan senter ke sudut ruangan. Di sana, tampak sebuah peti besi tua yang tertutup debu tebal. Dengan hati-hati, mereka mendekat dan berusaha membuka peti itu.
"Aku harap ini tidak terkunci..." gumam Adrian, namun saat ia menarik gagang peti, ternyata peti itu terkunci rapat.
"Apa kita harus mencari cara lain untuk membukanya? Mungkin ada kunci di sekitar sini," usul Aira, berusaha menenangkan diri.
Raka memutar otaknya cepat. "Kita tidak punya banyak waktu. Kalau tidak bisa dibuka, kita harus membawa peti ini keluar dan mencari alat yang lebih kuat."
Namun sebelum mereka sempat memutuskan, mereka mendengar suara langkah kaki dari luar ruangan. Ketiganya saling bertatapan, menahan napas. Ada orang lain di dalam gudang itu.
"Siapa itu?" bisik Aira panik, matanya melebar.
Raka meraih tangan Aira, menuntunnya ke sudut gelap ruangan untuk bersembunyi. Adrian bergerak cepat mengikuti, dan mereka bertiga menahan napas saat sosok seseorang masuk ke ruangan penyimpanan.
Sosok itu adalah pria berperawakan besar, dengan tatapan tajam yang jelas tengah mengawasi sekeliling ruangan. Pria itu tampak membawa sesuatu di tangannya, seperti tongkat pemukul. Sepertinya dia tidak berada di sana untuk sekadar mengecek gudang.
"Kita harus keluar dari sini sekarang," bisik Raka pada Adrian dan Aira.
Namun, tepat saat mereka hendak bergerak, suara derit kecil terdengar saat Raka tidak sengaja menginjak potongan kayu. Pria itu langsung menoleh ke arah mereka.
"Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada penuh ancaman, melangkah mendekat ke arah mereka.
Adrian memberi isyarat pada Aira dan Raka untuk mundur perlahan, namun pria itu semakin dekat, matanya menyipit seolah berusaha melihat siapa yang ada di depannya.
Saat pria itu semakin dekat, Raka memutuskan untuk beraksi. Ia berbisik cepat pada Aira dan Adrian, "Pergilah sekarang. Aku akan mengalihkan perhatiannya."
"Tapi, Raka—" protes Aira, namun Raka hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya.
"Pergilah, Aira. Aku bisa mengatasi ini," ucapnya sambil mengangkat sebuah kayu tua yang ia temukan di lantai, bersiap menghadapi pria tersebut.
Dengan ragu, Aira akhirnya mengikuti instruksi Adrian untuk keluar dari ruangan itu. Namun, ia tidak bisa mengabaikan perasaan was-was saat meninggalkan Raka sendirian di sana.
Mereka berhasil keluar dari gudang dengan selamat, namun suara benturan terdengar dari dalam, membuat Aira berhenti dan ingin kembali masuk.
"Aira, kita harus pergi sekarang. Ini demi keselamatan kita juga," kata Adrian sambil menarik Aira menjauh.
Namun, Aira tidak bisa menahan diri dan berbisik penuh kecemasan, "Adrian, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Raka? Aku tidak bisa membiarkannya sendirian di sana!"
Adrian menatap Aira, lalu mengangguk pelan. "Baik, kita akan tunggu di sini sebentar. Tapi kalau dalam lima menit dia tidak keluar, kita harus mencari bantuan."
Aira menatap pintu gudang dengan perasaan tak menentu. Lima menit terasa seperti selamanya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, Raka keluar dari dalam gudang dengan langkah cepat, wajahnya sedikit berantakan namun masih memancarkan ketegasan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Aira cemas, memegang lengan Raka.
Raka tersenyum lelah. "Aku baik-baik saja. Pria itu hanya penjaga yang tidak tahu banyak soal apa yang kita cari. Kita harus segera pergi sebelum lebih banyak orang datang."
---
Dalam perjalanan pulang, ketiganya terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Misi mereka kali ini nyaris gagal dan mereka sadar bahwa semakin dalam mereka mencari, semakin besar bahaya yang akan mengintai mereka.
Aira memandang Adrian dan Raka bergantian, merasa bahwa ada lebih banyak pertanyaan yang perlu dijawab. "Apa yang sebenarnya kita hadapi di sini? Kenapa banyak sekali orang yang berusaha menghalangi kita?"
Adrian mengangguk, menyadari betapa berbahayanya situasi ini. "Sepertinya ini lebih besar dari yang kita duga. Ada orang-orang yang mungkin memiliki kekuatan lebih besar dari yang kita kira."
Raka menatap Aira, berusaha meyakinkannya. "Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu, Aira. Aku sudah berjanji, dan aku akan menepatinya."
Aira tersenyum tipis, merasa sedikit tenang meskipun bayangan ancaman masih menghantuinya. Namun, ia tahu bahwa selama ada Adrian dan Raka di sisinya, ia bisa menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Namun, misi ini jelas belum berakhir. Mereka baru saja menggaruk permukaan kebenaran, dan Aira merasakan firasat kuat bahwa hal-hal yang lebih gelap menanti mereka di depan.
Dalam perjalanan pulang, ponsel Aira berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal: "Berhenti sekarang, atau kalian akan menyesal."
Aira merasakan ketegangan yang kembali menghampiri, dan saat menunjukkan pesan.