Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Dina duduk di ujung tempat tidur, tubuhnya terasa lelah setelah seharian bekerja dan kunjungan rahasianya ke rumah sakit. Di tangannya, ponsel menyala dengan foto Gio terpampang di layar. Bayi kecil itu tersenyum dalam foto, wajahnya cerah dan penuh kebahagiaan. Dina menatapnya dalam diam, seolah mencoba menyalurkan seluruh cinta dan kerinduan yang membebani hatinya.
Air matanya mulai menggenang, tapi Dina segera menghapusnya. Tidak, dia harus kuat. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, pada Johan, bahwa dia akan kembali untuk Gio—apapun risikonya.
Dina menghela napas panjang, merasa sakit yang tak bisa diungkapkan kata-kata setiap kali dia memandangi wajah anaknya di layar. Dia merindukan suara tangisannya, merindukan merasakan hangat tubuhnya saat digendong. Namun, untuk sementara waktu, dia hanya bisa melihatnya lewat foto.
Pikirannya berkelana ke rumah Ronny, membayangkan apa yang mungkin terjadi di sana. Apakah Gio diperlakukan dengan baik? Apakah dia dirawat dengan penuh kasih sayang? Pikiran-pikiran itu selalu menghantui Dina setiap kali dia memandang foto putranya.
Namun, lamunan Dina buyar saat terdengar ketukan pelan di pintu. Suara lembut Rita memanggil dari balik pintu, "Dina, ayo kita makan malam bersama. Sudah waktunya makan. Ferdi juga sudah menunggu di meja makan"
Dina menarik napas dalam-dalam, berusaha menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di hatinya. Dia mengusap matanya dengan cepat, mengembalikan ponselnya ke meja di samping tempat tidur. "Iya, Bu Rita. Saya segera turun," jawabnya sambil menatap foto Gio sekali lagi. "Mama akan segera datang, Sayang," bisiknya pelan, sebelum meletakkan ponsel di meja samping tempat tidur dan bersiap untuk bergabung dengan Rita dan Ferdi di meja makan.
***
Dina meletakkan sendoknya perlahan. Dengan hati-hati, ia menatap Rita dan Ferdi, mencoba memilih kata-kata yang tepat, ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
“Bu Rita, Pak Ferdi,” Dina mulai dengan suara lembut namun mantap, “saya ingin mengucapkan terima kasih untuk semua bantuan dan kebaikan yang sudah kalian berikan selama ini. Saya benar-benar merasa terbantu dan sangat bersyukur bisa berada di sini.”
Rita yang sedang menyendokkan sayur berhenti sejenak, menatap Dina dengan penuh perhatian. Ferdi, meskipun terlihat lebih dingin, juga mengalihkan pandangannya ke arah Dina.
“Tapi,” Dina melanjutkan, “saya rasa sudah waktunya untuk saya meninggalkan rumah ini. Saya sudah bekerja di perusahaan keluarga, dan saya tidak ingin terlalu merepotkan lagi. Saya akan menyewa sebuah apartemen kecil di dekat kantor. Saya rasa itu akan lebih baik, dan juga meminimalkan gosip yang mungkin timbul… mengingat posisi saya sekarang bekerja di Mentari Grup.”
Rita langsung meletakkan sendoknya dan memandang Dina dengan wajah terkejut. “Apa maksudmu, Dina? Kau ingin pergi dari sini? Apa ada yang membuatmu tidak nyaman disini?" tanya Rita.
Dina menggeleng, "Tidak ada yang membuat saya tidak nyaman, anda begitu baik pada saya. Tapi bagaimanapun, saya tidak bisa terus menerus bergantung pada anda, itu akan membuat saya seperti seseorang yang tidak tahu malu" jawabnya.
Namun, Ferdi yang duduk di seberang meja malah mengangguk setuju. “Aku rasa itu ide yang baik, Mi. Dina juga perlu tempat untuknya sendiri. Lagipula, jika dia tinggal sendiri, itu bisa membuat semuanya lebih mudah dan jauh dari gosip,” katanya dengan nada santai, tapi ada sedikit kaku.
Rita menatap Dina dengan lembut,dia lalu berkata, “Dina, sebenarnya ada apartemen milik Fifi—almarhum putriku—yang sudah lama kosong. Mungkin kau bisa tinggal di sana,” ujar Rita dengan hati-hati, mencoba menawarkan solusi yang dirasa tepat. “Apartemen itu kini hanya teronggok tak terpakai. Lagipula, tempat itu sangat dekat dengan kantor. Jika kau mau, kau bisa tinggal di sana.”
Dina terkejut mendengar tawaran itu, merasa terhormat namun juga sedikit cemas. “Bu Rita, saya...” Dina terdiam sejenak, Namun, sebelum Dina sempat mengungkapkan perasaan lebih lanjut, Ferdi yang sedari tadi diam, mendongak dengan ekspresi datar, namun suara yang keluar dari bibirnya tajam. “Tidak,” tegasnya, “Saya tidak akan mengizinkan Dina tinggal di sana.”
Ferdi melanjutkan, matanya tidak berpaling dari ibunya yang sedang menatapnya bingung. “Apartemen itu penuh kenangan Fifi. Kenangan yang tak bisa digantikan dengan begitu saja. Tidak ada alasan untuk membawa Dina ke sana, Mi. Mami tahu kan betapa tempat itu punya arti tersendiri bagiku,” ujarnya, nada suaranya keras namun penuh emosi.
Rita terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Ferdi. Wajahnya tampak sedikit terkejut, namun ia tetap mencoba untuk tenang. "Ferdi, itu hanya sebuah tawaran," katanya pelan, mencoba menjelaskan. "Apartemen itu sudah lama kosong, dan mungkin itu bisa menjadi tempat yang nyaman bagi Dina."
Namun, Ferdi sudah tidak bisa menahan emosinya. Dengan nada yang cukup keras, dia menambahkan, "Itu apartemen milik Fifi! Kamu tahu betapa banyak kenangan yang ada di sana, Bu. Tidak ada yang bisa tinggal di sana, apalagi orang yang baru datang ke keluarga kita. Tidak ada! Itu hanya akan mengganggu."
Dina tertegun, merasa canggung dengan atmosfer yang semakin tegang. "Ferdi, kenapa harus seperti itu?" Rita bertanya dengan nada bingung, melihat anaknya yang tampak sangat emosional. "Dina tidak bermaksud buruk, dia hanya butuh tempat tinggal yang lebih nyaman."
Namun, Ferdi sudah berdiri dan meletakkan serbet makanannya dengan gerakan kasar. "Aku tidak ingin melanjutkan percakapan ini," katanya tegas, suara amarahnya semakin jelas. "Aku tidak ingin ada orang lain di apartemen itu."
Ferdi kemudian berbalik dan berjalan meninggalkan meja makan tanpa memberi kesempatan pada Rita atau Dina untuk menjelaskan lebih jauh. Suara langkah kakinya yang cepat meninggalkan ruang makan terasa menggema, membuat suasana canggung diantara mereka bertiga semakin terasa.
Dina menatap kepergian Ferdi dengan rasa tak nyaman. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.
Rita, yang masih terkejut dengan reaksi Ferdi, akhirnya berpaling kepada Dina. "Maaf, Dina... dia hanya sangat emosional tentang hal itu," katanya pelan, mencoba memberi penjelasan. "Apartemen itu memang penuh kenangan dengan Fifi. Tapi jika kau sudah punya tempat lain, tidak masalah. Jangan khawatir."
Dina tersenyum tipis, mencoba mengurangi ketegangan yang ada. "Saya mengerti, Bu Rita. Terima kasih atas tawarannya, tapi saya sudah menemukan tempat yang pas."
Ferdi duduk di sisi tempat tidur, menatap foto yang dipegangnya dengan tangan gemetar. Di dalam foto itu, ia dan Fifi tersenyum ceria di tengah salju putih yang membentang luas di Swiss, tertawa lepas tanpa beban. Fifi, dengan wajah cerah dan senyum manis, tampak bahagia, dan Ferdi, dengan ekspresi penuh kasih sayang, mencubit pipi Fifi yang gemuk. Itu adalah kenangan indah yang terasa begitu jauh, begitu hilang.
Sambil memandangi foto itu, Ferdi berkata dengan suara bergetar, "Aku tidak sanggup menyingkirkan barang-barangmu, Fi. Semua yang ada di apartemen itu masih terasa seperti kamu. Setiap sudut, setiap benda—semuanya mengingatkanku pada kebersamaan kita. Aku… aku masih merasa seperti kamu ada di sini."
Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berbisik, "Aku sangat merindukanmu, Fi. Merindukan setiap momen kita bersama."
Dengan perlahan, Ferdi meletakkan foto itu kembali di meja samping tempat tidur, menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya bangkit. Ia tahu, meski waktu terus berjalan, perasaan ini tidak akan mudah untuk dilupakan. Kepergian Fifi meninggalkan bekas yang tak akan pernah bisa dia lupakan, dan Ferdi merasa bahwa dirinya perlu lebih banyak waktu untuk menerima kenyataan yang pahit ini.
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina