NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.10 - Pesan Tersirat untuk Bening

Akhir pekan selesai bagai kilatan petir, sangat cepat. Lail bahkan tak sadar jika hari ini sudah hari Senin. Efek tidur sangat larut semalam membuat matanya pagi ini terkatup rapat, sulit baginya membuka kelopak mata. Teriakan mamahnya pun sudah menghantui sejak setengah jam lalu karena Lail tak kunjung sarapan.

“Mana si bro?” tanya Lail pada sang mamah. FYI, bro adalah panggilan darinya untuk kakak perempuannya.

“Udah berangkat dari jam enam.”

“Ouh...”

“Cepet nih sarapan.”

“Hm.”

Sudah jadi rutinitas tetap jika Lail hanya sarapan bersama mamahnya. Kakaknya yang sudah kuliah selalu berangkat pagi karena faktor universitas yang jauh dan dia tidak nge-kost. Bapaknya kerja di Bogor dan akan pulang setiap dua minggu sekali. Rumah selalu terasa sepi sejak bapak kerja di luar kota.

“Aku berangkat, Mah!”

“Ya!”

Seperti biasa jalan yang dia lewati adalah jalan besar keluar perumahan. Di samping gerbang masuk Perumahan Cempaka, ada gerbang masuk Perumahan Agoni. Dari luar saja, Lail bisa melihat perbedaan yang jomplang. Luas kedua perumahan ini hampir sama. Tapi yang membedakan keduanya adalah para penghuni perumahan.

Perumahan Cempaka itu diisi oleh orang-orang dengan ekonomi menengah, rumah yang didesain di sini juga tampak sederhana dan minimalis. Berbanding terbalik dengan Perumahan Agoni yang diisi orang-orang dari kalangan menengah ke atas. Rata-rata penghuni perumahan adalah para pengusaha sukses.

Beberapa dari mereka malah adalah konglomerat dengan anak perusahaan tersebar di banyak kota. Rumah-rumah dibangun menjulang tinggi, mewah, megah, berkelas, luas dengan furnitur yang harganya tak main-main. Bahkan Lail bisa bilang kalau garasi mereka ukurannya sama dengan rumah-rumah yang ada di Perumahan Cempaka.

Padahal tetangga, tapi rumput mereka sangat hijau.

...****...

Lail, dengan balutan perban di lehernya menjadi pusat perhatian para siswi saat berjalan di lapangan. Lail muak dengan tatapan mereka. Gosip memang menyebar seperti virus, sangat cepat dan sukar dicegah. Tentu Lail akan menjadi populer sebagai siswi yang menyelamatkan adik kelas dari cakaran kakak kelasnya sendiri.

“Jadi itu yang dicakar Marina.”

“Bukannya tuh cewek yang menang lomba aritmetik, yah?”

“Anjir, kasian banget. Gak salah apa-apa malah jadi korban.”

“Si Marina emang bakal tantrum banget kalau soal cowoknya.”

“Kenapa dia nyalahin adik kelasnya ya? Padahal bisa aja emang si Farhan yang gatel.”

Lail bisa menyimak sesi julid mereka di pagi hari. Dia memang tak menjadi objek kebencian, tetapi dibicarakan oleh orang lain atas hal yang tidak membanggakan akan masuk sebagai femonena terburuk dalam hidunya. Senang rasanya ada salah satu yang ingat bahwa dia memenangkan lomba aritmetik.

Sudah tujuh kali Lail menghela napasnya pagi ini.

“Met pagi, La!” suara cempreng Azara menyapa pendengaran Lail.

“Yeah...”

“Ciee~ yang mendadak populer.” Goda Azara.

“Cie~ yang abis nge-date bareng pacar.” Goda Lail balik, tapi raut wajahnya tidak bersahabat.

Wajah Azara menekuk, Lail jadi tidak seru semenjak lehernya punya empat cakaran panjang.

“Udah ilang belum bekasnya?” tanya Azara, mengalihkan topik dengan cepat.

“Udah, tapi sedikit.”

Azara tidak berbicara lagi, dia memainkan ponselnya sambil berjalan ke kelas. Lail tidak memperingati, percuma, karena sudah berkali-kali pun tetap tak masuk ke otaknya juga.

“Lail! Zar!”

Lail menengok, itu Bening. Gadis itu setengah berlari ke arah mereka. Kemudian melangkah beriringan di samping Lail. Bening menatap leher Lail, perban itu belum bisa dilepas sepenuhnya oleh Lail. Kalau Bening melihat bekas luka itu sebelum diobati, mungkin reaksinya akan sama seperti Bu Petris. Kebodohan memang tak bisa dibasmi dengan mudah.

Bening tahu, sekolah yang terlihat elit ini sebenarnya diisi oleh murid-murid yang tidak diterima di sekolah negeri. Jadi bisa dibilang kalau mereka pas-pasan dalma hal kecerdasan. Tapi ada juga beberapa siswi yang masuk ke sini tanpa ikut seleksi ke sekolah negeri dengan alasan beragam.

“La, liat geh!”

Azara menyerahkan ponselnya dengan ekspresi terkejut, dia bahkan sampai menutup mulutnya sendiri. Lail memerhatikan dengan seksama, ternyata anak ini sedang main faceb**k, aplikasi legendaris yang mulai ditinggalkan. Tapi Lail tak fokus pada aplikasinya, melainkan postingan dari salah satu pengguna.

Ada foto seorang gadis remaja menangis. Dia curhat di postingannya sendiri kalau dirinya baru saja melakukan hubungan se*sual dengan dua pria sekaligus. Alasan kenapa dia menangis adalah gadis itu kesakitan karena milik si kedua pria terlalu besar untuknya, tapi mereka tetap memaksa masuk juga. Bahkan gadis itu tak ragu mengetikkan nama mereka berdua, Agung dan Kurniawan.

Wajah Lail tak bisa dikondisikan, dagunya jatuh seketika. Bening penasaran, dia mengambil ponsel Azara di tangan Lail. Lail bersitatap dengan Azara, mereka tak berbicara, tapi lewat tatapan mata itu mereka seolah melakukan telepati.

Reaksi Bening tak berbeda jauh dengan Lail dan Azara. Kini mereka bertiga berdiri membeku di tengah lapangan, memproses postingan yang baru saja mereka baca.

Tidak tahu apa yang mereka rasakan, tapi Lail 100% merasa jijik. Entah apa yang dipikirkan gadis itu sampai dia memposting pengalaman luar biasa itu di media sosial. Apa dia lupa kalau semua orang bisa tahu? Dan lagi, jejak dunia maya takkan terhapus semudah menarik napas.

Azara memang payah, dia membuat Lail dan Bening memulai hari Senin yang penuh tekanan dengan berita mencengangkan.

Hampir lima menit mereka diam membatu di tengah lapangan, akhirnya Lail yang berjalan pertama menuju kelas diikuti Bening dan Azara. Tatapan jijik mereka masih tertanggal di wajah. Ah, Azara benar-benar menyebalkan.

“Gara-gara kamu nih Zar, aku jadi gak selera makan.” Bening protes, kantung plastik yang ia tenteng berisi nasi uduk itu pasti takkan langsung dimakan sesampainya mereka di kelas.

Azara selalu saja membuat heboh kalau masuk. Seringnya sih dia absen, izinnya ke guru kalau tidak sakit ya izin. Seakan-akan dunia akan berakhir jika dalam satu minggu dia tak absen sekolah.

Lail menarik napas lega, “Untung aku udah sarapan.”

Sampai di kelas, Lail cukup terkejut karena hampir semua sudah datang kecuali Nylam dan Giselle. Lail yakin mereka tidak membatu di tengah lapangan selama itu.

“Hm?”

Lail menoleh ke papan tulis, Amanda dan Khalila tengah menggambar sesuatu di sana. Seperti gambar awan yang di dalamnya berisi tulisan, seperti quotes.

Beberapa siswi maju ke depan untuk menuliskan sesuatu di dalam lingkaran awan. Lail mengernyit, lebih banyak quotes percintaan, rupanya siswi di kelasnya banyak yang korban pacaran. Ada yang diselingkuhi, yang belum melupakan mantan, mencintai diam-diam, kebanyakan yang seperti itu.

“Mau nulis gak, La?” Isvara memberi Lail spidol yang baru ia pakai.

“Ouh.. ok.” Lail terima saja, toh cuma tulisan main-main.

'Hidup segan, mati enggan'

Itu yang Lail tuliskan di papan tulis.

“Hee~ lo gak punya kisah cinta yang mengenaskan gitu, La?” tanya Isvara.

Lail menggeleng, dia tak mau menceritakannya.

Welda maju ke papan tulis, begitu juga dengan Azara yang akhir-akhir ini selalu mengekor padanya. Memang seru membacakan apa saja yang tertulis di sana. Welda meminjam spidol yang Lail pegang dan mulai menulis sesuatu di papan tulis.

'Setiap orang juga punya masalah. Jadi gak usah lebay sampe nyakitin diri sendiri!'

Lail terpaku, itu bukan sekedar quotes, itu kalimat sindiran, dan Welda jelas tidak sedang menyindir dirinya sendiri. Kalaupun iya, berarti dia bodoh karena membuka kartu hitamnya. Jadi, itu jelas bukan untuknya. Dan jika benar dia menyindir orang lain, pasti orangnya ada di kelas ini.

Kayak kenal... haiyaa~ peduli apa aku?

Lail melenggang ke kursinya. Setelah sesi menulis quotes di papan tulis, Amanda, si Ketua Kelas 1-7 maju ke depan kelas. Di tangannya di membawa toples bening yang terdapat gulungan kertas di dalamnya.

“Hari ini kita bakal ngundi tempat duduk.”

Huh?

Bukan hanya Lail, tetapi siswi lain yang bukan pasukan oranye kaget mendengarnya. Sudah sampai setengah semester dan mereka baru memutuskan mengundi tempat duduk. Neraka macam apa itu?

Lail yakin, keputusan ini dibuat tanpa persetujuan kelas, hanya persetujuan kelompok tertentu saja. Sungguh memuakkan.

“Ada dua angka di dalem kertas ini, yang depan buat menentukan baris, kan ada empat baris tuh. Angka yang di belakang tuh buat nentuin dari depan sampe belakang. Nomor 1 paling depan, 4 paling belakang.” Amanda menjelaskan.

Lail paham dengan cepat. Yang tidak dia pahami adalah nampaknya tidak ada yang mau protes dengan keputusan mendadak si tukang ngatur ini. Iya, dia seorang Ketua Kelas. Tapi parah sekali kalau dia mengambil keputusan tanpa pendapat semua orang, manusia egois.

Sejujurnya juga Lail tak bisa protes, karena berurusan dengan Amanda pasti takkan kelar sampai Lail bersujud di kakinya. Lail takkan lupa kalau dia akan bersama orang-orang ini sampai lulus.

Lail mendengus kasar.

Satu demi satu siswi mengambil kertas undian dari dalam toples, termasuk Lail. Saat Lail membuka kertas, nomor 4-1 tertulis di sana. Lail mengumpat, dia duduk paling depan.

Lail memandang iri kepada mereka yang beruntung mendapat nomor di mana mereka duduk sebelumnya. Entah kenapa angin keberuntungan tak berembus melewatinnya.

Welda bahkan bisa duduk bersampingan dengan Azara. Lail sebenarnya tak masalah karena duduk di dekat dengan Bening dan Nylam, tapi masalahnya adalah kenapa dia harus paling depan? Hampir berhadapan dengan guru lagi.

Malasnya...

Lail berusaha menahan amarahnya. Ia juga menahan kakinya untuk tidak menendang Amanda. Tidak cukup jika Lail hanya mengumpatinya dengan ribuan kata mutiara di dalam hati, setidaknya Amanda harus dimuntahi oleh kucing dulu baru dia bisa maafkan.

Bel pulang sudah berbunyi, hari melelahkan setelah minggu ujian berjalan cukup cepat. Lail membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Menaikkan kursinya ke atas meja, agar yang piket besok pagi tak perlu susah-susah.

“La?” panggil Bening.

“Ya?”

Bening sedikit ragu, dia membuang pandangannya ke arah lain.

“Kamu sadar gak kalau aku gak deket sama mereka lagi?” tanya Bening.

Lail mengangkat sebelah alisnya.

Pasukan oranye?

“Iya.” Jawab Lail.

“Sebenernya mereka yang jauhin aku.”

Keliatan sih...

“Semuanya dimulai pas ulangan harian Bahasa Indonesia.”

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!