Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malu-malu Mau
Amar yang sebelumnya menghindari kontak mata dengan Mahira, kembali menatap Mahira ketika melihat Mahira berusaha bangkit dari tidurnya.
""E-Mahira, istirahat saja," ucap Amar sambil menahan lengan Mahira.
"Aku akan beristirahat di kamar ku." ujar Mahira menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya.
"Kenapa, kamu tidak suka berada di kamar ku?"
"Bukan begitu tapi..."
"Mahira! setelah apa yang terjadi dengan mu, aku tidak akan membiarkan mu tidur sendirian!"
Mendengar itu Mahira tercengang dengan tatapan tak percaya. "Maksud kak Amar?" tanya Mahira memastikan.
Seakan baru menyadari apa yang baru saja Ia katakan kepada Mahira, Amar tergagap, mencari alasan apa untuk menutupi keinginan sebenarnya.
"A-eum m-maksudnya, untuk sementara waktu kamu bisa tidur di kamar ku, di sini, E-di ranjang ini, sementara aku bisa tidur di sofa, yang penting kamu tidak tidur sendirian."
"Oh, tidak usah, aku bisa minta Mbak Lia dan Emir menemaniku." Mahira yang mengingat kejadian kemarin malam, berusaha untuk turun dan tidak lagi mengharapkan Amar yang tidak pernah mau mengakui apa keinginan sebenarnya.
Amar hanya diam membiarkan Mahira melangkah keluar, hingga pada saat Amar mendengar gagang pintu terbuka, Amar memejamkan mata menarik nafas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh keberanian dan menyingkirkan rasa gengsinya.
"Mahira!" Amar langsung menutup pintu kamarnya kembali seperti yang kemarin Ia lakukan. Hanya bedanya kali ini Amar bersikap lembut tidak kasar seperti malam kemarin.
Mahira hanya diam menunggu apa yang ingin Amar katakan, terlihat sekali dari mimik wajah serta gerak bibirnya jika Amar begitu kesulitan untuk mengatakan apa yang sebenarnya dia inginkan.
"Mahira... tunggu disini," ucap Amar yang kemudian keluar dari kamar. Hal itu membuat Mahira tercengang karena mengira Amar akan mengatakan sesuatu yang ia harapkan selama ini.
"Entah apa yang ada dalam pikirannya." gumam Mahira yang kemudian membuka pintu lebih lebar. Namun belum sempat Mahira keluar, Amar kembali dengan membawa barang-barangnya Mahira ke kamarnya.
"Kak Amar..." lirih Mahira bingung dengan apa yang Amar lakukan.
"Tetaplah disini, aku belum selesai," ucap Amar memberi peringatan.
Dalam kebingungannya, Mahira menuruti apa yang Amar katakan. Menunggu Amar yang bolak balik beberapa kali memindahkan barang-barang Mahira ke kamarnya.
"Aku rasa ini sudah cukup," ucap Amar begitu melihat barang-barang Mahira yang sudah Ia kumpulan menumpuk di sofa.
"Kak Amar, apa ini?"
"Apa Mahira, kenapa kamu masih tidak paham juga, Aku sudah bilang kamu tidak boleh tidur sendiri,"
"Iya tapi..."
"Aku tidak setuju jika Mbak Lia yang menemani mu dia juga perempuan, apalagi Emir, dia itu masih bayi, apa yang akan dia lakukan untuk menjaga mu!?" Amar terus mencari alasan untuk bisa tidur satu kamar dengan Mahira. Dengan itu Amar tidak perlu menurunkan gengsinya dan mengakui jika sebenarnya Ia ingin membuka hatinya dan memberi kesempatan pada pernikahannya.
Mahira yang sebenarnya mengetahui maksud Amar, tersenyum bahagia lalu memeluk Amar dari belakang. Hal itu membuat Amar yang mendapat pelukan tiba-tiba merasakan debaran jantungnya berbeda dari biasanya.
Setelah beberapa menit membiarkan pelukan itu,
perlahan Amar memegang tangan Mahira yang melingkar di perutnya, lalu berbalik badan menatap Mahira.
Tidak ada kata-kata apapun yang terucap dari bibir keduanya, hanya senyum malu-malu yang kemudian berakhir dengan Amar menarik tangan Mahira ke pelukannya.
Bersambung...
Ditunggu karya selanjutnya
sehat wal'afiat selalu ya mbak Noor.
pasti direkam pula buat bukti