NovelToon NovelToon
Binar Cakrawala

Binar Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Cintamanis / Teen School/College / Romansa / Slice of Life
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: And_waeyo

Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.

Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?

"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"

Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 32. Maaf

Binar rasa ini adalah momen paling awkward selama kebersamaannya dengan Cakra. Beberapa menit berlalu, tapi masih belum ada pembicaraan. Kini, mereka berada di taman belakang rumah Binar. Duduk di ayunan yang berada di bawah pohon, berdua.

Cakra melirik ke arah Binar yang sibuk menunduk sambil memain-mainkan jarinya. Sementara ia sendiri malah sibuk mengatur degup jantungnya yang berdebar-debar tak karuan.

Lelaki itu berdehem singkat.

"Gimana kabar lo?" tanyanya.

Cakra tertawa miris dalam hati. Ia memang tidak pandai berbasa-basi.

"Baik," jawab Binar pelan, padahal sebenarnya ia sedang berusaha tak menangis.

Binar tak menanyakan kabarnya balik, membuat lelaki itu bingung harus melanjutkan perbincangan dengan apa lagi. Cakra menghela napas, ternyata memang bisa sesusah ini mencari obrolan. Lelaki itu jadi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Gue ... mau minta maaf."

Akhirnya, ia memilih to the point.

"Hn?" Binar langsung menoleh ke arahnya.

"Seharusnya gue nggak ngomong kayak kemarin sama lo. Seharusnya gue nggak perlu marah karena lo udah masuk ke dalam masalah gue dan Seno. Gue salah, Bi. Bukan cuma itu, maaf atas semua perlakuan gue ke lo, yang mungkin buat lo sakit hati selama ini."

Binar mengerjapkan kedua matanya. Ia kembali menunduk dan memainkan jari-jari tangannya.

"Lo berhak marah sama gue, gue memaklumi itu. Karena gue emang keterlaluan, seharusnya gue berterima kasih udah ada orang yang mau repot-repot membantu menyelesaikan masalah gue. Ketika gue sendiri malah berusaha menghindar."

Cakra menelan salivanya susah payah. Tangan kirinya terangkat, meraih tangan kanan Binar. Kemudian menggenggam itu dengan kedua tangannya.

"Maaf, Bi."

Kedua mata Binar mengembun. Ia menghela napas pelan lalu menengadah sesaat hanya agar air matanya tak jatuh.

Cakra agak khawatir saat Binar menarik tangan dari genggamannya.

"A-aku, aku butuh waktu sendiri dulu."

"Ya?---oh ok, gue ngerti. Lo nggak mau maafin gue?"

"Bukan, aku rasa nggak ada yang perlu dimaafin, bahkan meski ada, aku udah maafin Kak Cakra sebelum Kakak minta maaf. Aku cuma ... lagi mikir aja. Apa yang aku putuskan ke depannya pasti akan berdampak sesuatu. Tapi sekarang, aku takut memutuskan, aku nggak bisa berpikir dengan baik."

"Apa itu berarti kita berkemungkinan nggak akan balikan?"

"Apa sebelumnya kita pacaran?" tanya Binar sambil menatap lelaki itu.

Kedua mata Cakra membulat. Binar tersenyum tipis, meski tampak sedikit dipaksakan.

"Aku selalu pengen nanyain ini sama Kak Cakra. Apa waktu itu kita memang pacaran?"

"Kenapa? Lo meragukan gue?"

"Karena waktu itu ... kesannya, Kak Cakra kaya nggak nembak aku sama sekali. Aku juga nggak tahu gimana perasaan Kak Cakra ke aku, dan aku pengen tahu."

Lelaki itu kini berpindah, setengah berdiri di hadapan Binar. Ia menggenggam kedua tangan gadis itu sambil menatap kedua matanya tepat. Membuat Binar terkejut dengan tindakan lelaki itu.

"Gue sayang lo," kata Cakra.

"Hah?"

Rasanya Binar seperti bermimpi. Apa ia tak salah dengar?

"Gue cinta lo, bahkan dari dulu. Mungkin ini terkesan dibuat-buat karena bagi lo terasa tiba-tiba. Tapi memang begitu yang terjadi, gue cinta sama lo dari dulu. Tapi gue pikir ... lo sukanya sama Seno, karena kalian dekat. Jadi, gue nggak pernah bilang sama lo. Gue memang pengecut karena takut ditolak," kata Cakra.

"Aku udah nganggap kak Seno sebagai kakak aku sendiri."

"Kalau gue?"

"Bukannya udah jelas?"

"Bi ...."

Binar menghela napas pelan dan menunduk. "Aku rasa ... kita masih sama-sama butuh ruang sendiri. Rasanya aneh, baru kemarin aku dibuat nggak baik-baik aja dan sekarang ada sesuatu ... yang entahlah rasanya kayak mimpi."

"Gue nyakitin lo banget, ya?"

Gadis itu tak langsung menjawab pertanyaan Cakra, ia masih menundukkan kepala. Juga tak mau menatap lelaki itu. Air matanya mengembun. Bersiap jika harus dibuat jatuh untuk ke sekian kali.

"Waktu kemarin Kak Cakra bilang aku bukan siapa-siapa ... itu sakit banget. Mungkin salah aku juga, aku pikir aku seseorang yang cukup spesial buat Kakak," aku Binar jujur dengan setetes bening yang kemudian jatuh dari matanya.

Disusul dengan beberapa tetes air mata yang juga ikut jatuh.

"Bi---"

"Dulu, ketika aku cuma bisa lihatin Kak Cakra dari jauh, atau ngelihat Kak Cakra sama cewek lain. Rasanya nggak lebih sakit dari itu, tahu fakta kalau ternyata aku bukan siapa-siapa buat Kak Cakra dari Kakak sendiri---"

"Gue salah, gue nggak maksud----"

"Dengerin aku dulu." Binar terdengar kesal, ia menggigit bibir bawah sebentar lalu menarik napas dalam.

"Kenapa Kak Cakra nggak mau dengerin aku? Biarin aku selesai bicara!"

Binar terisak pelan. Menatap Cakra dengan aliran deras yang keluar dari kedua matanya. Lelaki itu menatap Binar dengan tatapan menyesal.

"Maaf," gumamnya.

Lalu, Cakra memeluk Binar. Mendekap gadis yang kini menumpahkan tangisnya itu.

"Aku benci karena aku sama sekali nggak bisa berhenti suka sama Kak Cakra. Padahal aku lagi sakit hati, tapi aku nggak bisa nolak, nggak bisa sama sekali. Aku bodoh banget."

Cakra membiarkan Binar meracau di sela tangisnya.

"Sekarang aku harusnya nggak mau dipeluk Kak Cakra.Tapi aku nggak bisa, aku malah ... senang Kak Cakra ke sini. Aku benci karena sekarang aku jadi cengeng, padahal sebelumnya aku nggak terlalu cengeng. Semua gara-gara Kak Cakra," ucap Binar di sela isakannya.

Lelaki itu mengurai pelukan. Menatap Binar yang masih terisak, ia mengusap air mata gadis itu. Rasanya seperti déjà vu, seolah ia pernah melakukan ini pada Binar. Meski memang benar, ia pernah mengusap air mata gadis itu. Ketika dulu, Binar kecil menangis waktu terjatuh dari sepeda. Pertemuan pertama mereka.

"Nggak mau balikan?" tanya Cakra.

Binar hanya diam, ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Cakra menghela napas melihat itu, ia membingkai wajah mungil Binar dengan tangannya, mengarahkan gadis itu agar menatap ke arahnya.

"Bi?"

Binar tak menjawab.

"Sayang?"

"Jangan panggil aku sayang!"

"Mau apa kalau gitu?"

"Nggak usah sok manis. Udah manis soalnya, hati aku murahan, gampangan banget kalau soal kak Cakra. Jangan kayak gitu."

Cakra mengerutkan kening, lalu mengerjap. "Lo mau gue gimana biar lo maafin gue."

Pipi Binar memerah. "Nggak mau."

"Nggak mau maafin? Beneran?"

Binar diam.

"Manis banget. Ngambek gini pipi lo lucu."

"Lucu ya lihat aku kayak gini?"

"Bukan, Bi."

"Nggak ada yang lucu!" Binar kesal.

"Kak Cakra tuh emang nggak sayang sama aku," gumamnya yang masih bisa didengar Cakra.

"Gue sayang lo, makannya gue mau kita balikan."

Binar mendecak sebal. Ia menarik ingus yang hampir saja keluar dari hidungnya.

"Aku ... aku pengen Kak Cakra tuh usaha lebih keras gitu. Minta maaf doang, semua juga bisa," ucap Binar pelan.

"Minta maaf dan mau mengakui kesalahan itu bukan hal yang mudah, nggak sedikit orang yang kesulitan akan hal itu," kata Cakra.

Binar tiba-tiba berdiri, membuat Cakra kaget dan mendongak menatap gadis itu karena ia masih setengah berdiri.

"Yaudah! Kalau gitu nggak usah balikan! Bye!" katanya, kemudian mulai melangkah pergi.

Cakra menatap gadis itu dengan tatapan syok.

Baru saja beberapa langkah. Binar membalikkan tubuhnya.

"Tuh kan! Aku nggak dikejar!" Binar berteriak sambil mengentakkan kaki kesal.

Lelaki itu mengerjap. Baru saja akan berdiri, namun tak jadi ketika Binar berkata, "Nggak usah ngejar aku! Pergi sana! Aku benci Kak Cakra!"

Lalu, Binar berbalik lagi dan melangkah pergi. Kali ini benar-benar pergi tanpa menoleh atau pun berbalik untuk mengomel lagi. Cakra masih diam selama beberapa saat. Kemudian ia tersadar dan mengerjap.

Cakra rasa ... Senopati ada benarnya juga. Binar kekanakan, tapi di sisi lain, gadis itu imut secara bersamaan. Lelaki itu kini berdiri, ia menghela napas. Jika Binar mau ia berusaha lebih keras, apa yang harus ia lakukan?

1
anggita
biar ga cemburu terus, kasih like👍+iklan☝.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!