Saat istri tidak ingin memiliki bayi, saat itulah kekecewaan suami datang, ditambah lagi istrinya selingkuh dengan sahabatnya sendiri, sampai akhirnya mereka bercerai, dan pria itu menjadi sosok yang dingin dan tidak mau lagi menyapa orang didekatnya.
Reyner itulah namanya, namun semenjak bertemu dengan perempuan bernama Syava hidupnya lebih berwarna, namun Reyner todak mau mengakui hal itu.
Apa yang terjadi selanjutnya pada mereka?
saksikan kisahnya ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aghie Yasnaullina Musthofia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 Rencana Reyner membawa Syava Ke ruamh
3 hari berlalu, malam itu dirumah Reyner, Bima yang baru sampai dari Jakarta disambut hangat oleh Arini, dan kini mereka berada diruang keluarga.
"Papa lama banget sih di Jakarta, mama kesepian tau"
"Wah kasihan sekali istriku", sambil mencubit hidung Arini. " bagaimana keadaanmu sayang? Apa sudah enakan?"
"Sudah pa,, aku baik-baik saja, aku ingin bicara sesuatu sama papa"
"Oh ya, bicara tentang apa? "
"Sebenarnya mama itu jatuh hati pada seseorang,,, "
Belum usai ucapan Arini, Bima menyahutnya.
"Apa? Mama udah nggak cinta lagi sama papa? ".
"Ish bukan itu pa,, mama itu jatuh hati sama seorang perempuan,,,"
"Apa? Jadi mama sekarang belok?"
Lagi-lagi Bima memotong ucapan Arini dengan sedikit jahil.
"Ih papa ini, dengerin dulu dong pa, jangan suka motong pembicaraan orang..", Arini mulai kesal, dan membuat Bima tersenyum senang melihat istrinya.
"Iya-iya, oke papa dengarkan ", Bima menegakkan badannya dan Arini kembali bicara.
"Sebenarnya mama itu suka dengan perempuan yang bekerja di kantor Reyner, mama itu ingin dia menjadi menantu mama, tapi dia menolak dan Reyner juga nggak mau usaha deketin dia, anak papa itu memang menyebalkan", cerita Arini.
"Ya mama jangan memaksa dia juga dong ma..."
Dari arah belakang, mereka mendengar suara Reyner, Reyner menyahut pembicaraan ibunya.
Reyner dan Jai yang baru pulang dari kantor itu pun segera menyalami mereka.
"Papa sudah pulang? ", tanya Reyner, begitu pun Jai menayapa juga ikut menyapa tuanya.
"iya papa baru aja datang"
Reyner dan Jai ikut bergabung bersama mereka.
"Tuh kan pa, anakmu itu selalu cuek dan nggak peduli dengan apa yang mama rasakan"
Reyner hanya tersenyum mendengar aduan Arini pada Bima.
"Sabar ma,, Rey pasti menikah,,, dia tidak mungkin mau jadi bujang lapuk selamanya", celetuk Bima.
Reyner tergelak dengan candaan ayahnya.
Arini yang masih kesal kemudian ganti menatap Jai.
"Jai, lebih baik kau segera menikah, jangan tunggu Reyner, nanti ajak istrimu kesini, biar rumah ini tidak sepi ", tutur Arini dengan sesekali menatap Reyner sinis.
Jai terkejut mendengar ucapan majikannya.
Reyner tertawa melirik Jai yang ekpresinya sekarang salah tingkah.
'Kenapa jadi aku yang kena', batin Jai.
"Kalau istri Jai nemenin mama terus, kapan mereka bikin anaknya ma? ", celetuk Bima.
Seketika mereka tertawa, wajah Jai sudah merah karena malu, padahal dia belum kepikiran untuk menikah, namun niat itu memang ada.
"Sudah ma,, kasihan Jai, dipojokin terus,, mama tenang aja,, Reyner pasti akan mencari menantu yang baik buat mama", tutur Rey lembut, agar Arini tidak semakin kepikiran.
"Ya baguslah, lebih cepat lebih baik".
Mereka kembali kekamar nya masing-masing, sementara Jai kembali ke apartemennya.
...
Di kamar, Reyner berdiri di balkon menatap malam, gelap, ya, gelap seperti hatinya. Dia masih memikirkan ucapan ibunya yang menginginkan dirinya segera menikah.
Tiba-tiba ia teringat dengan Syava yang tidak pernah menayapa nya, Syava menjadi pendiam setelah kejadian dirumah sakit kemarin.
"Apa dia ingin menghindariku?, tapi kenapa, apa aku tidak setampan mantanya?, kenapa aku tidak terima dengan sikapnya yang seperti itu? "
Reyner tersadar dari lamunannya, ia segera mengalihkan pikiran anehnya.
Reyner kembali masuk kekamarnya dan merebahkan tubuhnya diatas ranjang, ia menatap atap langit kamarnya, bayangan Syava tidak pernah hilang, namun sebuah ketukan pintu kamarnya membuyarkan lamunannya.
Reyner segera menuju arah pintu, dan membuka pintu kamarnya.
"Papa? "
Bima menatap Rey dengan senyum misterius.
"Tumben papa kekamar, biasanya kita ngobrol diruang kerja? "
Bima tanpa menjawab segera masuk kamar Reyner menuju balkon dan berdiri menatap malam.
"Papa ingin bicara sedikit sama kamu"
Reyner menghampiri papanya untuk standby mendengarkan.
"Banyak juga nggak apa-apa kok pa", celetuk Rey, membuat Bima menyimpulkan senyum nya.
"Aku tidak mau begadang dan menganggurkan mamamu", Bima tak mau kalah, namun Rey hanya nyengir.
"Mentang-mentang seminggu nggak ketemu"
"Kau ini, memangnya kau tidak pernah merasakan rindu saat bersama Siska dulu?saat dia sering pemotretan di luar kota atau luar negeri bahkan hampir satu bulan kau dianggurin, kau kuat sekali tidak mengeluarkan kecebongmu selama itu", pertanyaan ambigu Bima itu membuat Rey malas karena ada nama Siska disebut.
"Ngapain bahas dia sih pa?", ujar Rey malas. "Papa tadi mau bicara apa?", tanya Rey kembali.
Bima menarik nafasnya dalam untuk mulai berbicara.
"Papa sedang memikirkan keadaan mamamu Rey?, papa takut semakin hari mamamu tidak bisa mengontrol pikirannya, dan mungkin itu akan membuat penyakit mamamu semakin parah. Papa hanya punya mamamu, kau dan Rena tidak mungkin setiap saat menemani kami, jadi papa harap tolong penuhi harapan mamamu", Bima menerangkan kegelisahan hatinya.
"Papa bicara apa sih,,,? papa tidak boleh berpikir seperti itu, Rey dan Rena pasti akan menemani kalian sampai kapanpun", tutur Reyner lembut.
"Yah sekarang kau masih lajang, tapi saat kau menikah kau harus memprioritaskan keluargamu Rey"
"Aku belum siap untuk itu pa"
"Sampai kapan, apa kau ingin melihat mamamu,,, "
Belum usai bicara, Reyner menyela ucapan pria itu.
"Papa stop,! Please jangan bicara yang tidak-tidak tentang mama, aku akan berusaha pa,, walaupun hatiku masih trauma tentang pernikahan", Rey meyakinkan Bima.
Bima yang menatap Rey pun akhirnya mengangguk dan sedikit menekan pundak anaknya.
"Kau pasti bisa melalui itu Rey, demi kesembuhan mama mu".
Reyner hanya mengangguk pasrah, Bima ingin pergi dari kamar Reyner namun langkahnya berhenti dan kembali menatap anaknya.
"Jika bisa ajaklah karyawanmu yang bernama Syava itu kerumah, agar mamamu sedikit terhibur". Bima tersenyum puas.
Tanpa bicara lagi Bima benar-benar keluar dari kamar Reyner.
Reyner yang terkejut masih ternganga mendengar ucapan papanya, ia gusar dan mengusap sebagian wajahnya dan berfikir.
"Bagaimana caranya aku membawa dia kerumah, semua orang dikantor pasti akan curiga".
Reyner merogoh ponselnya, dan melakukan panggilan pada Jai.
"Iya halo ada apa bos? "
"Apak kau punya ide untuk membawa Syava kerumah? "
Jai sedikit terkejut namun dia juga senang.
"Kenapa harus pakai ide segala bos, tinggal bilang aja sama dia kalau Nyonya Arini ingin bertemu"
"Tapi kau tau sendiri kan shabatnya itu selalu nempel pada Syava, aku nggak mau ada gosip diantara aku dan Syava"
"Santai saja bos, Leni tidak seperti itu orangnya, dia selalu menjaga nama baik Syava apapun yang terjadi"
"Kau bisa menjamin itu tidak akan terjadi? Karena aku tidak mau Syava dibully rekan kerjanya"
"Aku jamin 100 persen bos"
"Baiklah, kalau begitu besok kau atur saja bagaimana Syava bisa keluar kantor bersamaku"
"Siap laksanakan bos"
Panggilan mereka berakhir, Jai bernafas lega ia senyum-senyum sendiri, namun seketika ia mengingat saat pertama bertemu dengan Leni didepan kantor.
***