Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Sarapan yang Mengejutkan
Pagi itu, Blokeng merasa kelelahan namun lega. Setelah malam panjang penuh kejadian aneh, akhirnya ia bisa sedikit bersantai. Ia terbangun di sofa ruang tamu, masih dengan baju yang lusuh dan sedikit bau alkohol. Sambil menggaruk kepala yang sedikit pening, ia berjalan ke dapur mencari sesuatu untuk dimakan.
Matanya tertumbuk pada sepiring gorengan di meja—pisang goreng kesukaannya yang ia beli kemarin sore dari warung. Blokeng tersenyum, merasa pagi itu mungkin bisa sedikit lebih baik setelah malam mengerikan yang ia alami.
Tanpa pikir panjang, ia mengambil satu potong pisang goreng yang tampak renyah di luar, lalu menggigitnya dengan lahap. Tekstur renyah itu terasa menggoda, dan rasa manis pisang langsung menyebar di lidahnya.
Namun, beberapa gigitan kemudian, Blokeng merasakan sesuatu yang aneh. Ada rasa pahit dan bau tak sedap yang tiba-tiba menyergap.
Ia berhenti mengunyah, menatap pisang goreng itu, dan perasaan ngeri merayap di hatinya. Dengan sedikit ragu, ia membuka bagian dalam pisang goreng itu dan—
“Astaga!” Blokeng terkejut setengah mati saat melihat bangkai cicak kecil di tengah pisang gorengnya!
Refleks, ia memuntahkan semua yang ada di mulutnya dan merasa mual luar biasa. Wajahnya langsung pucat pasi, sementara pikirannya penuh dengan bayangan ngeri. “Ya ampun, apaan ini!” teriaknya sambil menatap pisang goreng itu dengan jijik.
Sambil berkeringat dingin, Blokeng membuang sisa pisang goreng itu ke tempat sampah, lalu bergegas ke wastafel untuk berkumur-kumur. Rasa pahit masih menempel di lidahnya, dan bau bangkai cicak terasa seakan-akan masih melekat di rongga mulutnya.
Dalam keadaan panik, Blokeng mengibas-ngibaskan tangannya, seolah berharap rasa jijik itu bisa hilang. "Hah, ini pasti kutukan! Gara-gara aku kemarin macam-macam sama hantu-hantu itu. Astaga, kenapa nasibku sial banget!"
Di tengah kekacauan itu, Blokeng tiba-tiba teringat dengan kejadian semalam. Ia merasa, mungkin ini adalah balasan atas keberaniannya menantang pocong dan makhluk-makhluk halus lainnya. Pikiran itu membuatnya semakin ketakutan, tetapi juga sedikit penasaran.
"Ah, tapi masa iya gara-gara itu?" Blokeng menghela napas, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan ngeri masih bergelayut dalam pikirannya. Dalam hati, ia berjanji akan berhati-hati lagi jika bertemu dengan makhluk gaib. Setelah kejadian ini, mungkin ia perlu meredam keinginannya untuk bertingkah terlalu sok berani.
Blokeng memutuskan untuk menenangkan diri dengan meminum segelas air. Namun, meskipun sudah mencoba menenangkan diri, bayangan tentang bangkai cicak di dalam pisang goreng itu masih menghantuinya.
Dan pagi itu menjadi pelajaran yang sangat berarti bagi Blokeng—bahwa mungkin, dalam hidup ini, beberapa hal memang tak seharusnya dianggap remeh.
Masih dengan perasaan mual akibat insiden sarapan tadi, Blokeng merasakan perutnya tiba-tiba melilit tak nyaman. Rasa nyeri mulai terasa di perutnya, mengingatkannya pada anggur merah yang ia tenggak sendirian semalam. Ia mendesah, memegangi perut, dan melangkah menuju kamar mandi dengan tergesa-gesa.
Begitu sampai di kamar mandi, ia segera duduk dan mencoba menghilangkan rasa tak nyaman itu. Namun, saat ia selesai dan melihat ke bawah, matanya terbelalak. Darah—warnanya merah tua bercampur di air yang membuatnya terkejut setengah mati. Jantungnya berdetak kencang, dan kepanikan mulai melandanya.
“Astaga… darah?” Blokeng bergumam, bingung dan sedikit ketakutan. Pikiran buruk berkelebat di kepalanya. Apa ini ada hubungannya dengan semua kejadian seram yang dialaminya belakangan ini? Ataukah ini efek dari anggur merah yang ia tenggak semalam?
Ia menggelengkan kepala, mencoba berpikir jernih. "Ah, mungkin ini cuma karena minum anggur merah kebanyakan aja," gumamnya, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa was-was tetap menghantui, membuatnya berpikir untuk lebih berhati-hati lagi dalam memilih minuman.
Dengan langkah gontai, Blokeng keluar dari kamar mandi, menahan rasa nyeri yang masih berdenyut di perutnya. Hari itu benar-benar terasa panjang, penuh kejadian aneh dan momen-momen yang membuatnya tertegun.
Dalam hati, ia berjanji untuk lebih berhati-hati dan mungkin sedikit mengurangi kebiasaannya yang sering kelewatan, baik dalam hal minum maupun sikap kerasnya. Blokeng akhirnya duduk di ruang tamu, merenungkan serangkaian peristiwa yang seolah mengingatkannya akan akibat dari gaya hidup dan sikapnya selama ini.
Baru saja Blokeng duduk di ruang tamu untuk menenangkan diri, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang dingin dan licin jatuh di atas kepalanya. Ia bergidik dan refleks memegang kepalanya—dan di sanalah, seekor cicak kecil, masih bergerak-gerak, bertengger tepat di rambutnya.
"Arrrghh! Cicak lagi?!" teriak Blokeng, setengah panik dan benar-benar jengkel kali ini. Dengan tangan gemetar, ia menepis cicak itu, yang langsung berlari menuruni lengannya, meninggalkan jejak lengket.
Ia berdiri dan berjalan mondar-mandir, memegang kepalanya yang masih terasa dingin akibat cicak tadi. "Aduh, apaan sih ini! Mulai dari pisang goreng yang ada bangkai cicaknya, sampai sekarang cicak beneran jatuh di kepala gue. Ini udah kelewatan!" Blokeng berteriak, merasa dirinya benar-benar dikerjai nasib.
Dalam hati, Blokeng semakin yakin bahwa rentetan kejadian ini adalah akibat dari ulahnya semalam—terlalu menantang hal-hal yang mungkin seharusnya tidak diganggu. Kali ini, ia merasa bahwa batas kesabarannya benar-benar diuji.
Dengan muka cemberut, ia memutuskan untuk keluar rumah sejenak, mencari udara segar dan mungkin sedikit menenangkan pikirannya. Namun, dalam langkah pertama keluar pintu, ia masih bergumam sendiri, "Kalau begini terus, jangan-jangan besok ada ular pula yang nongol di kasur gue… Hadeh, sial banget sih hidup gue!"
Blokeng keluar rumah dengan wajah muram, berjalan sambil menendang-nendang kerikil di jalan. Sisa kejengkelan akibat insiden cicak tadi masih menghantui pikirannya. Perutnya masih sedikit melilit, kepalanya pusing, dan rasa frustrasi menumpuk. Seolah alam pun bersekongkol untuk terus menguji kesabarannya.
Ia menyusuri jalan setapak yang biasa ia lewati, berharap angin segar malam bisa menenangkan pikiran. Namun, perasaannya masih berat, dan langkahnya semakin lesu. Sampai akhirnya ia berhenti di pinggir jalan, duduk di sebuah bangku kayu yang sepertinya sudah tua dan lapuk. Suasana malam terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara jangkrik dan angin berdesir yang menemani.
Blokeng menyandarkan kepala ke bangku kayu, menghela napas dalam-dalam. "Apes… apa gue dikutuk apa gimana, ya?" gumamnya pada diri sendiri, matanya memandang langit yang gelap.
Tiba-tiba, dari sudut mata, ia melihat sesuatu bergerak di dekat kakinya. Ia menunduk dan—astaga—seekor tikus kecil melintas begitu dekat hingga nyaris menyentuh sepatunya. Blokeng melompat dari tempat duduknya, setengah kaget setengah jengkel. "Dasar tikus sialan! Apa semua makhluk malam pada pengen ganggu gue?!"
Ia melangkah menjauh dari bangku itu, mengusap-usap wajahnya yang sudah basah oleh keringat dingin. Di saat seperti ini, Blokeng merasa dirinya benar-benar dipermainkan oleh keadaan. Ia tertawa kecil, tapi bukan karena geli—melainkan karena ia merasa tak berdaya.
"Ya Tuhan, kalau ini hukuman, ampunilah gue deh," gumamnya pelan, mencoba merenungi apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin semua ini adalah peringatan supaya dia lebih berhati-hati dan mengendalikan sifat keras kepala dan kebiasaannya yang cenderung berlebihan.