Alyssa, seorang gadis dari keluarga sederhana, terpaksa menerima pernikahan dengan Arka, pewaris keluarga kaya raya, demi menyelamatkan keluarganya dari krisis keuangan. Arka, yang memiliki masa lalu kelam dengan cinta pertamanya, juga tidak menginginkan pernikahan ini. Namun, tuntutan keluarga dan strata sosial membuat keduanya tidak punya pilihan.
Dalam perjalanan pernikahan mereka yang dingin, muncul sebuah rahasia besar: Arka ternyata memiliki seorang anak dari cinta masa lalunya, yang selama ini ia sembunyikan. Konflik batin dan etika pun mencuat ketika Alyssa mengetahui rahasia itu, sementara ia mulai menyadari perasaannya yang kian berkembang pada Arka. Di sisi lain, bayangan cinta lama Arka kembali menghantui, membuat hubungan mereka semakin rapuh.
Dengan berbagai pergulatan emosi dan perbedaan kelas sosial, Alyssa dan Arka harus menemukan jalan untuk berdamai dengan masa lalu dan membuka hati, atau memilih berpisah dan meninggalkan luka yang tak terobati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ansel 1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggilan Tak Terduga
Alyssa sedang menyelesaikan tugas rumah ketika tiba-tiba suara Ibu terdengar memanggilnya dari ruang tamu. Suara itu berbeda dari biasanya nada serius yang membuat Alyssa berhenti sejenak, merasakan ketegangan yang tak biasa. Mungkin ini soal utang, pikirnya. Belakangan ini, keadaan keuangan keluarganya memang terasa semakin berat, meski Ibu dan Ayah tak pernah terbuka sepenuhnya. Namun, ada perubahan kecil di sekitar mereka yang tak luput dari pengamatannya Ayah sering pulang larut, wajahnya semakin murung, dan Ibu pun terlihat lebih lelah dari sebelumnya.
Dengan langkah ragu, Alyssa menuju ruang tamu, hatinya diselimuti kekhawatiran yang sulit dihilangkan. Saat tiba di ambang pintu, dia melihat Ayah sudah duduk di sofa, dengan Ibu di sampingnya, keduanya tampak begitu serius. Ayah menatap lurus ke depannya, dan ketika menyadari kehadiran Alyssa, dia pun berdehem pelan, seolah mencari kekuatan untuk berbicara.
Alyssa duduk perlahan di sofa di hadapan mereka, matanya memandang penuh tanya. Ia tak ingat kapan terakhir kali melihat ekspresi seserius ini dari kedua orang tuanya. Biasanya, meski ada masalah, mereka selalu mencoba menenangkan Alyssa dan adik-adiknya, menjaga agar tak ada yang merasa terbebani. Tetapi malam itu berbeda. Ada sesuatu yang membuat Ayah terlihat begitu... muram.
Keheningan yang terasa panjang akhirnya terpecah ketika Ayah membuka suara. "Alyssa, Ayah dan Ibu ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting."
Alyssa menelan ludah, rasa gugup semakin memuncak. Apa pun yang akan disampaikan Ayah, Alyssa merasa ini bukan percakapan biasa. Ada perasaan tak nyaman yang menyusup ke dalam hatinya, seolah sudah meramalkan sesuatu yang besar. Dia mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia siap mendengarkan, meskipun jantungnya berdetak cepat.
Ayah menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kamu harus menikah, Alyssa."
Kata-kata itu seakan menggema di telinganya, membuatnya tercengang. Untuk beberapa detik, Alyssa hanya bisa memandang kedua orang tuanya, berusaha memproses ucapan Ayah. "Menikah? Ayah... maksudnya menikah dengan siapa?"
Tatapan Ayah mengeras, namun tampak bimbang, seperti ada pergulatan batin di dalam dirinya. "Namanya Arka. Putra dari keluarga kaya yang memiliki bisnis besar di kota ini. Keluarga kita... sedang berada dalam kondisi keuangan yang sangat sulit, dan mereka menawarkan bantuan dengan syarat kamu menikah dengan putra mereka."
Alyssa hampir tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kepalanya terasa pusing, dan hatinya mulai berontak. Menikah? Dengan seorang pria yang bahkan tidak dikenalnya? Hanya demi menyelamatkan keuangan keluarga? Rasanya seperti sebuah mimpi buruk yang datang tanpa peringatan.
"Ayah, Ibu... Alyssa belum siap untuk menikah. Alyssa bahkan tidak mengenal Arka." Suaranya bergetar, dipenuhi oleh campuran kebingungan dan ketakutan.
Namun, Ayah hanya menatapnya dengan tatapan memohon, penuh harapan yang tampak begitu berat. "Alyssa, Ayah tahu ini bukan keinginanmu. Tapi Ayah mohon... demi keluarga kita."
Ayah melanjutkan, suaranya pelan dan bergetar, "Selama ini, Ayah dan Ibu sudah berusaha keras untuk mempertahankan keluarga kita. Kami tak ingin kamu terbebani dengan masalah ini, tapi keadaan semakin sulit... dan kami tak tahu harus bagaimana lagi."
Alyssa bisa melihat kerutan di wajah Ayah yang semakin dalam, tanda betapa berat beban yang dipikulnya. Dia menyadari, mungkin inilah pertama kalinya Ayah terlihat begitu rapuh di matanya. Biasanya, Ayah adalah sosok yang tegar, yang selalu terlihat kuat di depan anak-anaknya. Namun malam itu, dia seolah melihat sosok yang berbeda sosok seorang ayah yang merasa tak berdaya, mencari dukungan dari putrinya yang selama ini selalu ia lindungi.
"Alyssa," suara Ibu terdengar lembut, mencoba meredakan ketegangan yang membara, "Kami mengerti ini bukan sesuatu yang mudah untukmu. Tapi, Arka... dia pria yang baik, dan keluarganya adalah salah satu keluarga terpandang di kota ini. Mereka bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untukmu... dan juga untuk kita semua."
Alyssa menundukkan kepala, perasaannya campur aduk. Di satu sisi, dia merasa perjodohan ini begitu tak adil. Hidupnya baru saja dimulai, masa depannya masih penuh harapan dan impian. Namun, di sisi lain, dia melihat keputusasaan yang tergambar di wajah Ayah dan Ibu. Mungkin ini adalah jalan yang harus ditempuhnya demi keluarga yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang.
"Arka... apakah dia tahu tentang ini? Apa dia juga setuju?" tanyanya dengan suara pelan, mencoba meraba-raba perasaannya sendiri.
Ayah mengangguk pelan. "Dia sudah tahu, dan keluarganya setuju. Mereka menyatakan bahwa ini akan menjadi pernikahan yang sah, Alyssa. Dan meskipun kamu tidak mengenalnya, kamu akan mendapatkan kehidupan yang baik bersamanya."
Alyssa memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya yang bergolak. Bayangan masa depan yang sudah lama ia impikan perlahan-lahan hancur di hadapannya. Menikah... dengan seseorang yang bahkan tak ia kenal. Bagaimana ia bisa menjalani hidup bersama orang asing? Namun, di balik semua kebingungannya, ada perasaan kecil yang tumbuh sebuah keinginan untuk membantu keluarganya, untuk membalas segala kebaikan dan pengorbanan mereka selama ini.
Dalam keheningan yang terasa berat itu, Alyssa akhirnya mengangguk, meskipun hatinya belum sepenuhnya menerima. "Baiklah, Ayah, Ibu... jika ini yang terbaik untuk keluarga kita... Alyssa akan melakukannya."
Ibu menahan tangis dan menggenggam tangan Alyssa dengan erat, penuh kasih dan harapan. Sementara itu, Ayah tampak sedikit lega, meskipun ada guratan penyesalan di wajahnya. Alyssa tahu, keputusan ini akan mengubah seluruh hidupnya, membawa dia ke jalan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di dalam kamarnya malam itu, Alyssa merenung dalam kesunyian. Jantungnya berdebar kencang, pikiran tentang Arka terus berkeliaran dalam benaknya. Bagaimana rupa pria itu? Apakah dia juga merasakan hal yang sama, atau pernikahan ini hanya dianggapnya sebagai formalitas semata? Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban yang pasti.
Alyssa menatap keluar jendela, ke arah bintang-bintang yang bersinar redup di langit malam. Ia tahu, keputusannya ini akan membawa banyak konsekuensi. Namun, ia juga tahu bahwa keluarga adalah segalanya baginya. Dengan perasaan yang campur aduk, Alyssa menarik napas panjang dan mencoba menerima kenyataan yang ada di depan mata.
Esok adalah awal yang baru, meskipun hatinya belum siap sepenuhnya. Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tegar, untuk menjalani setiap langkah dengan kepala tegak.
Malam itu terasa panjang dan sunyi, suara detakan jam dinding menjadi satu-satunya teman Alyssa. Ia berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit yang samar-samar terlihat dalam gelap. Sepertinya, dunia luar tidak berubah, tetapi hidupnya kini telah berputar 180 derajat. Menikah? Tiba-tiba, itu semua terasa begitu nyata dan menakutkan.
Alyssa berusaha menenangkan diri, mengingat semua cita-cita yang pernah ia impikan. Dia ingin melanjutkan pendidikan, meraih gelar di universitas, dan memiliki karier yang bisa mengubah hidupnya dan keluarganya. Namun, semua itu kini seakan sirna dalam sekejap mata. Dia merasa seolah-olah terperangkap dalam jaringan yang dibuat oleh orang-orang di sekelilingnya. "Apakah semua impianku harus dikubur begitu saja?" tanyanya dalam hati.
Keesokan harinya, matahari terbit dengan indah, seolah tidak mengindahkan kekacauan di dalam hati Alyssa. Ia bangun dengan perasaan campur aduk dan melangkah ke kamar mandi. Sambil mencuci wajahnya, ia mencoba menghilangkan rasa kantuk dan kebingungan yang masih membayangi pikirannya. Alyssa tahu, hari ini adalah hari yang penting hari di mana ia akan bertemu Arka untuk pertama kalinya.
Setelah sarapan yang penuh keheningan, Alyssa bergegas bersiap. Ibu dan Ayah sudah menunggunya dengan penuh harap, memberi semangat di antara ketegangan yang masih terasa di udara. “Kamu pasti akan baik-baik saja, Alyssa,” Ibu berkata dengan senyum tipis yang mencoba menutupi kekhawatiran. “Dia anak yang baik, dan keluarganya terhormat.”
Alyssa hanya mengangguk, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Ya, Ibu," jawabnya pelan, meskipun hati kecilnya meragukan segalanya.
Alyssa mengenakan gaun sederhana, meskipun sedikit lebih formal dari biasanya. Dia ingin memberikan kesan yang baik, meskipun semua ini terasa seperti paksaan. Setelah berpamitan dengan Ibu dan Ayah, Alyssa keluar rumah dengan langkah yang terasa berat. Setiap langkah menuju mobil terasa seperti perjalanan menuju ketidakpastian.
Ketika mereka tiba di rumah Arka, Alyssa merasa jantungnya berdebar kencang. Rumah besar di depannya megah, dengan taman yang tertata rapi dan pagar tinggi yang melindungi kehidupan di dalamnya. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari mobil, berusaha menenangkan diri. Saat dia mendekati pintu depan, suara ketukan di pintu terdengar kencang di telinganya.
Pintu terbuka, dan di depannya berdiri seorang pria tampan dengan senyum hangat yang menghiasi wajahnya. Arka, pikir Alyssa. Dia terlihat jauh lebih muda dari yang ia bayangkan, mungkin sebaya atau sedikit lebih tua. "Selamat datang, Alyssa," katanya dengan suara yang lembut namun tegas. "Senang bertemu denganmu."
"Selamat datang, Alyssa," ujar seorang wanita paruh baya yang muncul di belakang Arka. "Aku Ibu Arka. Kami sudah menunggu kedatanganmu." Senyumannya menunjukkan kehangatan, meskipun Alyssa merasakan ada harapan yang besar terpancar dari matanya.
“Terima kasih, Bu,” jawab Alyssa, berusaha tersenyum meskipun perasaannya masih campur aduk. Arka mengajak Alyssa masuk, dan saat melangkah ke dalam, Alyssa merasa seolah sedang memasuki dunia baru dunia yang sama sekali berbeda dari kehidupannya sehari-hari.
Di dalam, suasana rumah terasa nyaman dan elegan. Ruang tamu yang luas dipenuhi dengan perabotan mewah dan lukisan-lukisan indah di dinding. Alyssa merasa sedikit canggung, seolah ia adalah penonton di dalam sebuah drama yang tak ia pahami. Arka memperkenalkan Alyssa kepada keluarganya, dan Alyssa berusaha menjawab semua pertanyaan dengan baik, meskipun di dalam hatinya dia masih merasa ragu.
Setelah beberapa saat berbincang, Arka mengajak Alyssa ke taman belakang yang lebih tenang. "Aku tahu ini mungkin terasa aneh bagi kamu," kata Arka dengan nada yang tulus. "Tapi aku ingin kita saling mengenal, agar pernikahan ini tidak terasa seperti sebuah paksaan."
Alyssa melihat mata Arka, yang bersinar penuh harapan. Dia merasa terkejut dengan kejujuran dan ketulusan pria ini. "Kau benar. Semua ini terasa cepat, dan aku tidak tahu harus bagaimana," jawab Alyssa, suaranya bergetar. "Aku... aku tidak ingin menyakiti keluargaku, tetapi aku juga tidak tahu apakah aku siap untuk menikah dengan seseorang yang bahkan tidak aku kenal."
Arka mengangguk, memahami kegundahan yang ada di hati Alyssa. "Kita semua punya beban masing-masing. Aku pun tidak ingin menjalani ini tanpa ada rasa saling mengenal. Mari kita coba untuk memahami satu sama lain, setidaknya sebelum semuanya terjadi."
Percakapan mereka mengalir begitu natural, meskipun Alyssa masih merasa gelisah. Mereka mulai berbicara tentang hobi, kehidupan sehari-hari, dan impian masing-masing. Alyssa menemukan bahwa Arka adalah orang yang baik, dengan pandangan hidup yang sejalan dengan dirinya. Meskipun terpaksa, Alyssa merasa ada benih rasa nyaman yang tumbuh di antara mereka.
Sesi perkenalan itu berakhir dengan lebih banyak pertanyaan dari Arka. Dia tampak tertarik dengan apa yang Alyssa lakukan dan dengan antusiasme yang tulus. Alyssa merasa sedikit lega, seolah beban di pundaknya sedikit berkurang.
Saat waktu berlalu, Alyssa merasakan bahwa mungkin ada harapan di balik semua ini. Mungkin, pernikahan yang dia terima ini bukan hanya sekadar paksaan, tetapi bisa jadi awal dari sesuatu yang lebih. Namun, saat kembali ke rumah, perasaan keraguan masih menghantuinya. Apakah ini benar-benar langkah yang tepat? Akankah Arka bisa menerima Alyssa apa adanya, dengan segala ketidakpastian yang mengelilinginya?
Di rumah, Ibu dan Ayah menunggu dengan penuh harapan. "Bagaimana pertemuannya, Alyssa?" tanya Ibu dengan wajah bersemangat.
Alyssa tersenyum, meskipun hatinya masih bergejolak. "Dia baik, Ibu. Kami... kami berbincang-bincang. Tapi semuanya terasa cepat."
Ayah menepuk bahunya. "Yang terpenting, kamu berusaha. Kami percaya ini akan menjadi awal yang baik."
Malam itu, Alyssa berbaring di ranjangnya, mencoba memikirkan segala hal yang terjadi. Dia ingin percaya bahwa keputusannya untuk menikah bisa menjadi langkah yang benar, bukan hanya untuknya tetapi juga untuk keluarganya. Namun, di balik semua itu, keraguan masih terus mengintai. Akankah Arka dan keluarganya menerima Alyssa, dengan segala ketidaksempurnaannya? Dan bagaimana jika dia tidak bisa mencintai Arka seperti yang seharusnya?
Dengan pikiran yang penuh keraguan, Alyssa akhirnya terlelap dalam tidurnya, berharap untuk menemukan jawaban dalam mimpi yang indah.