Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EVELINE 2
Azkan dan Laina berdiri bersisian di dalam sebuah rumah sederhana yang semua perabotannya terbuat dari kayu hasil buatan sendiri. Di dalam rumah itu, terdapat satu ruang tamu yang cukup luas untuk menampung sepuluh orang, dan terlihat ada tiga kamar tidur berjajar di sisi lain bangunan. Kemudian, di ujung kamar terakhir, ada dapur lengkap dan sebuah meja makan besar di seberangnya. Di sisi dapur itu, terdapat pintu terbuka yang menampilkan halaman belakang berumput hijau dan sebuah danau.
“Eveline, mulai sekarang, kau akan tinggal di sini.” suara seorang pria dewasa yang sedang berdiri berhadapan dengan Eveline kecil, memecah keheningan di ruang tamu. Di sisinya, berdiri istrinya yang diam seribu bahasa dengan wajah datar. Di sisi kanan dan kiri istrinya, berdiri dua orang anak perempuan yang usianya tak berbeda jauh dari Eveline, menggandeng tangan ibu mereka sambil menatap Eveline dengan penuh tanda tanya.
“Terima kasih, paman.” Eveline yang masih menenteng tas besar di tangan kecilnya, mengangguk dalam kesenduan. Dia menatap kedua anak yang berpakaian rapi dan berpenampilan cantik di hadapannya.
“Bersikaplah yang baik dan jangan bertengkar dengan anak-anak bibi. Jangan membuat masalah.” kali ini, suara bibi Eveline, ibu dari kedua anak perempuan di sisinya, terdengar tegas.
“Iya, bibi.” Eveline langsung menyadari kalau kehadirannya di rumah ini, tak sepenuhnya disambut oleh bibinya. Mungkin juga oleh kedua anak bibinya. Saudara sepupu yang tak pernah dekat dengannya sejak mereka lahir.
“Karena kamar di rumah bibi sudah penuh, kau bisa memakai kamar cadangan di bagian belakang dapur.” bibi Eveline menunjuk sebuah pintu yang hampir tak terlihat di dekat meja makan keluarga. Itu adalah kamar yang letaknya bersisian langsung dengan dapur. Benar-benar terpisah dari tiga kamar lain yang berjajar rapi dari sisi ruang tamu hingga pintu menuju kebun belakang yang indah. Dari kamar yang akan ditempati Eveline, dia pasti bisa mendengar semua suara dari dapur dan meja makan, kapanpun ada orang yang datang ke sana. Ukuran kamar itu juga lebih kecil dibanding ketiga kamar lainnya. Sebenarnya, bibi Eveline berniat menjadikan kamar itu sebagai ruang penyimpanan. Tetapi hal buruk terjadi begitu saja di keluarga suaminya sehingga dia harus menerima keadaan yang tidak diinginkannya sekarang ini. Yaitu menerima seorang anak yang tak pernah dekat dengannya, untuk tinggal di dalam rumahnya. Sekarang ini, beban di dalam hati bibi Eveline, begitu berat dan menyesakkan.
Eveline kecil segera berjalan menuju kamar yang ditunjukkan bibinya sambil menenteng tas berisi pakaian dan dokumen identitas yang dia miliki. Di dalam kamar itu, terdapat satu tempat tidur untuk satu orang, sebuah lemari pakaian, dan sebuah meja belajar. Di sisi tempat tidur, ada jendela yang membuat sinar matahari dari taman belakang bisa masuk dengan bebas. Bagi Eveline, kamar kecil dan sederhana ini, adalah penyelamat hidupnya. Dia yang masih kecil, tak menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi ataupun kemungkinan akan apa yang bisa saja terjadi setelah ini.
Bagi Eveline kecil, usia dua belas tahun dan menjadi yatim piatu adalah hal terburuk di hidupnya. Tak ada lagi hal lain yang bisa lebih buruk. Setidaknya untuk saat ini.
“Arlina, Naira, ayo makan siang.” suara bibi Eveline, terdengar lembut memanggil kedua anak perempuannya yang sedang bermain di taman belakang rumah. Di dapur, bibi Eveline menyalakan kompor, menghangatkan makanan yang tadi pagi sudah dia siapkan untuk makan siang. Dari jendela memanjang di dapur, bibi Eveline bisa melihat kedua anak perempuannya sedang bermain lempar batu ke arah danau. Dia tersenyum, merasakan kehangatan di hatinya, sambil berharap sungguh-sungguh di dalam hatinya, agar semua akan baik-baik saja. Agar kehidupan keluarganya yang selama ini baik-baik saja, penuh kedamaian dan kebahagiaan, tidak akan berubah.
“Laura, panggil juga Eveline untuk makan bersama kita.” suara suaminya, Redo, melenyapkan senyuman Laura.
Dia menyibukkan dirinya dengan persiapan makan siang, “panggil saja sendiri. Aku sibuk.”
Redo bukannya tak tahu kenapa istrinya bersikap seperti itu. Segala hal yang pernah terjadi di masa lalu, menumpuk dalam ingatan Laura, dan semua itu hanya menghasilkan perasaan buruk baginya. Tetapi sekarang, yang bisa dilakukan Redo hanyalah mengambil tanggung jawab sebagai anak pertama di keluarganya dan harus membantu keponakannya yang menjadi yatim piatu.
“Anak-anak ibu, ayo makan. Nanti main lagi.” suara Laura kembali terdengar hangat, senyumannya lebar, langkah kakinya ringan menghampiri anak-anaknya yang bertelanjang kaki berlarian di halaman belakang. Bahkan terdengar pula suara tawa mereka.
Eveline bisa mendengar semuanya. Sangat jelas.
“Eveline, keluar dari kamar dan makan.” perintah pamannya tak bisa dia langgar.
Eveline duduk di ujung meja makan, tidak berhadapan dengan siapa pun, karena paman dan bibinya, duduk berhadapan di sisi kanan dan kiri meja makan berbentuk persegi panjang itu. Di sisi bibinya, duduk Arlina, sang anak pertama, sedangkan di sisi pamannya, duduk Naira si bungsu yang menggemaskan. Tangan bibinya bergerak secara otomatis, mengambil lauk kesukaan masing-masing anaknya dan meletakkannya di piring mereka yang langsung disambut dengan senyuman lebar dan ucapan terima kasih penuh kasih sayang dari keduanya. Hal yang sama juga dilakukan bibinya pada sang paman yang memainkan rambut panjang anak bungsunya. Namun tangan bibinya tak melakukan apa pun untuknya. Bibinya kemudian mengurus isi piringnya sendiri, dan memulai percakapan makan siang dengan kedua anaknya. Bibinya, sama sekali tak mempedulikan kehadirannya.
“Ambil sendiri makananmu, Eveline.” setidaknya, pamannya masih menyuruhnya untuk mengambil makanan sendiri.
Eveline makan dalam diam, mengamati betapa hangatnya hubungan paman, bibi, dan kedua anak mereka. Eveline ingin memiliki semua itu juga. Selama ini, sejak lahir hingga usianya dua belas tahun, dia hidup dalam pengasuhan seorang ibu yang selalu mengeluarkan kata-kata makian dari mulutnya. Ibunya juga tidak punya sedikitpun kelembutan seperti bibinya. Ibunya adalah orang paling keras kepala yang pernah dia tahu. Apa pun yang dikatakan oleh ibunya, harus dia patuhi tanpa mempertanyakan sedikit pun. Kalau dia melakukan kesalahan, ibunya akan memarahinya dengan keras hingga kerap kali membuatnya sakit hati dengan kata-katanya yang kasar. Sikap ibunya juga kasar pada semua orang yang bertentangan dengannya. Jarang sekali dia bisa merasakan ketenangan di dalam rumah jika ada ibunya. Sedangkan ayahnya, meninggal beberapa tahun lebih dulu. Setelah ayahnya meninggal, ibunya sibuk mencari pacar dan bekerja yang penghasilannya tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sudah beberapa kali dia harus memanggil pria berbeda yang sedang menjadi pacar ibunya dengan sebutan ayah. Tapi pada akhirnya, tak satupun dari pria yang dipanggilnya ayah itu, benar-benar menikahi ibunya.
Maka sekarang, ketika melihat bentuk kehidupan yang begitu bertolak belakang dengan miliknya, Eveline bertekad untuk bisa memilikinya juga. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba muncul sebuah pemikiran dari dalam dirinya. Bahwa untuk mendapatkan semua yang dia lihat sekarang ini, dia harus bersikap baik, manis, menyenangkan, dan selalu memberikan bantuan pada paman dan bibinya. Dia harus menunjukkan pada paman dan bibinya, bahwa dia adalah anak yang jauh lebih baik dibandingkan kedua anak kandung mereka. Maka, kasih sayang paman dan bibinya, akan menjadi miliknya. Lalu, seluruh kehangatan di rumah ini, juga akan menjadi miliknya. Termasuk semua hal yang sekarang dimiliki oleh kedua saudara sepupunya. Pakaian bagus, mainan yang banyak, peralatan melukis Arlina yang begitu lengkap, dan yang terpenting, posisi mereka.
Laina merasa mual ketika bisa merasakan semua kedalaman perasaan Laina yang masih berusia dua belas tahun itu. Azkan mengamati reaksi Laina pada penglihatan awal yang mereka masuki tentang masa lalu Eveline. Tak pernah ada orang yang melihat hal seperti ini sebelumnya. Laina bisa saja syok. Namun senyuman Laina menenangkan kekhawatiran Azkan. Laina menganggukkan kepalanya, meyakinkan Azkan kalau dia bisa bertahan.
Lalu Laina dan Azkan melewati pusaran waktu hingga muncul sosok Eveline yang sudah remaja berusia tujuh belas tahun. Selama melewati pusaran waktu itu, semua kenangan yang ada, memenuhi isi kepala Laina dan juga Azkan. Laina bisa melihat bagaimana Eveline berusaha mewujudkan ambisinya selama bertahun-tahun ketika tinggal di rumah itu.
Eveline terus bersikap manis, merayu, bermanja-manja pada pamannya, hingga pada tingakatan sikap manipulatif yang munafik. Di hadapan pamannya, dia akan menunjukkan sosok yang luar biasa sopan, lembut, baik, penurut, manis, dan rajin. Namun ketika pamannya tidak di rumah, dia akan bersikap buruk pada kedua sepupunya. Eveline suka masuk ke dalam kamar sepupunya tanpa ijin, membongkar barang-barang mereka, memilih apa yang dia sukai, lalu mengambil dan memakainya begitu saja. Ketika sepupunya tahu dan marah karena barang mereka diambil Eveline, Eveline akan melawan mereka dengan marah-marah, mengatakan kalau dia juga berhak atas semua barang-barang itu. Atau dia akan mengkonfrontasi sepupunya dengan dalih bahwa dia hanya meminjam barang itu karena dia butuhkan. Namun seringkali, barang-barang yang diambil Eveline kembali dalam keadaan rusak. Saat itulah, bibinya yang akan memarahinya. Ketika keadaan sudah seburuk itu, Eveline akan mengeluarkan trik keahliannya. Menangis sambil meratapi nasibnya sebagai yatim piatu yang kekurangan kasih sayang, yang membutuhkan sosok seorang ibu dan ayah. Hal itu, seringkali berhasil meluluhkan hati pamannya yang terkenal berhati lembut. Akhirnya, paman dan bibinya akan berdebat, beberapa kali bertengkar cukup hebat, dan kedua sepupunya, hanya bisa memendam amarah mereka pada Eveline karena mereka tidak mau bertengkar dengan Eveline yang selalu berhasil meluluhkan hati ayah mereka dengan rasa kasihan.
Kemudian sekarang, di mana pusaran waktu di antara Laina dan Azkan berhenti, sosok Eveline sudah berubah. Saat ini, yang dilihat Laina adalah sosok Eveline yang mirip sekali dengan Eveline yang berada di pulau Asa. Eveline yang cantik dan mempesona. Namun, kejadian berikutnya yang dilihat Laina, membuatnya tak habis pikir.
Ada seorang pria tinggi dan tampan yang sedang berdiri di depan pintu rumah paman Eveline. Pria itu membawa setangkai bunga mawar putih di tangannya, dan Laina bisa melihat dengan jelas kegugupan di wajah pria itu. Setelah mengetuk pintu dengan tangan yang terus gemetaran, sosok Arlina muncul membukakan pintu. Di belakangnya, dalam jarak beberapa meter, berdiri Eveline yang mengintip ingin tahu.
“Hai Robert!” senyuman Arlina begitu indah menyempurnakan kecantikan dan pesonanya. Robert semakin gugup dibuatnya. Laina tersenyum memahami apa yang sedang terjadi sekarang. Robert sedang berusaha mengungkapkan perasaannya pada Arlina.
“Arlina, ini, untukmu,” kata-kata Robert berhasil diucapkan sepatah demi sepatah. Tangannya terjulur, menyerahkan setangkai mawar putih di genggamannya pada Arlina. Tentu saja Arlina langsung menerimanya dengan bahagia.
“Terima kasih, Robert! Bunga ini sangat indah! Darimana kau mendapatkannya?”
“Aku, menanamnya, sendiri.” Robert masih terbata-bata.
“Wah! Aku tidak tahu kalau kau juga ahli menanam bunga! Kau sangat hebat. Selama ini aku mengenalmu sebagai senior yang luar biasa pintar di universitas. Aku tidak menyangka kalau kau juga punya sisi seperti ini.” Arlina merasakan ratusan bunga mawar juga sedang bermekaran di dalam hatinya.
“Ah! Maaf, aku sampai lupa menyilahkanmu masuk. Ayo, masuklah. Ibuku sengaja membuatkanmu jus dari buah-buahan segar yang baru kami panen kemarin.” Arlina menyingkir dari pintu masuk, agar Robert bisa berjalan masuk ke dalam rumahnya yang kini sudah tidak lagi memiliki jejak masa kanak-kanaknya. Berbagai macam mainan yang berserakan di penjuru rumah sudah tak ada, digantikan rak-rak buku berisi semua koleksinya dan Naira. Pintu kamarnya juga sudah tidak lagi dihiasi dengan gambar-gambar hewan lucu buatannya melainkan sebuah lukisan pemandangan yang begitu indah hasil karyanya sendiri. Ada satu lukisan indah yang tergantung di atas pintu setiap kamar rumahnya. Semua hasil karnya sendiri yang selalu dibangga-banggakan oleh ayah dan ibunya. Juga adiknya yang selalu mengumumkan kemanapun, kalau dia memiliki seorang kakak pelukis yang berbakat. Gara-gara celotehan adiknya yang seperti itu kemanapun dia pergi, nama Arlina sebagai seorang pelukis, jadi banyak dikenal. Arlina bahkan sudah bisa memiliki uang sendiri dari hasil menjual lukisannya. Tentu saja dari setiap lukisan yang berhasil dia jual, ada dukungan promosi dari adik kesayangannya. Sehingga setiap kali lukisannya terjual, Arlina akan memberikan sebagian penghasilannya pada Naira. Kedua kakak beradik itu tumbuh besar dengan ikatan kasih sayang yang begitu dalam hingga tak memberi celah sedikitpun bagi Eveline untuk masuk dan berada di antara keduanya.
“Lukisanmu bagus sekali, Arlina.” Robert memandangi setiap lukisan yang dipajang di dalam rumah Arlina dan terpesona berkali-kali olehnya.
“Terima kasih untuk pujianmu.”
“Semua orang yang melihat lukisanmu, pasti akan terpesona juga. Sepertiku.”
Arlina tersipu, pipi putihnya merona, dan debaran di dadanya semakin menjadi.
“Arlina, ada yang ingin kukatakan padamu.” Robert telah mengumpulkan semua keberanian dan tekadnya sebagai seorang lelaki.
“Aku menyukaimu, Arlina.” Robert meraih tangan Arlina yang berdiri di hadapannya.
“Aku ingin menjadi kekasihmu. Arlina, maukah kau menjadi kekasihku?” suara Robert memenuhi seluruh kepala Arlina dan meledakkan semua ragam perasaan bahagia yang dia miliki.
“Kau serius?” Arlina masih tak percaya. Robert, seorang senior populer di universitas tempatnya baru mulai kuliah, menyukainya, bahkan memintanya menjadi kekasih. Robert adalah gambaran sosok idaman hampir semua remaja perempuan. Tampan, bertubuh atletis, cerdas, dan sikapnya pada orang lain, sungguh baik.
“Tentu saja aku serius. Aku sengaja menanam mawar ini sendiri dan menunggunya mekar untuk mengungkapkan perasaanku. Aku sungguh-sungguh. Sejak pertama kali melihatmu di universitas, aku tertarik padamu. Lalu, aku mengajakmu berkenalan dan kita sering berbincang tentang banyak hal, saat itu, aku terpesona padamu. Seiring waktu, perasaanku terus tumbuh dan aku tidak bisa lagi menahannya. Aku menyayangimu, Arlina. Aku ingin menjadi kekasihmu. Bersediakah kau, Arlina?”
Setelah keheningan yang terasa selamanya bagi Robert, perasaan lega membanjirinya ketika Arlina dengan mata berkaca-kaca dan senyuman manis, menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Iya, aku mau.” Robert meraih tubuh Arlina ke dalam pelukannya, memeluknya seerat mungkin sambil membenamkan kepalanya ke leher Arlina yang balas memeluknya dalam kebahagiaan.
“Terima kasih, Arlina. Aku janji, aku akan bersikap baik padamu. Aku akan membuatmu bahagia. Aku akan melindungimu dan menemanimu. Aku tidak akan melepaskanmu!” ucapan Robert terdengar dalam gumaman karena dia masih membenamkan wajahnya di leher Arlina. Dia benar-benar tak ingin melepaskan pelukannya setelah menyadari betapa harumnya aroma tubuh Arlina.
“Tapi kau tetap harus melepaskan pelukan itu, Robert. Kalau tidak, saya akan membatalkan hubungan kalian.” suara ayah Arlina yang muncul dari dalam kamarnya, membuat Robert berdiri kaku. Arlina tertawa terbahak-bahak melihat wajah kekasihnya yang memucat. Kekasih. Sekarang, aku menyebut Robert sebagai kekasihku. Pikiran yang muncul dalam benak Arlina itu membuat wajahnya merona lagi.
“Paman Redo! Selamat siang.” Robert menjabat tangan ayah dari kekasihnya sambil menundukkan kepala.
“Jadi, kau benar-benar menyukai anak saya?”
“Iya.”
“Bagaimana saya bisa mempercayaimu? Arlina adalah putri yang sangat berharga untukku. Saya merawatnya dan melimpahinya dengan kasih sayang sampai sekarang. Dengan keberanian sebesar apa kau berani memintanya menjadi kekasihmu?”
“Saya tidak akan pernah bisa menyaingi kasih sayang anda, Paman Redo. Tapi saya yakin kalau rasa sayang saya pada Arlina, juga cukup besar untuk membuatnya bisa berbahagia bersama saya.”
“Ternyata kau benar-benar seorang pria dewasa ya?” senyuman ayah Arlina melegakan Robert. Aku berhasil! Aku mendapat restu untuk menjadi kekasih Arlina!
“Sudah, sudah. Ayo bicara sambil duduk dan makan bersama. Bibi sudah menyiapkan makanan untuk kita semua.” ibu Arlina muncul dari taman belakang dengan menenteng sekeranjang buah-buahan yang baru dia petik dari pohon milik mereka. Arlina menghampiri ibunya, memeluknya erat, mengungkapkan betapa bahagianya dia tanpa perlu mengatakan apa pun. Karena ibunya mengerti. Ibunya, bisa merasakan semua perasaannya, sebelum dia bisa menjelaskan dengan kata-kata.
“Selamat sayang, sekarang, kau sudah memasuki dunia wanita dewasa. Kau boleh saling mencintai tapi tetap jaga batasannya sampai menikah. Mengerti kan?” Laura membelai kepala anak perempuannya yang kini sudah tumbuh menjadi seorang wanita muda.
“Iya ibu. Aku mengerti. Aku pasti akan menjaga diri, seperti yang selalu ibu ajarkan.”
“Ibu percaya padamu. Selalu.” kemudian sebuah kecupan lembut mendarat di dahi Arlina.
Redo meraih pundak Robert, menggiringnya berjalan ke meja makan, dan mengajaknya berbincang dengan hangat. Laura menata makanan di atas meja, dan Arlina duduk di sisi Robert yang terus bolak balik menatapnya sambil tersenyum meski sedang berbincang dengan ayahnya.
“Silahkan diminum, ini jus yang dibuat dari buah-buahan segar hasil panen kami.” tiba-tiba, Eveline muncul entah dari mana setelah dari tadi hanya diam mengintip semua yang terjadi. Eveline meletakkan segelas jus segar di depan Robert, dengan sengaja menyentuh tangan Robert yang berada di atas meja ketika selesai meletakkan jus di atasnya. Lalu entah dengan cara apa, ketika Eveline hendak berjalan pergi, tiba-tiba dia terjatuh dengan gerakan yang sangat alami, seakan tersandung sesuatu yang tak kasat mata, dan terjatuh di pangkuan Robert. Tepat di atas paha Robert, dengan posisi tubuhnya menghadap ke Robert. Wajahnya awalnya terjatuh membentur dada Robert, dengan kedua tangan meremas paha atas Robert, sambil menopang tubuhnya yang menungging, menunjukkan bentuk tubuhnya dibalik gaun ketat yang dia kenakan. Laura mendelik melihat kejadian itu.
“Maaf, aku tidak sengaja,” Eveline mengucapkan maafnya dengan nada lemah, dan desahan nafas yang hanya bisa didengar oleh Robert ketika Eveline mengangkat wajahnya dari dada Robert, lalu menatapnya dengan mata berbinar-binar. Robert merasakan remasan tangan Eveline di paha atasnya, bergeser semakin ke atas, hingga jemari Eveline, bisa menyentuh pusat tubuhnya yang langsung merespon tanpa bisa dikendalikan. Ketika Robert berusaha melihat apa yang terjadi di atas pahanya, tatapan matanya disuguhi penampilan buah dada Eveline yang menonjol sempurna dibalik belahan gaun ketatnya. Robert menelan ludah, dengan gelisah menarik diri, tapi tak bisa beranjak kemanapun karena punggungnya sudah menempel pada sandaran kursi.
“Kau tidak apa-apa?” desahan nafas Eveline terdengar lagi di telinga Robert. Tatapan mata Robert secara otomatis terarah pada dada Eveline yang bergerak naik turun mengikuti desahan nafasnya ketika berbicara. Jemari Eveline juga bergerak sangat pelan di dekat pusat tubuhnya, rasanya seperti buaian lembut yang tak sepenuhnya menyentuh, tapi berhasil merangsang semua rasa sensitif yang menegangkannya hingga sekeras batu.
“Tidak,” suara Robert tercekat. “Aku tidak apa-apa.” kesadaran Robert berhasil muncul sesaat, membuatnya menoleh, menatap Eveline di sisinya yang sudah kehilangan semua rona kebahagiaan di wajahnya.
“Berdiri! Masuk ke kamarmu dan ganti pakaianmu!” suara tegas dari Laura, menghentikan aksi Eveline.